CERITA Sandoro yang muntah-muntah kena semburan bau pete langsung dari mulut Alida dan dengan proses tak biasa itu cepat menyebar ke seantero sekolah. Menyebar seperti kabut asap di Sumatera dan Kalimantan.
Tanggapannya tentu saja beragam. Tapi, umumnya merasa geli dalam pengertian lucu, bukan geli dalam artian jijik. Komentar-komentar mereka beragam. Tapi, hampir dapat dipastikan, setiap kali ada yang mengulang cerita itu, ujungnya pasti disambung dengan pecahnya suara tawa.
Tak aneh jika keesokan harinya anak-anak kelas XI IPA-1 tak menemukan sosok Sandoro di dalam kelas.
“Pasti malu-lah,” kata salah satu teman sekelasnya.
“Mudah-mudahan si nggak DO,” kata yang lain.
Nuki, Edo, Iwan, dan Roni, empat sahabat Sandoro, terdiam. Tak ada yang berani membantah. Tak ada yang berani membela.
“Hei, Nuki!” teriak Cyntia, cewek di kelas Sandoro yang sejak lama sebel dengan kelakuan Sandoro. “Ke mana tu Ndoro-mu?”
“Iya! Sakit?” Meita menyambung.
“Kena batunya dia sekarang,” Cyntia masih berteriak. Suara tawa pun pecah dalam kelas itu.
*
Seperti dugaannya, Pak Baroto mencegat Alida sebelum anak itu masuk ke dalam kelas pagi keesokan harinya.
“Bapak minta penjelasan soal kejadian memalukan kemarin itu, Lida,” Pak Baroto langsung ke persoalan.
“Soal yang mana, Pak?” Alida pura-pura bego.