Semenjak Ki Darsi meninggal, Desa Meduran seperti terkena ajian halimunan. Meduran seperti hilang, tak terdengar lagi eksistensinya. Jangan dibayangkan desa ini hilang wujudnya, bentuknya, susunannya, atau penduduknya. Meduran hanya kehilangan eksistensi, nama besarnya. Dulu, sebelum Ki Darsi wafat, Meduran menjadi desa termasyhur di Pulau Jawa. Pelancong dari penjuru Nusantara kerap kedapatan singgah di desa ini, tak jarang diantara mereka ada yang memilih menetap karena kepincut gadis desa.
Entah karena apa, desa yang hanya berpenduduk tiga ratusan jiwa itu dinamai Meduran. Barangkali banyak orang Madura yang berdomisili di sini, padahal titik koordinat desa ini cukup jauh dari Madura. Mungkin ini yang disebut persebaran alamiah, terjadi begitu saja, tanpa memerdulikan letak koordinat. Alhasil, kebanyakan penghuni Meduran bersuku Madura, dan logat bahasanya mirip orang Madura, meski tak semuanya.
Desa ini tak masuk wilayah kerajaan manapun, Meduran adalah tanah perdikan. Lokasinya nyempil antara Kerajaan Kanjuruhan dan Panataran. Dua kerajaan itu sudah punah, tapi Desa Meduran masih berdiri, dan masih menjadi tanah perdikan.
Cuaca di desa ini biasa-biasa saja, kalau siang hari, warga Meduran belum pernah sedikit pun merasakan teriknya sinar matahari. Kala cuaca di tempat lain mendung, dan hujan deras, Meduran hanya ditimpa gerimis, dan gerimisnya pun tak pernah lebih dari satu jam. Kondisi semacam itu seketika musnah begitu saja usai Ki Darsi meninggal. Desa Meduran sudah tak istimewa lagi, malahan desa ini menjadi desa aneh. Banyak kejadian aneh terjadi di Meduran.
"Sejak Ki Darsi meninggal, kenapa desa kita jadi seperti ini ya kang?"Â
"Iya, padahal dulu aman-aman saja ya dik. Kini desa ini sering ketimpa musibah," jawab kang Tinus meladeni pertanyaan isteri.
Isterinya kembali bertanya, kali ini agak ketus. "Apa anaknya itu tidak bisa mewariskan ilmu Ki Darsi ya kang?"
"Mahmudin maksudmu?"
"Iya, siapa lagi."
"Anak itu sama sekali tak mampu mewarisi ilmu Ki Darsi. Bukan saja tak mampu, ia cenderung tidak mau mengikuti jejak ayahnya, apa itu, em... musyrik katanya."
"Iya..iya kang, tampilannya juga berbeda, dulu Ki Darsi suka memakai pakaian serba hitam, tapi kenapa anaknya gemar memakai jubah dan penutup kepala putih," kata si istri semakin ketus.