Ayahku Baik, Baik Sekali
      Siapa yang tak mengenal ayahku? Tentunya orang itu pasti baru di kampungku ini. Semua orang mengenalnya dengan baik. Bahkan nama ayah diganti oleh orang-orang kampung, bos! Yang sebenarnya nama ayahku adalah Silvester. Panggilan itu sangat melekat di diri ayah. Maklum, ayah seorang pebisnis. Di depan rumah terdapat sebuah kios yang menjual sembako. Di mana semua warga kampung pasti berbelanja kebutuhan di situ. Setiap ada anak muda yang nongkrong di depan kios ayah, sekali disapa dengan panggilan bos, orang itu pasti dapat sebatang rokok. Ayah pasti tersenyum, ah, tidak, ayah tertawa lebar mendengar sapaan itu. Mungkin itu membanggakan ayah! Ayah memang baik. Baik sekali. Sebagai anaknya tentu aku bangga. Kebaikan ayah bukan main-main. Ia meminjamkan uang kepada siapa saja, khususnya warga kampung yang kesulitan membiayai pendidikan anaknya. Ayah bukan lintah darat atau tengkulak. Ayah tidak membungakan uang yang dipinjam. Ayah sangatlah baik. Lebih dari itu, ayah sering membelikan aku mainan. Sangat baik ayahku.
                                                                  ***
           Pagi itu hari Minggu. Aku baru saja bangun, maklum libur. Aku habiskan waktu bermain dengan anak seusiaku. Usiaku masih 9 tahun. Artinya aku berada pada fase semantik. Aku sudah memahami konsep bahasa lumayan baik. Seperti pagi itu, aku mengerti betul, ayah ingin melebarkan sayap bisnisnya. Ayah berdiskusi dengan ibuku.
"Bu, Ayah pikir, sudah saatnya kita lebarkan bisnis," kata ayah meminta pendapat ibu.
Ibu hanya tersenyum.
"Kok hanya tersenyum, Bu?"
"Sejak kapan Ayah meminta pendapat Ibu?" ibu tersenyum lagi seperti biasanya.
Begitulah ibuku modelnya. Ia hanya tersenyum setiap kali ayah bertanya kepadanya.
"Terserah Ayah deh. Kan Ayah yang tahu betul konsep bisnis? Ibu kan tidak tahu apa-apa. Ibu bukan orang sekolahan," kata ibu disertai senyum renyahnya.
        Ayah diam dan tersenyum. Ya betul, ibuku bukan orang sekolahan seperti ayah yang menyandang gelar sarjana. Ibu hanya tamat SD. Hanya karena kecantikannya, ia dipinang ayah.
"Ibu tidak tanya, Ayah mau bisnis apa?" tanya ayah seolah mendesak jawaban ibu.
"Memangnya Ayah mau bisnis apa? Sembako kan sudah?" tanya ibu sedikit penasaran.
"Ayam pedaging, Bu. Kan bagus, sekarang ada beberapa tetangga kita yang buka warung. Terus, banyak kos-kosan di sekitar kita. Nanti Ibu goreng, terus dijual deh di kios. Bagaimana? Cemerlang kan ide Ayah?" ayah terkekeh.
Ibu tersenyum sambil mengelus rambutku yang sedari tadi duduk di pangkuannya.
"Gimana, Al?" tanya ayah.
"Belikan mainan, Yah!" rengekku.
"Kok beli mainan?"
"Gimana bagus tidak bisnis ayah? Itu, ayam pedaging yang baru saja Ayah bilang," ayah menghampiriku.
       Aku hanya mengangguk. Ayah menggendongku sambil bernyanyi kecil di dalam rumah. Aku sangat bahagia. Bahagia sekali menjadi anaknya.
      Selang beberapa hari, sebuah carry berhenti di depan rumahku. Saat itu, aku sedang bermain sendiri. Ratusan ekor bibit ayam pedaging pun diturunkan, kemudian aku dan ibu membantu ayah memasukkannya ke kandang yang sudah disiapkan ayah sebelumnya.
                                 ***
        Untuk ukuran kecamatan, kampungku adalah yang paling ramai. Ada pasar mingguan yang tak jauh dari rumahku. Ada lembaga pendidikan SMA, SMP, dan SD. Kampungku adalah muara segala kegiatan. Aku jadi bangga dilahirkan di kampungku ini. Saking ramaianya, perkembangan segala lini kehidupan sangat cepat. Orang-orang di kampungku sangat akrab dengan media sosial, yang sebelumnya sangat buta akan hal itu. Begitulah kampungku sekarang ini.
       Bisnis baru ayahku pun sangat lancar, sesuai rencana yang sudah dirancang. Seperti pebisnis lainnya, ayah memanfaatkan media sosial untuk memasarkan dagangannya, khususnya ayam pedaging. Ayah bahkan memiliki anak buah tukang antar ayam jika di pesan. Khusus sekitar kampung. Untuk konsep bisnis, rencana ayahku tidak ada cacat. Ayah sepertinya pintar membaca peluang. Kios semakin ramai hari ke hari. Bisnis ayam pedaging lancar. Semua kebutuhan warung makan sekitar kampung menjanjikan. Panggilan bos untuk ayahku tidak ada salahnya.
"Gimana, Bu? Ayah pintar kan?" kata ayah menggoda ibu yang masih sibuk menyeduhkan kopi untuknya.
      Seperti biasa, ibu hanya tersenyum, lalu berkata, "Tidak salah kan, Ibu pilih Ayah menjadi suami?" canda ibu sambil menghidangkan kopi hangat untuk ayah sore itu.
Ayah menyeka keringat yang mengucur di dahinya sehabis membersihkan kandang ayam di belakang rumah.
"Tidak salah, Bu," jawab ayah.
       Sambil menikmati kopi, ayah sibuk menulis. Aku tidak mengerti apa yang dibuat ayah. Kira-kira, ayah sibuk menganalisa keuntungan atau kerugian dari bisnis barunya. Dari raut wajahnya yang kerap tersenyum, bisa ditebak, ayah dapat untung besar bulan ini.
"Super, Bu," katanya diiringi tawa khasnya.
"Syukur, Yah," respon ibu.
       Aku masih asyik dengan mainan mobil-mobilan yang baru saja ayah belikan di pasar tadi. Ah, ayahku memang baik. Baik sekali. Aku bangga menjadi anaknya. Di sela-sela kesibukannya, ayah menggendongku sperti biasanya, meski aku tidak merengek. Begitulah ayahku, selalu menunjukkan kasih sayangnya setiap waktu. Ayahku memang baik. Baik sekali.
                                                             ***
"Bagaimana, Bos? Mau taruhan lagi?" kata remaja laki-laki itu.
Ayah mengangguk. "38 sepuluh kali, 78 lima belas kali, 3432 lima puluh kali," terang ayah.
"Ok, Bos!" jawab remaja itu.
           Aku sedikit penasaran dengan ayah dan remaja itu. Aku tahu persis, remaja itu bukan tukang antar barang ayah. Ia sudah seminggu ini sering mendatangi ayah. Ayah memberinya uang setelah ayah membacakan angka-angkanya. Sorenya ayah teriak mengumpat atau tertawa lebar. Entah apa yang terjadi, aku tidak tahu.
       Pernah sekali ayah mendapat uang dari remaja itu, kira-kira lima ikatan uang pecahan seratus. Ayah tertawa saat itu.
"O dite ne ahe1," kata ayah waktu itu.
Remaja itu mengangguk dan tertawa.
"Makasih, Bos!"
"Al, mau mainan apa? Mumpung Ayah untung besar," kata ayah.
Aku pun meminta mainan sesuka hati. Aku tahu, ayah pasti akan penuhi permintaanku. Ayahku baik. Baik sekali.
1 O dite ne ahe: Bahasa Manggarai, Flores, NTT yang artinya ini untukmu.
        Rutinitas ayahku bertambah akhirnya. Ayah sibuk siang malam di rumah dengan sebuah buku kecil yang penuh angka-angka. Terkadang, pagi-pagi ayah bertanya kepada ibu atau aku, tanya siapa tahu ada mimpi. Biasanya ibu hanya tersenyum, "Tidak ada, Yah."
      Setelah menanyakan mimpi, ayah sibuk lagi dengn buku kecilnya. Terkadang ia menyalakan motor, bertamu ke kampung seberang. Entah apa keperluan ayah, aku tidak tahu. Ayah makin sibuk dengan buku kecilnya. Setiap jam satu siang, ayah sibuk membuka handphone-nya. Terkadang ia tersenyum. Lambat laun, remaja yang biasa ngobrol dengan ayah datang dengan uang yang sangat banyak. Kalau ayah muram mukanya setelah melihat handphone-nya, remaja itu tidak datang. Ayah berkali-kali membanting hp-nya.
      Ayah masih sibuk siang itu. Sibuk dengan buku kecil yang selalu dipegangnya. Minum kopi pun, ia tetap memegangnya. Kalau jam makan, ayah buru-buru sekali, masih memegang buku kecil di tangannya. Pikirku, mungkin begitulah orang bisnis, sangat menghargai waktu, sampai tidak memiliki waktu untuk sekedar ngobrol dengan keluarga.
 "Yah, kok stok ayam pedanging makin sedikit? Ayah tidak mau beli bibit lagi?" tanya ibu siang itu.
"Nanti, Bu," jawab ayah.
       Ibu hanya diam mendengar jawaban ayah. Makin hari, ayah makin sibuk. Kandang ayam tidak pernah dibersihkan. Jumlah ayam pun berkurang. Sebgiannya mati. Ayah sepertinya tidak mau menambah bibit lagi seperti bulan sebelumnya. Ayah pun tampak tidak mau sibuk lagi dengan ayam-ayam di kandang. Kios jarang dibuka, alasannya, sibuk. Tukang antar jarang ke rumah lagi, bahkan tidak pernah datang bulan ini.
                                                        ***
Ayah geram pagi itu. Ketika aku masih menggeliat di tempat tidur. Aku beranjak dan keluar kamar. Ibu menangis tersedu.
"Kamu tidak tahu apa-apa soal bisnis. Jangan sok tahu! Dasar!" bentak ayah.
           Ibu hanya menggeleng. Air mata masih tersisa di pelupuknya. Mata ibu sembab. Aku hanya bisa menatapnya dari pintu kamar. Ayah melototiku. Pandangannya tajam. Baru kali ini aku mendapati pandangan ayah yang sangat seram. Tak berapa lama, pintu rumah diketuk. Ayah memasang muka seperti biasa, ramah.
"Silahkan, silahkan ...," sambut ayah.
"Bagaimana, Bos?" tanya remaja itu, yang sering datang ke rumah.
"Em ... anu ...," ayah menggaruk kepalanya.
"Ah, Bos. Jangan panik. Mau pakai berapa juta? Bandar siap kok!"
Ayah hening sejenak. Menggeleng.
"Tidak ada mimpi bagus," kata ayah kemudian.
"Astaga, kenapa harus mimpi? Tebak saja, Bos. Dalam judi kupon2 ini, modal mimpi tidak selalu beruntunga. Kalau rejeki, modal tebak pasti kena," rayu remaja itu.
"Boleh-boleh," kata ayah kemudian.
          Jadilah demikian. Ayah meminjam uang kepada pengecer remaja itu. Level perjudian ayah makin meningkat per hari. Ayah terkadang taruhan sampai ratusan bahkan jutaan rupiah untuk beberapa tebakan. Ayah makin sibuk saja dengan hobi barunya. Ibu hanya diam saja. Melarang atau sekedar menegur ayah sama artinya meminta petaka.
       Baru saja pengecer keluar dari rumah. Ada lagi tamu yang datang. Kali ini, Pak Joko, seorang pebisnis hebat dari kampung tetangga. Aku disuruh ayah masuk kamar. Sementara ibu, tanpa diminta, menuju dapur menyeduh kopi atau teh.
"Aku butuh uang. Aku kepepet sekali. Uang bulanan anak kuliahku harus dikirim sebentar. Bisnisku tidak lancar akhir-akhir ini," kata Pak Joko.
Kupon2 Judi togel. Orang Manggarai mengenal judi ini dengan sebutan kupon.
Ayah diam sebentar.
"Tidak bisa minggu depan, Pak?"
        Pak Joko menggeleng. Lalu ayah memanggil ibu. Ibu diseret ayah ke kamar. Aku masih meringkuk takut. Wajah ayah geram lagi. Kegeraman ayah makin meninggi sesaat mendengar jawaban ibu.
           "Aku tidak punya simpanan, Yah. Ayah kan yang pegang semua uang," jelas ibu.
            "Ah, dasar tidak berguna!" bentak ayah. Ibu didorongnya hingga terjatuh. Aku makin ketakutan. Sambil menahan sakit, ibu memelukku.
      "Ayahmu orang baik, Nak. Ia baik sekali," kata ibu dalam isak tangisnya yang tersedu.
            Aku hanya bisa diam. Diam dan aku sangat takut. Ayahku berubah sejak pengecer muda itu ke rumah. Sekarang ayah terlilit hutang. Banyak sekali.
            "Aku minta waktu, Pak Joko," kata ayah.
                                                             ***
            Ayahku baik. Baik sekali ayahku. Meski bangkrut begini, orang-orang tetap memanggilnya bos. Hebat betul ayahku, saking hebatnya panggilan itu semakin hari semakin melekat. Ayah terlihat baik-baik saja. Makin banyak utang, makin ayah sibuk dengan buku yang berisi angka-angka itu.
            Sikap ibu biasa saja, seperti tidak ada apa-apa. Padahal, badai baru kemarin terjadi. Ibu masih menyeduh minuman kesukaan ayah: kopi. Ibuku baik. Baik sekali ibuku. Ayah meneguk kopi buatan ibu penuh nikmat. Ia kadang menggeleng-geleng. Tidak jelas, apakah karena kopinya tidak enak, ataukah ekspresi keheranan sebab kopi buatan ibu selalu enak, ataukah angka-angka yang ditulis ayah tidak bakalan mendatangkan uang. Maksudnya, ayah mungkin ragu dengan tebakannya. Ibu hanya diam. Diam dan menunduk di depan ayah.
                                                            ***
            Ibu masih diam seperti hari sebelumnya. Rutinitasnya sebagai pengurus rumah tangga dijalani tanpa cela. Ayah masih diam sejak pagi tadi. Mungkin ayah memikirkan angka-angka untuk tebakan jam 3 sore nanti, entahlah!
      "Bu, bagaimana ini? Ayah harus melunasi utang Pak Joko dan utang lainnya," kata ayah pelan.
            Wajah ayah tampak lugu menimbulkan rasa iba. Ibu hanya tersenyum manis di depan ayah. Ah, ibuku memang baik. Baik sekali. Sampai-sampai rela meminjam uang kakek untuk melunasi utang ayah. Ibu sangat mencintai ayah sampai hari ini, bahkan selamanya, itu terlihat dari wajah ibu yang baik-baik saja.
      "Tenang, Yah. Ada kok. Jangan tanya Ibu dapat dari mana. Intinya ini halal," jelas ibu.
            Ayah diam. Ia hanya bisa menunduk. Tidak ada kata terima kasih dari mulut ayah. Ibu tersenyum lagi. Ibuku baik. Baik sekali. Ayahku baik. Memang baik ayahku. Ia berhenti dari lingkaran perjudian tanpa dimintai ibu. Baik kan ayahku? Astaga, keliru kalau orang menilai kalau ayahku tidak baik! Panggilan bos saja masih melekat. Panggilan itu semacam menjadi bagian dari hidup ayah. Bisa jadi, ayah ditakdirkan untuk berganti nama!
                                                            ***
            Beberapa bulan berlalu berlalu kios ayah aktif kembali. Kali ini ibu dipercaya mengurus bisnis. Ayah masih sibuk melototi buku-buku yang berisi angka-angka. Kali ini angka-angka rupiah. Ya, ayah jadi bendahara kios yang dikelola ibu. Untuk ayam pedaging, di-stop-kan sementara.
            Aku tahu persis jam kerja ayah. Setiap jam 14. 30, ayah pasti masuk kamar.
            "Bu, Ayah istirahat sejenak ya," kata ayah seperti biasanya.
            Ibu pasti tersenyum saja menjawabnya.
            Waktu itu aku sibuk bermain di pojok rumah, di bawah rerimbunan bunga-bunga. Ayah nongol di jendela kamar. Sebentar-sebentar melirik ke arah jalan tikus seberang rumah. Dari kejauhan, pengecer datang. Lewat jendela, ayah memberikan angka tebakannya! Aku hanya diam. Diam dan takut kepergok ayah. Aku harus menutup mulut agar bencana tidak terjadi.
            Aku tersenyum kecut. Dasar ayah! Ya, ayahku baik. Baik sekali. Ibu juga tahu, ayahku baik. Baik sekali. Memang baik ayahku. Aku bangga menjadi anaknya, sampai kapan pun. Karena ayahku baik. Baik sekali.
Noa, 26 Maret 2020
16. 04
(Cerpen ini dinobatkan sebagai juara 2 dalam event lomba cerpen tema "Keluarga" yang diadakan FAM Indonesia 2020)
M. Hamse
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H