"Iya, kita butuh waktu," jawabku yakin. "Tapi percaya deh, kita pasti bisa ketemu caranya kok, dan kita akan diberikan jalan sama Tuhan," kataku.
Dira tersenyum, kali ini raut wajahnya penuh dengan kehangatan. "Aku mau mencoba, Ton. Aku mau berusaha untuk kita," balasnya, juga dengan penuh keyakinan.
Aku membalas senyumannya, merasakan kelegaan yang mendalam.
Setelah menghabiskan waktu dengan bercerita tentang masa lalu kami berdua, aku dan Dira memutuskan untuk pulang, pergi meninggalkan kafe itu. Sebelum beranjak dari tempat kami duduk, Dira mengambil tisu, sekali lagi mengecek wajahnya, membersihkan mata dan pipinya, lalu berjalan keluar, meninggalkan semua kenangan yang kami ciptakan malam itu.
Di luar, langit Jogja mulai gelap, udara semakin dingin, namun jalanan masih ramai dengan kerlip lampu dan suara kendaraan yang berlalu-lalang. Kami berdua berjalan beriringan, tangan kami saling menggenggam erat, seolah mencari kekuatan dari satu sama lain.
Kami bagaikan dua jiwa yang hilang, tersesat di antara riuhnya suara kehidupan malam.
Dalam perjalanan pulang, kami menghabiskan waktu untuk menikmati setiap detiknya dengan bercerita, tertawa, dan sewaktu-waktu saling menenangkan, ketika bayangan masa lalu kembali menghantui.
Kami sadar, perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi kami juga tahu, bahwa yang kami punya saat ini adalah satu sama lain. Dira punya Anton, dan aku, Anton, punya Dira sebagai kekasihku.
Setelah sampai di depan rumah Dira, kami berhenti sejenak. "Makasih, Ton," ucap Dira pelan. "Aku enggak tahu gimana caranya aku bisa survive dari dunia yang gila ini, kalau enggak ada kamu," tegasnya.
Untuk kesekian kalinya di malam itu, Dira kembali tersenyum. Kali ini, senyumnya terlihat lepas, tidak ada beban yang dibawanya. Sambil menatapku dengan mata yang masih sedikit berbinar, Dira bilang, "Sampai ketemu besok, ya?"
"Sampai ketemu besok," jawabku.