Mohon tunggu...
Veronica Maria
Veronica Maria Mohon Tunggu... Guru - independen

Be successful from the edge.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sate Kambing

28 Juni 2023   10:57 Diperbarui: 28 Juni 2023   11:13 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sate Kambing

Karya Veronica A. Maria

"Jadi hari ini hari kurban, Pak?" Doni terus membuntuti bapaknya yang sedang menyiapkan peralatan ke ladang.

"Iya, hari kurban. Tetangga kita pada pergi ke masjid buat menyembelih kambing dan sapi," jelas pak Karto dengan sabar.

"Kambing dan sapi? Masjid kan buat sembahyang, Pak, kok malah ada kondangan?"

Akhirnya, Doni duduk di kursi rendah dekat bapaknya sambil terus mengamati pak Karto yang mulai mengasah parang. Sesekali pak Karto membalik sisi parang, membasahinya dengan air sebelum mengasahnya kembali pada sebuah papan batu.

"Bukan kondangan, Nak. Namanya hari kurban, ada tetangga kita yang mengurbankan kambing dan sapi untuk dimakan bersama-sama. Itu dilakukan setelah mereka sembahyang bersama," jawab bu Parni dari dapur di samping pak Karto mengasah parang.

Doni mencoba mencerna penjelasan ibunya. Mata yang tadinya fokus mengamati tangan bapaknya kini beralih tertuju pada mamaknya.

"Setelah sembahyang ada acara makan-makan? Makan bersama? Jadi kita bakalan diundang buat makan bersama? Kok mamak gak ikut masak?"

Dengan polos Doni menyampaikan rentetan pertanyaannya. Dia sempat membayangkan makan daging kambing dan daging sapi yang sangat jarang dinikmatinya, tapi seketika angannya sirna mengingat mamaknya yang masih sibuk di dapur kecil mereka. Cairan yang sempat mengucur di rongga mulutnya sudah tertelan habis.

"Lihat, mamak sudah memasak semur ayam buat Doni. Mamak hanya ambil sedikit untuk bekal mamak dan bapak ke ladang. Yang tertinggal di panci semua buat Doni. Doni boleh makan sambil menonton televisi."

Bu Parni mengisi rantang dengan nasi dan semur ayam. Tidak biasanya bu Parni masak ayam, tapi mengingat hari itu adalah hari kurban, bu Parni sengaja menangkap salah satu ayamnya untuk dimasak. Anak-anak memang cenderung mudah pengin dengan apa yang dilihat atau pun didengarnya dari orang lain, milik orang lain. Karena itu bu Parni sudah merencanakan masakan hari itu, masakan yang bisa dikatakan spesial, supaya dapat mengurangi rasa pengin Doni ketika mendengar tetangga yang makan daging sapi atau pun daging kambing.

Pak Karto sudah siap dengan parang, keranjang, dan perlengkapan lainnya. Sementara itu bu Parni sudah membawa rantang bekalnya dan meletakkannya di bangku pembonceng sepeda bututnya. Keduanya sudah siap berangkat ke ladang.

"Doni," pak Karto mendekati Doni yang berdiri mengamati kedua orang tuanya dari pintu. "Kamu di rumah saja. Jaga rumah baik-baik. Kalau pukul dua belas bapak dan mamak belum pulang, kamu beri pakan kambing kita di kandang. Doni paham?"

"Paham, Pak," jawab Doni sambil mengangguk.

"Anak pintar!" Pak Karto mengelus kepala Doni dengan bangga.

"Ayo, Pak, keburu siang," seru bu Parni yang sudah mengenakan caping dan sudah siap mengayuh sepeda bututnya.

"Pak!" Suara samar Doni menghentikan langkah pak Karto untuk menyusul bu Parni.

"Ada apa?" jawab pak Karto sedikit bingung.

"Menyembelih kambing itu menakutkan tidak, Pak?"

"Memangnya kenapa?" tanya pak Karto semakin ragu. Ia mengabaikan bu Parni yang sudah keluar halaman.

"Aku ingin ke masjid melihat mereka menyembelih kambing dan sapi," jawab Doni dengan polos.

"Di rumah saja, Doni! Sudah, bapak mau ke ladang. Lihat, mamakmu sudah meninggalkan bapak."

Pak Karto meninggalkan Doni yang masih berdiri di ambang pintu dengan rasa penasaran.

Rumah kembali sepi, seperti hari-hari biasanya ketika libur. Namun, kali ini terasa lebih sepi karena teman-teman Doni tentu sedang sembahyang di masjid dan sebentar lagi ikut melihat penyembelihan sapi dan kambing. Sementara itu, Doni hanya bisa menikmati semur ayam sambil menonton televisi, seperti kata bu Parni.

Doni mencoba menikmati liburan hari itu dengan menonton tayangan Ultraman kesukaannya.

***

TOK TOK TOK

"Selamat pagi, Nak Doni!" sapa Pak Mahmud yang sudah menunjukkan wajahnya di depan pintu.

"Selamat pagi Pakde Mahmud," jawab Doni. Ia meninggalkan piring nasinya dan berjalan menyambut pakde Mahmud.

"Bapak ada, Nak?" tanya pakde Mahmud begitu Doni sudah berada di dekatnya.

"Bapak sudah pergi ke ladang, Pakde."

"Waduh, sayang sekali. Padahal pakde lagi ada perlu ini sama bapak kamu."

"Ada perlu apa, Pakde? Bapak pergi ke ladang yang di ujung desa. Jauh sekali tempatnya," jelas Doni. Beruntungnya Doni sempat mendengar percakapan bapak dan mamaknya yang akan membersihkan ladang di ujung desa supaya siap ditanami padi musim hujan nanti. Doni sempat berpikir jika anak usia sepuluh tahun seperti dirinya diminta menyusul bapaknya ke ladang yang jaraknya cukup jauh, dia tidak akan sanggup. Tidak ada sepeda kecil di rumahnya, artinya dia harus berjalan kaki untuk menyusul bapaknya. Tidak, Doni tidak mau.

"Pakde mau pinjam golok untuk memotong daging kurban."

Doni merasa lega mendengar penjelasan pakde Mahmud.

"Saya tidak tahu kalau bapak punya golok, Pakde."

"Bapak kamu punya golok, kok, Doni. Biasanya bapakmu menyimpannya di dekat kandang. Pakde ambil ya, nanti bilang sama bapak kalau dipinjam sama pakde."

Doni menatap hampa punggung pak Mahmud yang berjalan menuju kandang. Setelah beberapa saat dilihatnya pak Mahmud sudah membawa sebuah golok dengan tersenyum puas hingga ia berlalu begitu saja tanpa menyampaikan apa pun pada Doni.

Doni pun mengangkat bahunya, masa bodoh dan kembali masuk ke rumahnya, kembali menonton Ultraman dan menghabiskan sarapannya yang sudah telanjur dingin. Saking asyiknya menonton acara televisi yang terus berganti, Doni lupa akan pesan bapaknya untuk memberi makan ternak.

Untungnya, kambing di kandang mengembik sehingga Doni teringat pesan bapaknya. Buru-buru Doni pergi ke kandang dan mengambil rumput di  bagian ujung kandang yang sudah disiapkan bapaknya sebelum berangkat ke ladang. Tidak susah, Doni cukup mengambil satu keranjang dan meletakkannya di papan tempat makan kambing. Sang kambing pun berhenti mengembik dan menyambut makanannya dengan lahap.

Sambil mengamati kambingnya yang sedang makan, Doni teringat kegiatan penyembelihan kambing di masjid. "Memangnya bapak punya golok untuk memotong kambing?" gumam Doni. "Kok aku tidak pernah lihat?" lanjutnya.

Doni lekas berjalan menuju kotak tempat bapaknya menyimpan perkakas pertanian. Ia mengamati satu per satu isinya. "Jadi bapak hanya punya satu golok yang tadi dipinjam pakde Mahmud," batin Doni.

"Kamu sedang apa Doni? Kambingnya sudah diberi makan?" tanya pak Karto yang sedang menurunkan pakan kambing yang baru saja didapatkan di ladang.

"Bapak sudah pulang?" jawab Doni agak terkejut. Suara sepeda pak Karto yang melintasi halaman kerikil benar-benar tidak didengarnya.

Di belakangnya bu Parni menurunkan keranjang yang bisa ditebak isinya, rantang yang sudah kosong, peralatan tani yang pagi tadi dibawa pak Karto, dan sayuran yang diambil dari ladang. Mungkin cabai, terong, tomat, atau kacang. Bu Parni memandang Doni sekilas dengan senyuman.

"Doni!"

"Barusan sudah kuberi pakan, Pak." Doni menunjuk kambingnya yang masih lahap memakan rumput.

"Kalau begitu sekalian bantu bapak memindahkan rumput yang ini," pinta pak Karto sambil menunjuk rumputnya yang teronggok di dekat sepeda. Sementara itu pak Karto berusaha memosisikan sepeda ke tempat yang lain.

"Aku sudah memberi pakan kambing, sekarang aku mau menonton televisi." Doni merasa keberatan begitu melihat onggokan rumput yang cukup banyak. Rumput itu juga terlihat masih kotor dan mungkin akan membuat kulitnya gatal-gatal.

"Bantu bapak dulu, sebentar saja."

"Ya, Pak."

Doni tak bisa menolak lagi. Ia mendekati rumput itu bersamaan dengan bapaknya dan memindahkan sedikit demi sedikit ke tempat penyimpanan pakan.

***

"Doniiiii.....!" teriak Pak Karto.

"Ada apa sih, Pak. Pakai teriak-teriak segala. Kambingnya keracunan?" tanya bu Parni. Ia melongok pada kambingnya yang sedang baik-baik saja.

"Golokku gak ada, Bu. Pasti diambil Doni buat mainan," jelas Pak Karto. "Doni...!" teriak pak Karto untuk kedua kalinya.

"Itu, anakmu sudah datang. Jangan teriak-teriak lagi." Bu Parni pun pergi ke dapur, meninggalkan pak Karto dan Doni.

"Iya, Pak. Ada apa?" Doni ngos-ngosan menjawab panggilan bapaknya. Ia harus berlari dan meninggalkan acara televisi begitu mendengar bapaknya memanggil untuk kedua kali. Ketakutan jelas terlihat di raut wajah Doni.

"Apa yang sudah kamu lakukan hari ini?"

"Hah?" Doni heran dengan pertanyaan bapaknya. Tidak biasanya bapaknya bertanya tentang aktivitas Doni, mamaknyalah yang sering bertanya. Apalagi ketika Doni tidak merasa bersalah, Doni hanya melakukan apa yang diperintahkan mamak-bapaknya sebelum berangkat ke ladang. "Memangnya ada yang salah, Pak?" jawab Doni dengan takut. Ia segera menundukkan kepala saat melihat pancaran mata bapaknya yang semakin mengintimidasi.

"Bapak sedang bertanya, jawab!" tegas Pak Karto.

"Doni tadi makan dan menonton televisi. Doni hampir ketiduran, tapi begitu kambing mengembik Doni langsung ingat harus memberi mereka pakan. Jadi Doni memberi mereka pakan dan kemudian bapak dan mamak pulang."

"Hanya itu yang kamu lakukan? Kamu gak bohong sama bapak?"

"Doni gak ingat kalau bapak menyuruh Doni melakukan hal lain. Doni minta maaf. Doni kelamaan menonton televisi."

"Lalu ke mana golok bapak? Golok satu-satunya kesayangan bapak?"

"Oh, itu." Doni mengangkat wajahnya dan melihat bapaknya masih menatapnya dengan tajam. Namun, karena merasa tidak mengambil golok, Doni tidak lagi merasa takut seperti sebelumnya.

"Ya, itu! Kamu ambil? Kamu pakai buat mainan? Sekarang di mana?" Pak Karto menebak-nebak apa yang sudah dilakukan Doni dengan golok kesayangannya.

"Tidak, bapak. Tadi pakde Mahmud ke sini untuk pinjam golok bapak. Doni sudah bilang kalau bapak sedang di ladang." Tak mau disalahkan, Doni menyampaikan kejadian saat dirinya sedang menonton televisi.

"Lalu?"

"Lalu pakde ambil sendiri golok bapak dari situ." Doni menunjuk kotak perkakas tani milik bapaknya.

"Itu golok kesayangan bapak. Satu-satunya. Buat apa pakde Mahmud meminjam, itu harus digunakan dengan hati-hati. Gak sembarangan, Doni!"

"Doni tidak berikan ke pakde Mahmud, Bapak. Pakde Mahmud ambil sendiri, Pak. Pakde Mahmud bilang katanya mau dipakai buat memotong daging kambing."

"Kali lain kalau bapak tidak di rumah jangan pinjamkan perkakas bapak ke orang lain!"

"Bukan Doni, Pak," lirih Doni yang meminta bapaknya mengerti, tapi sayang pak Karto sudah telanjur meninggalkan Doni.

***

Kecanggungan di ruang tamu, sekaligus ruang menonton televisi, terasa begitu jelas. Sang kepala keluarga, Pak Karto masih terpikirkan dengan goloknya yang dipinjam pakde Mahmud. Sementara itu Doni, duduk lebih dekat dengan bu Parni karena takut pada bapaknya.

TOK TOK TOK

"Selamat sore Pak Karto, Bu Parni, Nak Doni."

"Pakde Mahmud?"

Doni satu-satunya yang antusias menjawab sapaan tamunya. Ia langsung berdiri dan tahu bahwa pakde Mahmud akan mengembalikan golok yang sudah dipinjamnya pagi tadi.

Namun Doni urung melangkah begitu melihat tatapan mamaknya. Ia kembali duduk yang mempersilakan mamaknya untuk menyambut tamu.

"Ada apa Pakde Mahmud?" sapa bu Parni yang sudah menghampiri tamunya di dekat pintu.

Sekilas pakde Mahmud memperhatikan pak Karto yang terlihat fokus menonton acara televisi dan agak jauh darinya ada Doni yang tersenyum. Pakde Mahmud pun membalas senyuman Doni.

"Ini Bu Parni, mau mengembalikan golok pak Karto. Maaf, tadi langsung saya ambil saja dari kotak perkakas, soalnya pas pinjam pak Karto sudah ke ladang."

"Iya, tadi kami berangkat ke ladang lebih pagi, Pakde," jawab bu Parni sembari menerima golok yang diberikan pakde Mahmud.

"Dan ini, ada sedikit sate kambing untuk lauk makan malam," imbuh pakde Mahmud.

"Wah, terima kasih banyak Pakde Mahmud. Kami jadi ikutan makan daging kurban."

"Sama-sama, Bu. Saya juga terima kasih sudah boleh pinjam goloknya. Saya permisi ya, Bu. Mari Pak Karto, mari Nak Doni. Selamat sore."

***

"Kita diberi sate kambing, Mak?" Doni langsung menyerbu mamaknya.

"Iya, ini pegang sebentar."

Bu Parni menyerahkan bungkusan daun dari pakde Mahmud kepada Doni kemudian berjalan memandang ke arah Pak Karto. "Ini goloknya saya taruh di kotak perkakas ya, Pak. Sekalian mau ambil piring dan nasi di dapur."

Pak Karto menatap sekilas golok yang ada di tangan bu Parni dan kemudian menangguk pelan.

Dengan bungkusan di tangannya dan dengan kembalinya golok kesayangan bapaknya, Doni dengan wajah berbinar berani berbicara dengan bapaknya.

"Bapak, kita makan sate kambing malam ini. Doni senang akhirnya bisa makan sate kambing. Bapak juga, kan?"

"Bapak tidak bisa makan sate kambing, Doni." Bu Parni kembali ke ruang tengah dengan membawa dua piring dan satu bakul nasi.

"Bapak tidak suka sate kambing, Mak?"

"Bapak punya penyakit darah tinggi, jadi sate kambing tidak baik untuk kesehatan bapak." Bu Parni membuka bungkusan daun yang di dalamnya berisi sepuluh tusuk sate kambing. "Apalagi sekarang bapak masih marah," lanjut bu Parni sambil berbisik.

"Jadi, sate kambing ini hanya Doni dan mamak yang akan makan?"

"Ya, tapi mamak ambil dua tusuk saja. Sisanya buat Doni semua karena Doni sudah bantu memberi pakan kambing tadi siang.

"Yeaaa... Doni makan sate kambing!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun