NAMANYA nenek-nenek, jadi sering panikan. Begitu cucunya, Alida, belum juga pulang dari sekolah, Nenek Aminah kalang kabut sembari menjambak-jambak rambut.
“Ke mana cucuku, Sumi?” tanya Nenek Aminah kepada pembantu bernama Sumi yang lagi SMS-an sama pacarnya.
“Biasa gitu, Nyonya. Paling sebentar lagi pulang.”
“Apa nggak dijemput? Biasanya memang nggak dijemput? Atau kalian malas menjemput? Ke mana si Kardi? Coba suruh dia jemput Alida di sekolahnya. Cepat!”
Sumi coba sabar. Dia tahu kebiasaan Nenek Aminah kalau pas berkunjung. Apalagi kalau sudah menyangkut Alida, cucu kesayangannya.
“Non Lida itu marah kalau dijemput, Nyonya. Dan kalau marah suka....”
“Suka apa?” Nenek Aminah memotong.
Sumi ragu-ragu.
“Suka ngejewer, Nyonya!” terdengar suara Kardi.
“Apa? Cucuku suka ngejewer? Memelintir telinga begitu? Seperti laki-laki?”
“Ya gitu deh, Nyonya. Sakitnya sih nggak seberapa, tapi malunya itu. Dijewer anak kecil...” kata Kardi seperti Curhat.
*
Hampir pukul tiga sore Alida baru memperlihatkan batang hidungnya. Baju seragam sekolahnya sedikit lecek.
Ia agak kaget menemukan neneknya ada di rumah. Setelah mengucapkan salam, ia mencium tangan neneknya, atas bawah.
Nenek Aminah memperhatikan penampilan cucu cantiknya itu. Rambutnya agak berantakan. Pakaiannya sedikit lecek. Ia geleng-gelengkan kepala.
“Kenapa kamu berantakan begini, Lida?” ia tak bisa menahan dirinya untuk bertanya.
“Berantakan? Perasaan biasa aja, Nek.”
“Naik apa kamu tadi?”
“Bonceng motor temen, Nek.”
“Bonceng motor? Laki apa perempuan temenmu itu?”
“Perempuan, Nek.”
Nenek Aminah nampak sedikit lega. “Tapi, kenapa kamu nggak mau dijemput si Kardi?”
Alida menggaruk kepalanya. “Malas, Nek.”
“Iya kenapa?”
“Nggak bebas. Aku kan nggak bisa membiarkan Mas Kardi nunggu lama-lama. Kadang-kadang aku ada urusan setelah jam pelajaran selesai.”
“Besok-besok nggak boleh gitu lagi dong, Lida. Bagaimanapun kamu kan anak perempuan. Ayu. Nenek khawatir....”
Alida sudah pergi ke kamarnya. “Iya, Nek....” teriaknya sebelum menutup pintu kamarnya.
*
Di meja makan.
“Kalian masih....” Nenek Aminah membuka percakapan. Agak ragu melanjutkan. Memandang bergantian wajah Himawan dan Hanum. Kedua orang tua Alida itu asyik dengan santapan masing-masing.
Nenek Aminah melanjutkan makannya. Tak melanjutkan kalimatnya. Membiarkan kata-katanya menggantung.
“Masih mesra, Nek...” Alida nyeletuk beberapa saat kemudian.
Nenek Aminah mendengus.
“Bukan itu maksudku,” katanya.
“Makanya kalau ngomong jangan digantung, Nek...”
“Diam kau,” mata Nenek Aminah memelototi Alida. Alida senyum-senyum. Ia tahu neneknya tak benar-benar marah.
“Jadi masih apa, Mah?” Hanum memberanikan nimbrung. Himawan mengambil minuman. Meneguknya. Mendorong sisa-sisa makanan dalam mulutnya.
“Masih mengawasi cucuku secara ketat, bukan?” Nenek Aminah berkata setelah menelan makanan. Sebelah tangannya memegang gelas minuman. Ia tak langsung minum. Menunggu reaksi kedua orangtua Alida.
“Maksudnya, Mah?” Hanum melanjutkan.
“Tadi siang Alida pulang terlambat. Terus terang aku khawatir. Sudah begitu, pulangnya dibonceng sepeda motor. Kenapa bukan si Kardi yang jemput?”
Alida terus makan, menghabiskan sisa-sisa nasi dan lauk dalam piringnya. Pura-pura tak mendengar perkataan neneknya.
“Bagus kalau Mamah khawatir,” Himawan berkata. Nyaris tanpa ekspresi. Tak memandang ibunya juga. “Itu tandanya Mamah sayang sama Alida.”
“Kau tahu apa maksudku,” suara Nenek Aminah sedikit ketus. Nadanya sedikit naik.
“Kita tanya saja Lida. Dia pasti punya jawaban mengapa pulang terlambat, meskipun pasti yang kemarin itu juga bukan yang pertama,” kata Himawan, memancangkan matanya pada mata Alida.
“Apa katamu, Lida?” Hanum sedikit memojokkan Alida.
Nenek Aminah menatap Alida. Menunggu jawaban cucunya.
“Nggak ada yang istimewa juga sih...”
“Yang jujur,” Nenek Aminah menjajari kalimat Alida.
“Iya. Ini jujur, Nek. Tadi itu aku dipanggil Wali Kelas, Pak Baroto.”
“Untuk urusan apa?” Nenek Aminah merasa tak sabar.
“Ada sidang kecil. Aku memelintir tangan Sandoro.”
“Apa?” Nenek Aminah terlonjak. “Kamu berkelahi?”
“Nggak berantem, Nek. Aku itu memelintir tangan Sandoro. Anak kelas 11.”
Hanum dan Himawan nampak tenang.
“Aku memelintir tangan anak kurang ajar itu karena ia melakukan pelecehan kepada temenku, Indri.”
“Pelecehan? Pelecehan apa?”
“Itu, Nek. Pegang...pegang...”
“Pegang apa?”
“Maksudku colek-colek anu-nya Indri. Di depan mataku. Langsung kuterkam dia. Kupelintir tangannya. Dia menjerit kesakitan tanpa bisa melepaskan diri...”
Nenek Aminah tak bisa berkata apa-apa.
*
Sandoro itu tengil. Belagu. Ia rupakanya belum kapok setelah kena pelintir Alida kemarin. Buktinya, kini, di koridor sekolah yang agak sempit, Ia bersama sohib karibnya berkumpul. Seperti ingin mencegat Alida dan kawan-kawan yang ingin masuk kelas setelah jajan di kantin.
“Dia lagi, Lid,” bisik Indri. Ia memundurkan langkah. Agak di belakang Alida.
“Mau ngapain lagi dia?” Tere menggerundel. Wajahnya langsung keruh.
“Cari gara-gara lagi,” papas Inge.
“Tenang aja,” Alida menenangkan sahabat-sahabatnya.
“Kamu bisa tenang karena kamu kan punya mainan. Bisa silat, jago beksi, jago karate, bisa aikido,” protes Lola.
“Aku nggak akan ngeluarin keringat untuk ngadepin anak-anak kaya’ gitu,” kata Alida.
Jadi? Sekeranjang tanya mengaduk-aduk benak sahabat-sahabatnya.
Alida merogoh sakunya. Dari sana, ia mengeluarkan sebiji buah pete. Mengupasnya. Lalu, begitu saja memakannya. Sahabat-sahabatnya saling berpandangan. Belum bisa menebak apa yang akan dilakukan Alida.
Bau pete segera beredar. Melebihi bau kentut. Lola menahan mual. Bau jengkol dan pete paling tak disukainya.
Alida melangkah mendekati gerombolan Sandoro. Jantung Indri, Tere, Inge, dan Lola berdegup keras. Seperti tengah baris berbaris, keempatnya melangkah hati-hati di belakang Alida. Sembari menahan bau pete yang seperti menusuk-nusuk hidung.
Alida berhenti persis setengah meter di dekat kaki Sandoro yang memalangi jalan. Bersama keroco-keroconya, ia berlaku seolah tak ada siapa pun. Sahabat-sahabat Alida mulai gemetar. Keringat dingin mulai meleleh di dahi keempatnya.
Alida berdehem. Sandoro menoleh. Mata Alida menatap palang kaki Sandoro. Sandoro acuh tak acuh. Tanpa menurunkan kakinya.
Alida kemudian benar-benar mendekati Sandoro. Tangan kirinya menumpu pada dinding persis di dekat kepala Sandoro yang sedang menyender. Tangan kanannya berkecak pinggang.
Jantung keempat sahabat Alida makin keras berdebar.
“Hai, Ndoro...” Alida menyapa. Sembari menguarkan bau mulutnya. Sontak Sandoro menutup kedua lubang hidunya.
“Kami mau lewat. Turunin tu kaki!” Alida menaikkan nada suaranya. Getas. Tegas.
Sandoro dan kawan-kawan bergeming. Kakinya tetap memalangi jalan.
“Kamu belum kapok?” tanya Alida.
Sandoro tak menjawab. Tangan kanannya tetap menutup hidung.
Tanpa terduga, Alida menarik tangan Sandoro. Sesaat kemudian mulutnya mendarat di mulut Sandoro. Dengan sekuat tenaga ia menyemburkan bebauan di mulutnya. Sandoro yang tak menduga hal itu benar-benar kalang kabut.
Buru-buru ia menurunkan kakinya. Melompat ke halaman sekolah. Muntah-muntah. Keroco-keroconya merubunginya. Alida dan kawan-kawan melenggang memasuki kelas seperti tak terjadi apa-apa.* (Nyambung)
* email: aba.mardjani@yahoo.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H