“Masih mengawasi cucuku secara ketat, bukan?” Nenek Aminah berkata setelah menelan makanan. Sebelah tangannya memegang gelas minuman. Ia tak langsung minum. Menunggu reaksi kedua orangtua Alida.
“Maksudnya, Mah?” Hanum melanjutkan.
“Tadi siang Alida pulang terlambat. Terus terang aku khawatir. Sudah begitu, pulangnya dibonceng sepeda motor. Kenapa bukan si Kardi yang jemput?”
Alida terus makan, menghabiskan sisa-sisa nasi dan lauk dalam piringnya. Pura-pura tak mendengar perkataan neneknya.
“Bagus kalau Mamah khawatir,” Himawan berkata. Nyaris tanpa ekspresi. Tak memandang ibunya juga. “Itu tandanya Mamah sayang sama Alida.”
“Kau tahu apa maksudku,” suara Nenek Aminah sedikit ketus. Nadanya sedikit naik.
“Kita tanya saja Lida. Dia pasti punya jawaban mengapa pulang terlambat, meskipun pasti yang kemarin itu juga bukan yang pertama,” kata Himawan, memancangkan matanya pada mata Alida.
“Apa katamu, Lida?” Hanum sedikit memojokkan Alida.
Nenek Aminah menatap Alida. Menunggu jawaban cucunya.
“Nggak ada yang istimewa juga sih...”
“Yang jujur,” Nenek Aminah menjajari kalimat Alida.