"Jangan-jangan uang kita diembat, barang-barang kita raib," kata Pardun.
Rasman memotong, "Tidak, tidak. Kita tak boleh gelap mata seperti itu."
"Dulu, kita bisa minta Ki Darsi menerawangkan apa yang tengah terjadi. Kini, kita tidak tahu apa yang ada di hati pemimpin kita, dan apa kejadian sebenarnya," ungkap kang Tinus.
Sedang enak bergunjing di warung, perempuan dengan postur tubuh lumayan tinggi menghampiri Rasman, kang Tinus,dan Pardun. Sontak mata mereka terbelalak melihat perempuan muda dengan kulit kuning langsat, rambut terurai kira-kira setengah meter, berpakaian layaknya orang kota, tapi tanpa sepatu high hills. Perempuan itu menanyakan keberadaan Ki Darsi.
"Maaf akang-akang, akang teh kenal Ki Darsi?"
"Aya naon neng cari Ki Darsi? Eneng kenal dengan Ki Darsi?" tanya Pardun mengikuti logat sunda.
"Akang mah, ditanya malah balik nanya. Iya, saya kenal sama Ki Darsi, dan ingin bertemu dengannya. Sekarang keberadaannya dimana kang?"
"Aduh, ngapura neng. Orang yang eneng cari sudah lama meninggal," kang Tinus mencoba menjelaskan.
Mendadak perempuan itu menangis, air matanya mengucur sampai ke hidung. Kemudian Rasman menegurnya.
"Loh neng, kenapa menangis?"
"Kamu ini sebenarnya siapa?" tanya kang Tinus.