Setiba di rumah sakit, aku mendapati ibu tengah menangis di luar ruangan Kak Leo ditangani. Aku pilu melihat wanita yang telah melahirkanku dan Kak Leo meneteskan air mata. Ini semua karena aku. Aku yang sudah membuat anak pertama ibu itu celaka. Andai aku mendengarkan kata-kata saudara lelakiku tersebut, ia pasti tak akan celaka seperti ini.
"Ibu..." aku memeluk tubuhnya dengan erat. "Maafkan aku, Bu. Aku udah buat kakak celaka."
"Nggak sayang, ini bukan karena kamu, ini musibah." Ibu menjawab sambil mengelus-elus rambutku yang terurai.
"Tapi kalau aku mendengarkan perkataan kakak, beli es krimnya bareng ibu aja, pasti kakak gak akan ke sana sendiri dan jadi celaka seperti ini, Bu."
"Nggak sayang, ini sama sekali bukan kesalahan kamu. Sekarang kamu berdoa yang terbaik, ya, agar gak terjadi sesuatu yang buruk pada kakak."
Selama lima belas menit menunggu, akhirnya Kak Leo selesai ditangani. Dokter yang menanganinya pun ke luar dan memberi tahu bagaimana keadaan Kak Leo.
"Kakak aku baik-baik aja, kan, Dok?" Sebelum ia mengatakan hal itu, aku lebih dulu membuka suara.
"Iya, Dok. Anak saya baik-baik aja, kan?" Ibu pun menanyakan hal yang sama sepertiku.
"Kakak kamu dan anak ibu baik-baik aja, kok. Tapi, kemungkinan kaki pasien mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan yang dialaminya."
Tangisku pecah setelah mendengar jawaban dari sang dokter itu. Kukira hanya kabar baik yang disampaikan olehnya, tetapi kabar buruk-lah yang sebenarnya ia ingin sampaikan pada kami.
"Jadi kakak aku gak bisa berjalan lagi, Dok?" Aku melontarkan pertanyaan yang sebenarnya sudah kuketahui jawabannya.