“Tutup dulu kitabnya, Hid. Nikmati dulu sunricenya indah loh,” ucapku.
Zahid menoleh kearahku lalu tersenyum “caraku beda dengan caramu, san. Kalau ini dapat dua-duanya; baca kitab sambil lihat sunrice malahan dapat tiga, syukur,” ucapnya lalu memejamkan matanya menghirup udara segar pagi hari belum terkontaminasi polusi udara dalam dalam lalu menghembuskannya pelan-pelan “Al-Hamdulillah” di akhiri dengan kalimat syukur itu.
Aku tersenyum. Aku mencoba apa yang dulakukan temanku itu. Kupejamkan mata kuhirup udara segar dalam-dalam lalu kuhembuskan pelan-pelan. Satu yang kurasakan ketengangan.
Zahid memandangku “Tenang gak?”tanyanya.
Aku mengangguk.
Zahid Kembali tengelam dalam muthola’a kitabnya. Aku menghampiri Zahid berdiri disampingnya.
“Hid. Dari kemarin aku lihat kamu itu mothola’a kitab terus ujian kan masih lama kan?”.
“Belajar gak selamanya mau dekat ujian, San. Sekarang emang gak boleh? Gak jadi masalah kalau muthola’a terus kan”. Jawabnya tanpa menoleh ke arahku.
“Gini ya, kamu tau aku pengen nanti diakhir sanah kita bisa naik panggung dapat faiz amm, dapat rida’ dari Abuya, San. Itulah aku belajar terus semoga dapat nilai sempurna bisa jadi faiz amm nantinya”.
Aku mengangguk.
“Semua orang juga ingin, Hid. tapi bagiku sih ridho Abuya lebih penting,”.