Rutinitas ayahku bertambah akhirnya. Ayah sibuk siang malam di rumah dengan sebuah buku kecil yang penuh angka-angka. Terkadang, pagi-pagi ayah bertanya kepada ibu atau aku, tanya siapa tahu ada mimpi. Biasanya ibu hanya tersenyum, "Tidak ada, Yah."
      Setelah menanyakan mimpi, ayah sibuk lagi dengn buku kecilnya. Terkadang ia menyalakan motor, bertamu ke kampung seberang. Entah apa keperluan ayah, aku tidak tahu. Ayah makin sibuk dengan buku kecilnya. Setiap jam satu siang, ayah sibuk membuka handphone-nya. Terkadang ia tersenyum. Lambat laun, remaja yang biasa ngobrol dengan ayah datang dengan uang yang sangat banyak. Kalau ayah muram mukanya setelah melihat handphone-nya, remaja itu tidak datang. Ayah berkali-kali membanting hp-nya.
      Ayah masih sibuk siang itu. Sibuk dengan buku kecil yang selalu dipegangnya. Minum kopi pun, ia tetap memegangnya. Kalau jam makan, ayah buru-buru sekali, masih memegang buku kecil di tangannya. Pikirku, mungkin begitulah orang bisnis, sangat menghargai waktu, sampai tidak memiliki waktu untuk sekedar ngobrol dengan keluarga.
 "Yah, kok stok ayam pedanging makin sedikit? Ayah tidak mau beli bibit lagi?" tanya ibu siang itu.
"Nanti, Bu," jawab ayah.
       Ibu hanya diam mendengar jawaban ayah. Makin hari, ayah makin sibuk. Kandang ayam tidak pernah dibersihkan. Jumlah ayam pun berkurang. Sebgiannya mati. Ayah sepertinya tidak mau menambah bibit lagi seperti bulan sebelumnya. Ayah pun tampak tidak mau sibuk lagi dengan ayam-ayam di kandang. Kios jarang dibuka, alasannya, sibuk. Tukang antar jarang ke rumah lagi, bahkan tidak pernah datang bulan ini.
                                                        ***
Ayah geram pagi itu. Ketika aku masih menggeliat di tempat tidur. Aku beranjak dan keluar kamar. Ibu menangis tersedu.
"Kamu tidak tahu apa-apa soal bisnis. Jangan sok tahu! Dasar!" bentak ayah.
           Ibu hanya menggeleng. Air mata masih tersisa di pelupuknya. Mata ibu sembab. Aku hanya bisa menatapnya dari pintu kamar. Ayah melototiku. Pandangannya tajam. Baru kali ini aku mendapati pandangan ayah yang sangat seram. Tak berapa lama, pintu rumah diketuk. Ayah memasang muka seperti biasa, ramah.
"Silahkan, silahkan ...," sambut ayah.