"Mungkin itu yang namanya fashion dik, gaya hidup. Daespati sejak pulang dari Makkah, semuanya berubah dari mulai namanya sampai penampilannya."
"Nama sudah bagus Daespati, tapi malah diganti Mahmudin. Sangat tidak menghormati kearifan lokal," lanjut istrinya dengan keketusan menjadi-jadi.
Pembicaraan terhenti seketika hujan lebat mengguyur depan rumah kang Tinus. Istrinya yang sedari tadi nyerocos ngomongin Mahmudin belingsatan lari ke belakang, teringat pakaiannya yang baru saja dijemur. Begitulah Meduran sekarang, mau menjemur pakaian saja susah, karena cuaca tak menentu. Hujan dan panas bisa silih berganti hanya dalam hitungan menit, repot. Saat baru menyeruput kopi pada gelas bermotif tentara, kang Tinus melihat seseorang berlari tergopoh-gopoh dari arah jam tiga menuju rumahnya.
"Kang! Kang!" teriak seseorang itu yang nampaknya adalah laki-laki.
"Itu kang... disana," kata lelaki itu lagi, sambil gemetar karena kehujanan.
"Ada apa dun? Bicara baik-baik, tenang." Kang Tinus langsung terkesiap menyahutnya.
"Mpok Iroh kang! Mpok Iroh tenggelam di sungai!" lelaki itu bicara, tak bisa diam tubuhnya.
"Pardun... jangan bohong. Bicara yang jelas. Kenapa bisa tenggelam?"
Agak tenang Pardun menjawab, "Tadi mpok Iroh sedang mencuci pakaian di sungai, terus hujan lebat, debit air langsung naik dan arusnya semakin deras. Mpok Iroh kepeleset dan hanyut."
"Apa! Kenapa kamu lapor ke saya. Kamu temui Mahmudin, dia kan yang pemimpinnya sekarang."
"Sudah, kang. Tapi dia malah nyuruh orang lain untuk menolong mpok Iroh. Sementara kami disuruh mendoakan keselamatan mpok Iroh."