"Yang kamu lakukan barusan hanyalah mengandalkan momentum dari sabuk merah itu. Memang itu akan berhasil pada satu sisi namun ketika makin lama tingkat 'kemustahilan' ditingkatkan yakni dengan cara mengurangi lipatan-lipatan sabuk hingga tidak dilipat dan hanya selembar sabuk saja maka pada saat itu ayah yakin kamu sudah mulai tidak yakin pada dirimu..."
DHEEG!
Ucapan ayah sangat tepat. Aku memang tidak yakin ketika selembar sabuk silat merah ini dipergunakan untuk mematahkan besi dragon.
"Disitulah nanti Selendang Mayang mengambil peranan. Sini, berikan pada ayah sabuk merah yang ada ditanganmu...", pinta ayah.
Tanpa menunggu lama, aku langsung memberikan sabuk silat merah itu ke tangan ayah. Ayah lalu melilitkan banyak dan hanya menyisakan selembar sabuk sepanjang lengan ayah. Dengan santainya kulihat ayah menyabetkan selembar sabuk itu pada besi dragon.
TRAAANG!
Besi dragon itu patah berhamburan. Tidak hanya dua, tiga, melainkan empat patahan!
"Silat yang ayah pelajari ini, sesungguhnya berisi pengetahuan mengenai bagaimana kamu mensikapi kemustahilan di dunia. Mustahil itu sesungguhnya dipahami hanya karena kita belum paham ilmunya saja. Apabila ilmunya sudah kamu pahami dan kuasai, maka kemustahilan itu berubah menjadi sesuatu yang tidak mustahi.
Seperti halnya dengan sabuk silat merah dan besi dragon ini.
Nampaknya mustahil sabuk tipis ini akan bisa mematahkan besi yang lumayan tebal itu. Nalarmu menolak. Dan ketika itu terjadi, maka 'blocking' pikiranmu ikut terbentuk. Padahal, dengan izinNya tidak ada sesuatupun didunia ini yang mustahil untuk dilakukan. Hanya masalah apakah sudah jatuh hukumnya atau tidak itu terjadi padamu...", jelas ayah.
"Maksudnya bagaimana yah?", tanyaku penasaran.