Nenek Aminah tak bisa berkata apa-apa.
*
Sandoro itu tengil. Belagu. Ia rupakanya belum kapok setelah kena pelintir Alida kemarin. Buktinya, kini, di koridor sekolah yang agak sempit, Ia bersama sohib karibnya berkumpul. Seperti ingin mencegat Alida dan kawan-kawan yang ingin masuk kelas setelah jajan di kantin.
“Dia lagi, Lid,” bisik Indri. Ia memundurkan langkah. Agak di belakang Alida.
“Mau ngapain lagi dia?” Tere menggerundel. Wajahnya langsung keruh.
“Cari gara-gara lagi,” papas Inge.
“Tenang aja,” Alida menenangkan sahabat-sahabatnya.
“Kamu bisa tenang karena kamu kan punya mainan. Bisa silat, jago beksi, jago karate, bisa aikido,” protes Lola.
“Aku nggak akan ngeluarin keringat untuk ngadepin anak-anak kaya’ gitu,” kata Alida.
Jadi? Sekeranjang tanya mengaduk-aduk benak sahabat-sahabatnya.
Alida merogoh sakunya. Dari sana, ia mengeluarkan sebiji buah pete. Mengupasnya. Lalu, begitu saja memakannya. Sahabat-sahabatnya saling berpandangan. Belum bisa menebak apa yang akan dilakukan Alida.
Bau pete segera beredar. Melebihi bau kentut. Lola menahan mual. Bau jengkol dan pete paling tak disukainya.
Alida melangkah mendekati gerombolan Sandoro. Jantung Indri, Tere, Inge, dan Lola berdegup keras. Seperti tengah baris berbaris, keempatnya melangkah hati-hati di belakang Alida. Sembari menahan bau pete yang seperti menusuk-nusuk hidung.