Ayah diam sebentar.
"Tidak bisa minggu depan, Pak?"
        Pak Joko menggeleng. Lalu ayah memanggil ibu. Ibu diseret ayah ke kamar. Aku masih meringkuk takut. Wajah ayah geram lagi. Kegeraman ayah makin meninggi sesaat mendengar jawaban ibu.
           "Aku tidak punya simpanan, Yah. Ayah kan yang pegang semua uang," jelas ibu.
            "Ah, dasar tidak berguna!" bentak ayah. Ibu didorongnya hingga terjatuh. Aku makin ketakutan. Sambil menahan sakit, ibu memelukku.
      "Ayahmu orang baik, Nak. Ia baik sekali," kata ibu dalam isak tangisnya yang tersedu.
            Aku hanya bisa diam. Diam dan aku sangat takut. Ayahku berubah sejak pengecer muda itu ke rumah. Sekarang ayah terlilit hutang. Banyak sekali.
            "Aku minta waktu, Pak Joko," kata ayah.
                                                             ***
            Ayahku baik. Baik sekali ayahku. Meski bangkrut begini, orang-orang tetap memanggilnya bos. Hebat betul ayahku, saking hebatnya panggilan itu semakin hari semakin melekat. Ayah terlihat baik-baik saja. Makin banyak utang, makin ayah sibuk dengan buku yang berisi angka-angka itu.
            Sikap ibu biasa saja, seperti tidak ada apa-apa. Padahal, badai baru kemarin terjadi. Ibu masih menyeduh minuman kesukaan ayah: kopi. Ibuku baik. Baik sekali ibuku. Ayah meneguk kopi buatan ibu penuh nikmat. Ia kadang menggeleng-geleng. Tidak jelas, apakah karena kopinya tidak enak, ataukah ekspresi keheranan sebab kopi buatan ibu selalu enak, ataukah angka-angka yang ditulis ayah tidak bakalan mendatangkan uang. Maksudnya, ayah mungkin ragu dengan tebakannya. Ibu hanya diam. Diam dan menunduk di depan ayah.