Mohon tunggu...
M. Hamse
M. Hamse Mohon Tunggu... Guru - Hobi Menulis

Hobi Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Fobia

7 Desember 2022   19:13 Diperbarui: 7 Desember 2022   19:25 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Fobia

Kecemasan semakin membesar. Pompa jantungnya kian cepat saja. Ia kikuk seperti anak kecil, tidak seperti biasanya! "Mati saya!" desisnya. Ia melompat keluar dari kamarnya dengan perasaan yang was-was.

"Ine1 ... , mana jaketku? Biasanya saya simpan di sini!" teriaknya di ruang tamu.

Yang dipanggil tergopoh-gopoh. Dengan wajah takut dan perasaan kalut, ibu tua renta itu membolak-balik pakaian di kursi plastik. Ia berkali-kali membolak-balik, tak ditemukan. Ia bergegas ke kamar, mencari di tumpukan baju di atas tempat tidur, tidak ketemu juga. Ia makin takut saja. Takut kepada anak sendiri? Ah, ini jadi pertanyaan besar!

"Mana?" teriaknya lagi.

"Tidak tahu, Nak! Mungkin ... ," ia tak melanjutkan kalimatnya.

"Mungkin apa?" teriaknya lagi.

"Mungkin, Ine belum mencucinya," jawabnya terbata.

"Wedol tu'u ghau ta2," marahnya.

Ia bergegas keluar, ditendangnya kursi itu sampai barang-barang berjatuhan. Ia sangat kedinginan. Gejala demam, mungkin! "Uhuk ... uhuk ... ," ia batuk sepanjang jalan. Hidungnya gatal-gatal, "Dasar pilek, bangsat!" makinya. Ia terus berjalan. Ia sangat takut, gara-gara ia menonton berita semalam, di rumah tetangga.

"Ya, itu gejalanya. Kalau kamu tak cepat-cepat ke rumah sakit, bisa gawat!" kata teman yang dijumpainya.

Ia makin panik. Demamnya makin menggila saja. Ia menggigil.

"Sa ... saya harus bagaimana?" tanyanya.

"Kamu bisa mati!"

Temannya diam sejenak. Sepertinya berpikir. Kemudian ia menggeleng pelan. Vindi, sang pengacau yang menyebut dirinya preman ganteng, kalap. Pikirannya jadi kacau balau. Informasi dari televisi semalam, tentang wabah yang makin meresahkan ini sangat menakutkannya.

"Resep obat biasa saja dulu," kata temannya.

Ia makin kacau. Bisa ditebak, kalimat temannya itu tidak memuaskannya. Pikirannya sudah melayang jauh: tentang kematian! Ia menunduk pilu. Demamnya makin tinggi, batuknya makin parah, ingusnya terus menetes. Ia sesekali mendeham, serasa ada sesuatu di tenggorokannya.

***

Siapa yang tidak mengenalnya? Dia terkenal seantero kampung. Sosok berbadan kekar, tato naga di lengan kanan, potongan rambut cepak, telinga kiri-kanan berlubang sebesar pelek sepeda ontel! Ia tidak mengenal takut, apalagi habis mabuk.

"Ine, uang!" itu kalimatnya setiap saat di rumah.

"Nak, Ine uang dari mana?"

"Pokoknya uang!" desaknya.

"Saya dulu enak-enakkan di Bali. Kamu suruh saya pulang. Saya sudah bilang, kalau saya pulang, tidak usah kerja. Terima bersih saja!" ceramahnya.

"Suruh kamu pulang untuk bantu Ine, Ame3-mu kan sudah tiada!"

"Ah, banyak omong. Uang! Cepat!" teriaknya.

Ine1                                       : artinya mama atau ibu (Bahasa Manggarai, Flores, NTT)

Wedol tu'u ghau ta2    : artinya gila itu orang (Bahasa Manggarai, Flores, NTT)

Ame3                                  : artinya ayah atau bapak (Bahasa Manggarai, Flores, NTT)

Ine hanya bisa mengelus dada, menggeleng kepala, tidak mengerti tabiat anaknya yang kian menggila. Mau menyumpahinya, tidak baik, itu darah dagingnya! Ine menitikkan air mata dan segera bergegas masuk kamar. Di angkatnya kasur tua kamarnya, mengambil beberapa lembar uang tabungannya, hasil penjualan umbi-umbian di pasar diserahkan ke anaknnya. Hal itu dilakukan untuk menghindari perkara menjadi prahara besar.

"Seandainya kamu masih hidup Piter," gumam ine.

Sang suami sudah berpulang sebelum Vindi lahir. Banyak yang bilang, itu adalah genetik dari ayahnya. Dulu ayahnya juga bisa disebut preman! Kurang lebih, Vindi adalah copy paste! Vindi sering loss control kalau habis menegak arak. Teriak-teriak, kebut-kebutan dengan sepeda motor dengan bunyi yang, ah, seperti diesel yang knalpotnya copot. Ia sama sekali tidak mengindahkan siapa- siapa. Kalau minum, habis sebotol, dua botol, berbotol-botol, uang pun habis. Itu perkara mudah buatnya. Tinggal palak atau pajak kepada setiap orang yang lewat. Anehnya, selalu dapat! Ya, bisa jadi, orang-orang seperti ibunya, menghindari perkara. Seperti malam itu, saat bulan muncul setengah. Ketika ia minum-minum dengan beberapa kawanan pemabuk tetangga sebelah.

"Hei, berhenti!" teriaknya ketika sebuah sepeda motor lewat.

Ia melompat dari sebuah tenda di bawah rimbun pohon mangga, di tepi jalan besar.

"Rp 10. 000 saja," katanya santai seperti menagih kepada orang yang dikenal.

"Apa? Kamu pikir ... ," satu pukulan mendarat di mulut.

"Kalau tidak ada uang, jalan saja," ia menendangnya.

"Cepat mati ya!" katanya.

"Ayo, patungan! 5. 000-lah per orang," pintanya kemudian kepada teman-temannya.

Mencari arak di kampungnya tidak susah. Sebagian orang menghidupi keluarga dengan menyadap aren, kemudian diolah menjadi sopi4. Per botol air mineral kecil, biasa dihargai Rp 25. 000, itu untuk kelas menengah. Kalau mau yang lebih kejam lagi kerasnya, disebut BM5 (bakar menyala) biasa dihargai Rp 50. 000/botol air mineral kecil.

"Kalian tahu sekarang terjadi apa? Kok kalian masih main-main? Mengerti kan social distancing? Masih kumpul-kumpul saja!" bentak Pak Zaver, ketua RT.

Teman-temannya menunduk takut. Vindi sudah mulai pusing. Kesadarannya terbang ke dunia lain. Ia mencoba bangkit. Dibantingnya sloki di tangannya. Di sepaknya api yang masih membara, sebelumnya mereka memanggang ayam hasil curian.

"Hei ...!" teriaknya.

"Kenapa harus takut dengan virus corona itu? Harusnya kita takut sama Tuhan, bukan virus!" katanya.

Pak RT sesaat terdiam. Ia tahu betul watak salah satu warganya yang miring itu. Pak RT mengambil sikap sopan. Sebab pak RT tahu betul menghadapi orang mabuk.

"He, Nak, virus itu ...,"

Ia mendorongnya, "Prakk!" pak RT terjatuh. Semuanya semakin takut.

"Virus corona kok takut! Hahahhaha konrona ... konrona ...," ia tertawa lebar, sengaja pleset-kan kata corona menjadi konrona6.

Beberapa orang temannya mencoba menahannya. Mereka memegangnya. Ia memberontak sekuat tenaga. Pada saat bersamaan, pak RT bangkit dibantu temannya.

"Sudah ... sudah ... , tidak apa-apa!" kata pak RT.

"Kalian tahu, saya hanya menjalankan amanah pemerintah. Ya, saya malu sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi, menjadi abdi memang harus mampu menanggung malu, manakala warga tidak menerima segala himbauan!" pak RT meninggalkan mereka dengan wajah malu.

"Hei, kalian kok diam? Mana sopi-nya. Kita lanjut! Kenapa pula kita harus menjaga jarak!" teriaknya.

"Mati itu di tangan Tuhan, bukan tangan pak RT, hahahhahaha."

***

Ia masih demam. Pileknya pun tak sembuh-sembuh. Batuknya makin parah. Atas saran temannya, ia berdiam diri di rumah. Ia sangat ketakutan, apalagi informasi tentang virus corona semakin merebak. Ine tidak bisa berbuat apa-apa, selain berharap ada yang membelikannya obat demam, pilek, dan batuk, sebab tabungannya habis diambil anaknya.

4 Sopi: Arak khas Manggarai, Flores, NTT, yang terbuat dari sadapan aren yang dicampur dengan berbagai ramuan.

5 BM: Sopi yang kualitasnya super, rasanya lebih keras.

6 Konrona: Plesetan kata corona. Dalam Bahasa Manggarai, Flores, NTT, konrona artinya tidak bersuami. Kata ini menjadi tren di kalangan remaja di Manggarai (khususnya sebelah barat) selama pandemi virus corona. Kata ini biasanya muncul di dinding facebook atau whatssapp.

 "Ia harus segera di bawa ke puskesmas," katanya.

Ine terdiam. Diam, sebab dia tidak tahu harus bagaimana mendapatkan uang.

"Tenang saja. Kalau ada biaya, saya yang bayar," kata pak Zaver seolah mengetahui isi kepalanya.

Ine hanya bisa menangis atas kemurahan hati pak RT. Dari dalam biliknya, ia mendengar percakapan ine dengan pak RT. Hatinya menjadi remuk redam, ketika khayalannya kembali ke belakang. Bagaimana ia mempermalukan pak RT waktu itu. Ia hendak bergegas menemui pak RT, tapi raganya terasa sangat lemah, dan juga nyalinya tidak cukup kuat.

"Baiklah, panggil dia, kita lekas ke puskesmas," seru pak RT.

Di luar rumah orang-orang mulai berteriak. Bahkan ada yang anarkis, sempat melempari rumah dengan batu dan botol.

"Woe, mati saja kau itu!" teriak orang-orang.

"Usir dia dari sini!" kata yang lain.

"Dasar biadab! Sudah tahu ada wabah, masih saja berkumpul dan jalan-jalan ke kota," teriak yang lain lagi.

Untuk pertama kalinya, Vindi menciut. Ketakutannya semakin besar, bukan hanya karena ia sakit, ia juga takut kecaman dari warga di luar rumahnya.

"Dia itu manusia brengsek, Pak RT. Kenapa juga ia ditolong? Biarkan ia mati saja!" kata salah satu orang.

"Sudah ... sudah ... , ia juga warga saya. Saya wajib menolongnya, itulah tugas saya. Manusia pasti pernah berbuat salah. Lalu, apakah kita tidak membukakan pintu maaf untuknya?" kata pak RT.

Semuanya diam.

"Baiknya kita antar dia ke puskesmas terdekat. Jangan sampai dia memang terinfeksi virus corona. Kalau dia tidak segera ditolong, kita juga bisa kena!" tegas pak RT.

Vindi masih berdiri di dekat pak RT. Ia memakai masker, seperti yang dianjurkan. Ia nampak lesu. Pak RT, menyibak kerumunan warga. Sempat salah seorang memukul Vindi dari belakang. Vindi diam saja. Ia terus berjalan, mengikuti pak RT.

"Begini, Pak. Dia sakit, gejalanya mirip seperti yang ditayangkan di televisi, virus corona itu," jelas pak RT.

Dengan cepat, perawat itu memeriksanya.

"Baiklah. Jangan panik, Pak RT. Bisa jadi ini demam biasa," jelas perawat itu.

"Kita beri dia pengobatan biasa dulu, maksudnya obat demam, pilek, dan batuk. Jika gejala berlanjut, maka akan dirujuk. Untuk sementara, isolasi diri saja di rumah selama beberapa hari, minimal 14 hari. Kami akan pantau!"

"Baiklah!"

Vindi diam saja. Bayangan ketakutan makin kuat dalam pikirannya. Beberapa tim perawat mengantar pulang.

"Untuk sementara, Ibu jangan kontak fisik dengannya," kata perawat itu.

"Ibu wajib pakai masker," katanya lagi sambil memberikan sebuah masker.

"Jangan takut, Bu! Banyaklah berdoa. Kami yakin, dengan kuasa-Nya, ia akan sembuh!"

***

Ia merasakan dirinya terasing dalam gubuk reyot itu. Ine sangat mengasihinya selama ia diisolasi. Memberinya makan dan kebutuhan lain. Tidak ada tanda-tanda kebencian dari sang bunda. Vindi merasa haru dan menitikkan air mata.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya perawat itu setelah beberapa hari.

"Demamku hilang, sudah tidak pilek lagi, batuk juga sudah hilang," terangnya.

"Syukurlah!" kata pak RT.

Vindi menunduk. Ia menangis, entah mengapa. Ine juga ikut menangis haru, memeluk anak semata wayangnya.

"Maaf, Pak RT," ucapnya.

Pak RT hanya tersenyum, senyum seorang pemimpin yang berhati besar!

9 Mei 2020

M. Hamse

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun