Sore ini, aku berkesempatan untuk menjemput Dira langsung di tempatnya bekerja. Aku sudah tiba di halaman kantornya. Dari atas motor, aku membuka ponselku, dan segera mengabarkan Dira.
"Aku sudah di depan, ya," kataku.
"Oke, aku ke sana," balasnya.
Dira pun berjalan menghampiriku. Dari tempatku, aku bisa melihat Dira melangkah menghampiriku. Cara jalannya sangat elegan, dan anggun tentunya. Hari ini, dia menggunakan pakaian kesukaannya, sebuah kemeja berwarna coklat terang, dengan kancing warna kuning keemasan yang dibuka satu pada bagian paling atas. Kalungnya terlihat bersinar memantulkan cahaya matahari. Dari kejauhan, aku bisa melihat rambutnya yang bergelombang, menjuntai ke belakang, terayun oleh angin yang sedang berhembus.
"Sudah siap?" tanya Dira.
"Yuk," aku menurunkan footstep motorku, mempersilakan Dira untuk menaiki motorku.
"Kita mau makan besar atau makan cantik?" tanyaku, sekaligus meminta gambaran tentang restoran yang kami tuju.
"Hah? Makan cantik? Aku baru denger istilah itu, hahaha..." ledeknya sambil tertawa.
"Iya, itu loh, kalau makanannya estetik, banyak garnishnya, aku sebutnya 'makan cantik', hehehe, karena sayang kalau dihabisin, terlalu cantik untuk dimakan," balasku, mencoba menjelaskan Dira.
"Hahahaha, ya ampun Anton, kalau gitu, artinya kita makan besar dan cantik, supaya adil," katanya, sambil menaiki motorku, dan memelukku erat dari belakang.
Aku melajukan motorku perlahan, berjalan menjauh menyusuri gang, meninggalkan area kantor Dira. Kami menikmati Kota Jogja di sore hari, lengkap dengan momen berhenti singkat di setiap lampu merah, sambil sesekali menertawakan pengemudi lain yang tingkahnya aneh-aneh.