Mohon tunggu...
Siti Mariyam
Siti Mariyam Mohon Tunggu... Lainnya - (Pe)nulis

Siti Mariyam adalah gadis yang lahir di planet bumi pada tahun 1999 silam. Gadis yang lahir dan tinggal di Tangerang Selatan ini mulai tertarik dunia kepenulisan sejak akhir masa SMP. Dari mulai hobi menulis diary hingga membaca cerpen-cerpen di internet juga novel. Ia selalu mencatat setiap kata baru yang ditemuinya saat menonton film dan membaca untuk menambah kosa kata dalam menulis ceritanya nanti. Dari semua itu, telah lahir beberapa cerita yang bisa kamu nikmati di halaman Kompasiana pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Es Krim

21 Februari 2023   21:59 Diperbarui: 21 Februari 2023   22:01 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Bila habis sudah waktu ini

Tak lagi berpijak pada dunia

Telah aku habiskan sisa hidupku hanya untukmu."

Aku kembali menutup telinga mendengar Kak Leo bernyanyi lagu yang tengah booming tersebut. Suaranya yang luar biasa merdu itu lagi-lagi mengganggu telinga ini. Bukan hanya mengganggu indra pendengarku, tetapi juga menggangguku yang sedang belajar.

"Dan t'lah habis sudah cinta ini

Tak lagi tersisa untuk dunia

Karna t'lah kuhabiskan sisa cintaku hanya untukmu."

Ia meneruskan menyanyikan lagu dari Virgoun itu dengan pe-denya tanpa menghiraukan aku yang tengah kebisingan mendengarnya. Aku menghentikan aktivitas sejenak untuk memarahi lelaki yang tiga tahun lebih dewasa dariku, karena sudah menggangguku terus menerus.

"Kakak berisik!" Aku langsung memasuki kamarnya yang berada di sebelah kamarku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

Ia yang bernyanyi sambil memakai earphone tak mendengar juga mengetahui kedatanganku. Diri ini mendengus kesal melihatnya, lalu dengan cepat berjalan menghampirinya.

"Kakak berisik!" Aku kembali berkata begitu sembari melepaskan alat pendengar itu dari telinganya.

"Apa sih, Dek? Ganggu orang aja!" ucapnya yang baru menyadari kedatanganku.

"Apa? Ganggu kakak? Seharusnya aku yang berkata gitu. Suara kakak mengganggu aku yang lagi belajar!" Aku menjawab dengan kesal.

"Oh, kamu terganggu, ya. Ya udah, gak usah didengarin." dengan santai ia berkata.

"Tapi aku bisa dengar, Kak. Aku bisa dengar suara kakak yang kayak kaleng rombeng itu!" Aku kembali menjawab dengan kesal.

"Dek, suara kakaknya bagus begini dibilang kayak kaleng rombeng?"

"Memang kaleng rombeng! Telinga aku sampai sakit dengarnya. Memangnya kakak gak belajar? Besok, kan, ujian semester,"

"Ngapain belajar? Orang nanti kamu yang bakal menraktir kakak es krim, hahaha."

"Loh, kan, belum ketahuan siapa yang mendapat nilai lebih bagus di rapor nanti?"

"Udah pasti kakak, jadi kamu siap-siap aja sisihin uang jajan buat mentraktir kakakmu ini es krim, ya. Hahaha,"

Kak Leo kembali tertawa sambil memasang earphone yang kulepas tadi, aku yang geram melihat tingkah saudara lelakiku itu pun ke luar dari kamarnya dan balik ke ruang tidurku untuk melanjutkan belajar yang sempat terhenti.

Ucapan lelaki itu tak boleh terjadi, aku yang harus mendapat nilai lebih bagus darinya agar tidak menraktir dirinya es krim seperti yang sudah kami sepakati sebelumnya.

Seminggu lalu, ketika aku sedang tidak melakukan aktivitas alias bersantai, Kak Leo mendatangiku dan mengajak adiknya ini membuat kesepakatan. Siapa yang mendapat nilai rapor lebih bagus di antara kami akan ditraktir es krim oleh yang mendapat nilai sebaliknya.

Aku setuju akan hal itu, karena selain membangun semangat belajar agar mendapat nilai yang bagus, aku juga bisa dapat es krim gratis tanpa harus mengeluarkan uang.

Selama ini aku harus menyisihkan uang saku sekolah untuk membeli jajanan itu ketika pengin memakannya, karena ibu dan ayah hanya memberi aku juga Kak Leo es krim satu bulan sekali saat kami kumpul bersama. Kami sangat menyukai es tersebut, bahkan semasa kecil dulu kami bisa menikmatinya berkali-kali dalam seminggu.

Setelah mempersiapkan ujian semester dengan baik dan maksimal, akhirnya usahaku itu membuahkan hasil yang memuaskan. Kak Leo harus mengeluarkan uang jajannya untuk menraktirku es krim, seperti yang sudah kami sepakati sebelumnya. Dia tak bisa mengalahkan adiknya yang sudah berjuang belajar ini, tidak seperti dirinya yang malas belajar dan hanya mendengarkan musik saja.

***

Sepulang pengambilan rapor, aku langsung menemui Kak Leo untuk menagih es krim padanya. Kak Leo tidak ikut dalam pengambilan rapor bersamaku dan ibu, ia di rumah menunggu hasil ujiannya tiba.

"Kakak bangun!" Aku mendapati dirinya masih terlelap dalam tidur, padahal di luar matahari sudah memancarkan cahayanya dengan terik.

"Bangun, Kak! Lihat ini, nilai raporku lebih bagus dari kakak!" Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya dengan kencang.

"Aku dapat traktiran es krim dari kakak, kan?"

Kak Leo tetap bergeming, tidak mengindahkanku yang sedang bicara padanya.

"Kakaaak!" dengan kesal aku membuka selimut yang membaluti dirinya.

Ia sedikit bergerak, dan menimpali ucapanku. "Ada apa si, Dek? Ganggu orang tidur aja," sambil terus terpejam matanya.

"Kak, bangun. Lihat ini, nilai raporku lebih bagus dari kakak."

Mata Kak Leo langsung terbelalak, kemudian membangunkan tubuhnya.

"Coba kakak lihat!" Ia mengambil raporku dan rapornya. Satu persatu ia mulai melihat daftar nilai tersebut.

"Nggak benar ini! Pasti guru kamu salah kasih nilai? Atau dia kasih nilai segini karena kasihan sama kamu?" Komentarnya setelah beberapa saat melihat nilai kami dan membandingkan keduanya.

"Enak aja, aku bukan kakak yang diberi nilai kasihan sama guru!" Aku membela diri.

"Udah, ah, kakak jangan lari dari tanggungjawab. Cepat belikan aku es krim!"

"Iya, iya. Tapi kakak kasih uangnya aja, ya, kamu beli sendiri sama ibu. Kakak masih ngantuk,"

"Nggak mau, aku maunya es krim, bukan uang, Kak."

"Sama aja, Dek. Beli es krim, kan, pakai uang juga."

"Tapi aku maunya dibeliin sama kakak, gak mau beli sendiri. Lagi juga ini udah siang, Kak, masih mau tidur aja."

Akhirnya Kak Leo tak bisa berkutik lagi, ia pun yang membelikan es krimnya.

Namun, sudah tiga puluh menit ia berangkat belum kunjung kembali. Padahal toko es krimnya tidak terlalu jauh dari rumah kami. Aku jadi khawatir dengan Kak Leo, takut terjadi sesuatu hal buruk padanya, ditambah ia mengendarai sepeda motor menuju sana yang belum terlalu menguasai cara menggunakannya.

---

"Lea... Lea... Lea..." sayup-sayup aku mendengar seseorang memanggilku. Perlahan-lahan aku membuka mata, seketika sadar bahwa diri ini sampai tertidur menunggu Kak Leo pulang.

"Lea..." suara itu kembali terdengar. Aku langsung menuju depan, membukakan pintu untuk seseorang di luar sana.

"Kak Fatih?" Aku mendapati dirinya setelah membuka pintu. Lelaki itu merupakan tetangga sekaligus kakak kelasku di sekolah.

"Kakak kamu, Lea?" Sebelum aku bertanya, ia membuka suara terlebih dahulu.

"Kakak aku kenapa, Kak?" Dengan sedikit panik, aku menjawab.

"Kakak kamu kecelakaan."

Apa? Kecelakaan? Nafasku seakan terhenti setelah mengetahui kabar kurang baik itu. Seseorang yang tengah kutunggu kehadirannya pulang ke rumah ternyata sedang terluka.

Kak Fatih langsung mengajakku ke rumah sakit di mana Kak Leo ditangani. Ia berkata bahwa telah memberi tahu ayah juga ibu dan mereka sudah berada di sana.

Setiba di rumah sakit, aku mendapati ibu tengah menangis di luar ruangan Kak Leo ditangani. Aku pilu melihat wanita yang telah melahirkanku dan Kak Leo meneteskan air mata. Ini semua karena aku. Aku yang sudah membuat anak pertama ibu itu celaka. Andai aku mendengarkan kata-kata saudara lelakiku tersebut, ia pasti tak akan celaka seperti ini.

"Ibu..." aku memeluk tubuhnya dengan erat. "Maafkan aku, Bu. Aku udah buat kakak celaka."

"Nggak sayang, ini bukan karena kamu, ini musibah." Ibu menjawab sambil mengelus-elus rambutku yang terurai.

"Tapi kalau aku mendengarkan perkataan kakak, beli es krimnya bareng ibu aja, pasti kakak gak akan ke sana sendiri dan jadi celaka seperti ini, Bu."

"Nggak sayang, ini sama sekali bukan kesalahan kamu. Sekarang kamu berdoa yang terbaik, ya, agar gak terjadi sesuatu yang buruk pada kakak."

Selama lima belas menit menunggu, akhirnya Kak Leo selesai ditangani. Dokter yang menanganinya pun ke luar dan memberi tahu bagaimana keadaan Kak Leo.

"Kakak aku baik-baik aja, kan, Dok?" Sebelum ia mengatakan hal itu, aku lebih dulu membuka suara.

"Iya, Dok. Anak saya baik-baik aja, kan?" Ibu pun menanyakan hal yang sama sepertiku.

"Kakak kamu dan anak ibu baik-baik aja, kok. Tapi, kemungkinan kaki pasien mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan yang dialaminya."

Tangisku pecah setelah mendengar jawaban dari sang dokter itu. Kukira hanya kabar baik yang disampaikan olehnya, tetapi kabar buruk-lah yang sebenarnya ia ingin sampaikan pada kami.

"Jadi kakak aku gak bisa berjalan lagi, Dok?" Aku melontarkan pertanyaan yang sebenarnya sudah kuketahui jawabannya.

"Kamu sabar, ya." Lelaki itu menepuk lembut bahuku sebanyak dua kali, lalu pergi meninggalkanku dan ibu.

Tidak lama kemudian, setelah kepergian dokter, aku langsung masuk ke ruangan Kak Leo. Tangisku semakin menjadi-jadi melihatnya berbaring tak berdaya tanpa sadarkan diri.

"Kak, maafkan aku." Kupegang tangannya, lalu kucium. Berharap Kak Leo dapat merasakan kehadiranku di dekatnya walau dirinya tengah tak sadar.

"Aku benar-benar minta maaf, Kak. Karena aku kakak jadi celaka seperti ini."

Aku menghentikan tangis saat merasakan tangan Kak Leo yang sedang kupegang bergerak-gerak. Kemudian, kulihat matanya perlahan-lahan terbuka.

"Kakak udah sadar?" Aku tersenyum lebar mengetahui ia telah membuka mata.

"Lea, kok nangis? Maafin kakak, ya. Es krim kamu jatuh di jalan tadi. Nanti kakak belikan yang baru, ya?"

Padahal ia sedang terluka, tetapi masih sempat-sempatnya membahas masalah es krim itu.

"Nggak, Kak. Aku udah gak mau es krim lagi, aku cuma mau kakak sembuh."

"Kamu, kan, udah dapat nilai ujian semester lebih bagus dari kakak, jadi kamu berhak mandapat es krim itu, seperti yang sudah kita sepakati, bukan?"

Tangisku kembali pecah.

"Aku benar-benar minta maaf, kak. Karena aku kakak jadi seperti ini." Aku pun mengulangi mengatakan kalimat tersebut.

"Nggak, Dek. Kakak seperti ini karena musibah, bukan karena kamu." Kak Leo menjawab seperti jawaban ibu tadi.

"Tapi, kaki kakak?"

"Iya, kakak tahu, kok, karena tadi kakak sempat gak bisa menggerakan kaki kakak saat kecelakaan itu. Tapi gak apa-apa. Kakak, kan, masih bisa berjalan dengan kursi roda. Jadi kamu tenang aja, ya. Nanti kakak belikan es krim yang baru buat kamu."

Aku kembali mencium punggung tangan kanan Kak Leo, sambil berkata, "maafin aku, ya, Kak. Aku sayang kakak."

"Kakak juga sayang kamu." Kak Leo tersenyum lebar menjawabnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun