1. Kompleksitas yang Berlebihan:
  - Model Dialektika Hegelian dan Hanacaraka mungkin terlalu kompleks untuk diterapkan dalam praktik audit perpajakan yang sudah rumit. Auditor perpajakan mungkin menghadapi batasan waktu dan sumber daya, sehingga menghadapi kesulitan dalam menerapkan model-model ini dengan efektif.
2. Subjektivitas Interpretasi:
  - Dalam Model Dialektika Hegelian, proses sintesis sering kali melibatkan interpretasi subjektif dari informasi yang ada. Ini dapat mengarah pada keputusan yang tidak konsisten atau tidak obyektif dalam audit perpajakan.
  - Model Hanacaraka juga dapat menjadi subjektif karena bergantung pada interpretasi auditor terhadap pola-pola yang ada dalam data perpajakan.
3. Keterbatasan Relevansi:
  - Model Dialektika Hegelian dan Hanacaraka mungkin tidak selalu relevan dalam konteks audit perpajakan. Konsep-konsep ini dikembangkan dalam konteks filosofis dan bahasa, yang mungkin tidak selalu dapat diaplikasikan dengan langsung dalam praktik audit.
4. Keterbatasan Penggunaan Data Historis:
  - Dalam Model Hanacaraka, penggunaan data historis untuk membuat profil perpajakan dapat memiliki keterbatasan. Perubahan dalam kebijakan perpajakan atau kondisi ekonomi dapat membuat data historis tidak lagi relevan atau representatif.
5. Kesulitan dalam Pengukuran Kinerja:
  - Model-model ini mungkin sulit untuk diukur dalam hal kinerja atau efektivitas. Auditor perpajakan mungkin kesulitan dalam menilai apakah penerapan model-model ini telah menghasilkan hasil yang signifikan dalam mendeteksi kecurangan atau meningkatkan kepatuhan perpajakan.