"Oh, itu." Doni mengangkat wajahnya dan melihat bapaknya masih menatapnya dengan tajam. Namun, karena merasa tidak mengambil golok, Doni tidak lagi merasa takut seperti sebelumnya.
"Ya, itu! Kamu ambil? Kamu pakai buat mainan? Sekarang di mana?" Pak Karto menebak-nebak apa yang sudah dilakukan Doni dengan golok kesayangannya.
"Tidak, bapak. Tadi pakde Mahmud ke sini untuk pinjam golok bapak. Doni sudah bilang kalau bapak sedang di ladang." Tak mau disalahkan, Doni menyampaikan kejadian saat dirinya sedang menonton televisi.
"Lalu?"
"Lalu pakde ambil sendiri golok bapak dari situ." Doni menunjuk kotak perkakas tani milik bapaknya.
"Itu golok kesayangan bapak. Satu-satunya. Buat apa pakde Mahmud meminjam, itu harus digunakan dengan hati-hati. Gak sembarangan, Doni!"
"Doni tidak berikan ke pakde Mahmud, Bapak. Pakde Mahmud ambil sendiri, Pak. Pakde Mahmud bilang katanya mau dipakai buat memotong daging kambing."
"Kali lain kalau bapak tidak di rumah jangan pinjamkan perkakas bapak ke orang lain!"
"Bukan Doni, Pak," lirih Doni yang meminta bapaknya mengerti, tapi sayang pak Karto sudah telanjur meninggalkan Doni.
***
Kecanggungan di ruang tamu, sekaligus ruang menonton televisi, terasa begitu jelas. Sang kepala keluarga, Pak Karto masih terpikirkan dengan goloknya yang dipinjam pakde Mahmud. Sementara itu Doni, duduk lebih dekat dengan bu Parni karena takut pada bapaknya.