Alida berhenti persis setengah meter di dekat kaki Sandoro yang memalangi jalan. Bersama keroco-keroconya, ia berlaku seolah tak ada siapa pun. Sahabat-sahabat Alida mulai gemetar. Keringat dingin mulai meleleh di dahi keempatnya.
Alida berdehem. Sandoro menoleh. Mata Alida menatap palang kaki Sandoro. Sandoro acuh tak acuh. Tanpa menurunkan kakinya.
Alida kemudian benar-benar mendekati Sandoro. Tangan kirinya menumpu pada dinding persis di dekat kepala Sandoro yang sedang menyender. Tangan kanannya berkecak pinggang.
Jantung keempat sahabat Alida makin keras berdebar.
“Hai, Ndoro...” Alida menyapa. Sembari menguarkan bau mulutnya. Sontak Sandoro menutup kedua lubang hidunya.
“Kami mau lewat. Turunin tu kaki!” Alida menaikkan nada suaranya. Getas. Tegas.
Sandoro dan kawan-kawan bergeming. Kakinya tetap memalangi jalan.
“Kamu belum kapok?” tanya Alida.
Sandoro tak menjawab. Tangan kanannya tetap menutup hidung.
Tanpa terduga, Alida menarik tangan Sandoro. Sesaat kemudian mulutnya mendarat di mulut Sandoro. Dengan sekuat tenaga ia menyemburkan bebauan di mulutnya. Sandoro yang tak menduga hal itu benar-benar kalang kabut.
Buru-buru ia menurunkan kakinya. Melompat ke halaman sekolah. Muntah-muntah. Keroco-keroconya merubunginya. Alida dan kawan-kawan melenggang memasuki kelas seperti tak terjadi apa-apa.* (Nyambung)
* email: aba.mardjani@yahoo.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H