"Suruh berdoa? Dia tidak terjun ke sungai menyelamatkan mpok Iroh? Lantas dia sedang apa sekarang?"
"Mahmudin sedang duduk di sungai sambil menghitung biji tasbih. Warga yang bisa berenang terjun ke sungai menolong mpok Iroh. Yang lain menunggu di bibir sungai."
"Kalau begitu, ayok kita ke sana!"
Hujan tiba-tiba berhenti, kang Tinus dan Pardun secepatnya ke lokasi. Sesampainya di sana, mpok Iroh belum ditemukan. Warga yang mencarinya berkesimpulan bahwa mpok Iroh sudah hilang, ia dihanyutkan aliran sungai. Sementara Mahmudin berdiri dan menghampiri kang Tinus.
"Ia sudah hanyut, kita tak bisa melawan takdir," kata Mahmudin.
"Harusnya bisa kalau kamu ikut membantu mencarinya. Dulu ayahmu Ki Darsi, selalu bisa menolong warga. Tapi kamu tidak!" kang Tinus bicara dengan nada yang agak meninggi.
"Aku bukan seperti ayahku, ia berbuat musyrik, tak boleh menyekutukan Allah," katanya.
Kang Tinus hampir saja memukulnya, tapi Mahmudin segera memalingkan muka dan pergi meninggalkan kang Tinus beserta warga. Kejadian seperti itu berulang kali terjadi, ada warga yang selamat karena ditolong warga lain, ada yang nahas meninggal. Sementara sikap Mahmudin masih sama, ia tak mau turun tangan menolong, hanya doa yang terus-menerus ia panjatkan, walaupun sepertinya tak ada satu pun doa yang mustajab.
Lambat laun, warga Meduran semakin mafhum dengan sikap Mahmudin, walau ia terkadang bersikap tak peduli. Tapi ia lambat laun pula menjelma sebagai pemimpin yang dipercaya warganya.
Jalan desa yang rusak, seiring berjalannya waktu dan terus ditimpa hujan dan panas secara cepat, jalan itu semakin rusak. Melihat itu, Mahmudin merasa perlu adanya perbaikan jalan. Ia lalu mengumpulkan warga ke Balai Warga, mengadakan sebuah pertemuan terbuka. Mahmudin menyampaikan hasratnya itu untuk merenovasi jalan desa. Tetapi karena Meduran adalah tanah perdikan, sedang pembiayaan tak pernah disokong dari kabupaten maupun negara, para warganya harus rela patungan.
Semua warga yang berkumpul di Balai Warga menyumbangkan apapun yang dapat mereka sumbangkan. Ada yang menyumbang sejumlah uang,beras,jagung, ataupun hasil panen lainnya, karena kebetulan warga Meduran kebanyakan seorang petani dan bekerja di perkebunan. Warga yang merantau ke luar desa juga turut menyumbang, kebanyakan dari mereka menyalurkan emas dan perak. Dari sekian banyak sumbangan, tak ada pemberian berupa material bangunan, karena tak ada yang tahu lokasi membelinya.