Ia makin panik. Demamnya makin menggila saja. Ia menggigil.
"Sa ... saya harus bagaimana?" tanyanya.
"Kamu bisa mati!"
Temannya diam sejenak. Sepertinya berpikir. Kemudian ia menggeleng pelan. Vindi, sang pengacau yang menyebut dirinya preman ganteng, kalap. Pikirannya jadi kacau balau. Informasi dari televisi semalam, tentang wabah yang makin meresahkan ini sangat menakutkannya.
"Resep obat biasa saja dulu," kata temannya.
Ia makin kacau. Bisa ditebak, kalimat temannya itu tidak memuaskannya. Pikirannya sudah melayang jauh: tentang kematian! Ia menunduk pilu. Demamnya makin tinggi, batuknya makin parah, ingusnya terus menetes. Ia sesekali mendeham, serasa ada sesuatu di tenggorokannya.
***
Siapa yang tidak mengenalnya? Dia terkenal seantero kampung. Sosok berbadan kekar, tato naga di lengan kanan, potongan rambut cepak, telinga kiri-kanan berlubang sebesar pelek sepeda ontel! Ia tidak mengenal takut, apalagi habis mabuk.
"Ine, uang!" itu kalimatnya setiap saat di rumah.
"Nak, Ine uang dari mana?"
"Pokoknya uang!" desaknya.