Mohon tunggu...
Maryana Ahmad
Maryana Ahmad Mohon Tunggu... profesional -

berawal di sukalaksana, cicaheum untuk kemudian berkelana di kota depok (1999-2002). selanjutnya bertugas di bandung (2002-2004), banyumas (2004-2006), padangsidimpuan (2006-2009), kota bekasi (2009-2013), kab. bogor (2013), dan sejak 2017 di jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Balada di Ruang 7

13 Maret 2014   07:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:59 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar.

Salam buat teman-teman alumni SMAN 1 Binjai, Sumut, terutama kelas Biologi Dua lulusan Sembilan Dua dan salam hormat buat seluruh guru yang dengan ikhlas menurunkan ilmunya kepada kami.

Sebagian isi dari cerita ini adalah benar-benar adanya dan benar-benar terjadi dengan nama pelaku adalah nama alias atau nama kecil. Mohon maaf apabila ada yang tidak berkenan. Sekian dan terima kasih.

Bagian Satu

Ujian semesterlagi. Anak-anak kelas Dua Biologi Dua gemas. Habis, jika ada upacara adat ini (konon sudah dilaksanakan turun temurun dan kononnya lagi dimulai sejak Khu Bilai Khan pindah ke Stabat), anak-anak terkena stres, walaupun untuk ujian ini kali diadakan hari sunyi selama tujuh hari tujuh malam.

Untuk itu, anak-anak mempersiapkan dirinya secara matang. Yang sudah rajin menghapal makin rajin...membaca komik. Pagi menghapal. Siang, sore, malam sampai pagi kembali, terus menghapal. Kian giatnya dalam menghapal, lupa dan gak ingat kalau do’i gak pernah be a be selama tujuh hari. Padahal yang dihapal sekedar just dua kata, ya dan tidak.

Itu yang beneran mau ngadep ujian. Yang lainnya? Ini juga termasuk sungguh-sungguh dalam menghadapi ujian. Buktinya, mereka membuat secarik kertas kecil, lalu diisi dengan hal-hal yang menurutnya akan keluar dalam ujian. Kalimat yang ditulisnya gak jauh beda dengan barisan semut yang sedang menggotong seonggok roti.

Ada juga yang mau ngadep ujian ini dengan tenang-tenang bae. Ini golongan moderat. Hanya MOdal DEngkul dan uRAT karena kenyataannya, walaupun rumahnya jauh, dengan semangat abu-abunya, dia tetap pergi. Dia tetap datang. Biar capek karena kepanasan dan lelah karena lapar, dia tetap datang. Padahal, kopean gak buat. Apalagi menghapal, ih boro-boro. Tapi teman, golongan ini adalah minoritas di Ruang Tujuh.

Di hari pertama, anak-anak kelas dua masuk siang.
Dan, mari kita masuki Ruang Tujuh.
*
Di Ruang Tujuh, anak-anak sudah datang. Gak lain karena mereka udah diberi peringatan oleh Nani, sang bendahara, “Siapa yang datangnya telat, lewat dari limit waktu yang udah ditentukan, walau nol koma detik, dijamin gak bakalan dapet bantuan!”
Nani berbuat demikian karena disuruh Yayan. Ya, ini siang, itu anak mau berkhutbah.

“Indonesia, akan alami KDM, Korban Demi Moore bagi Kaum Hawa dan Korban Datuk Maringgih bagi Kaum Adam. Padahal itu mah gosip yang jadi kenyataan. Dan jelas sekali kita-kita ini adalah anak-anak ES EM A. Untuk itu kita galang kesatuan. Kita buat perjanjian. Yang melanggar, kena sanksi harus membayar uang kas terus-terusan tanpa mengenal hari pere dan libur”.

“Kenapa kita musti demikian? Karena kita satu. Satu ngapal, ngapal semua. Satu nyontek, nyontek semua, kecuali di ruang ini. Satu pintar, semuanya pintar. Satu gak naik, naik semuanya. Maka, aku minta, bila ada teman-teman yang gak bisa jawab soal, silakan minta pada yang udah bisadan jangan kepada yang gak bisa. Begitu juga pada yang bisa ngejawab soal, dipersilakan untuk mengamalkan jawabannya pada yang gak bisa dan jangan pada yang udah ngejawab soal. Bila terjadi sebaliknya, yang udah ngejawab soal akan mengubah jawabannya. Padahal, tiap detik dalam ujian kita adalah unit untuk menit. Sangat berharga,” Yayan menghela nafas dalam-dalam.

“Teman-teman, aku juga minta, kita harus bubaran bersama-sama. Di antara kita jangan ada yang pulang duluan selagi masih ada yang belum selesai ngerjain soal. Ok?”tanya Yayan.
“Kenapa kita lakukan itu semua?”lanjut Yayan, “Agar di antara kita jangan ada yang gak naik. Kita harus berusaha dan mengusahakan agar semuanya naik. Terkecuali bagi teman yang emang gak mau naik, terseraaaah...”Yayan menutup khutbahnya.

Tapi sebelum duduk, “Mari kita berdoa bersama-sama menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Semoga Tuhan, meridhoi kita semua. Aamiin!!!”Yayan mengusap wajahnya.
“Aamiin.”seru anak-anak.
*
Bel bernyanyi pedas, anak-anak bergegas. Lalu duduk, walau sedikit malas. Seorang guru pengawas masuk, anak-anak spontan berdiri. Sambil menunduk, mereka berujar, “Siang, Pak!!!”.
“Pagi, anak-anak!!!”sambut beliau.
Anak-anak bengong.
“O, maaf. Siang, anak-anak!!!”ralat sang pengawas.
Anak-anak kembali duduk.
“Maklumlah, bapak ini sukanya masuk pagi. Jadi, ini hari bagi bapak serasa pagi. Hehe...”kata beliau sambil membagikan lembar soal dan jawaban.
Anak-anak menyambutnya dengan cengiran.
“Silakan kalen kerjakan. Pesan bapak, jangan mau kalen dikerjain soal-soal itu, tapi kalenlah yang harus mempermainkan soal-soal itu. Ngerti, kan?”tanya sang pengawas.
Anak-anak membisu. Mereka udah anteng dengan ujiannya.

PE EM PE yang jadi santapan pertama, dilahap anak-anak penuh gairah. Tentang pelajaran yang satu ini, kelas dua biologi dua, jagonya. Bahkan pelajaran keduapun, Geografi, yang menurut segelintir anak akan membuat kesulitan, dilahap laksana makan tahu, bagi yang benar-benar menghapal. Alhasil, di hari pertama, anak-anak belum bertemu dengan yang namanya kesulitan, baik besar maupun kecil, ringan atau berat. Komentar mereka, “biasa-biasa saja aja.

Bagian Dua

Memasuki hari kedua, anak-anak rada malas.

Maklum, mereka gak mau mati-matian. Makanya, meski jam di ruang guru sudah nembak angka delapan, yang datang baru satu ekor, itupun cuma ekornya aja. Namun berkat seorang Pahlawan Tak Dikenal dan Tanpa Tanda Jasa, anak-anak mau juga diajak masuk. Sang guru menemukan mereka sedang asyik memancing di Sei Bingai. Objekannya, ternyata sepasang aki dan nini yang sedang kerja sama nyebokin cucunya. Harap dimaklum, mereka gak kenal menu.

“Ayo masuk...masuk....kalen kan mesti ujian. Apa bisa, apa mungkin dengan memancing ikan, kalian bisa naik? Bisa ya bisa, tapi ya itu, naik pohon kelapa!”perintah sang pengawas.
Gak lucu!!!”celetuk dari belakang.
“Biaaaar....Toh bapak bukan pelawak, kok!!”
“Tap...tapi, Pak!”Santi Imelda sok akrab.

“Mungkin aja kami-Kami ini naik, walo hanya mancing aja. Bapak saya kan seorang, bukan dua orang, hakim. Jadi, kalo wali kelas gak naikin kami-kami, saya akan lapor!”cerocos itu anak yang lebih suka dipanggil Imelda daripada dipanggil Santi.

Inginnya demikian karena ia ngaku ada hubungan dengan Imelda, istri terguling dari Philiphina, Ferdinand Marcos. Walaupun hubungan itu bukan hubungan diplomatik apalagi hubungan dua negara antara Indonesia dan Philiphina. Kebetulan, katanya.
Waktu istri presiden terguling itu berkunjung ke Indonesia dan mampir ke Binjai, mereka jumpa di Pajak Bawah. Ee, bekas Ratu Philiphina itu sedang memilah dan memilih daun sirih. Katanya buat sang nenek dari anaknya. Ya, terang aja Santi Imelda ikut-ikutan bahkan membantunya memilihkan daun sirih yang berkualitas tinggi.

Perlu diketahui, Santi Imelda adalah siswi jagoan dalam bidang sirih menyirih. Soalnya, karena daun sirih, itu anak keluar jadi juara dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja Se-RT. Judul karyanya, “Manfaat Daun Sirih Dalam Peperangan.”
Santi pun merasa bangga dengan apa yang telah dilakukannya di kala itu. Meski ia sekarang agak sedih juga karena wanita itu kini hanya bekas istri presiden, terguling lagi, tapi Santi tetap bangga karena ia menganggap bahwa apa yang telah dilakukannya adalah suatu kehormatan yang tiada nilainya.

Bayangin aja, di usianya yang masih kegolong muda, ia udah bisa bantu seorang istri presiden. Santi menulis peristiwa itu dengan tinta emas milik bapaknya di dalam buku hariannya yang bersampul kulit milik almarhum ibunya. Agar selalu ingat dan tidak terlupakan, Santi, eh Imelda sering membacanya sebelum bobo.

Nah, begitulah cerita tentang Santi yang lebih suka diada-ada dengan nama Imelda. Benar tidaknya cerita itu, hanya Santi, eh maaf, Imelda yang tahu. Tapi katanya, buku harian itu udah hilang kebawa banjir. So, masalah buat loe?
*
Dengan kemalasan sekitar 20°C dan dinginnya udara pagi itu sekitar amat sangat, eh kebalik. Seharusnya, dengan kemalasan yang amat sangat dan dinginnya udara pagi itu sekitar 20° C (emang segitu kok janji Mbah Bejo di Rabu lalu tentang ramalan cuacanya), anak-anak merapatkan pantatnya di kursinya masing-masing.

Mati-matian itu emang beneran adanya. Joelis yang duduk bareng Yayan dan Roni, mati-matian dalam ngambil buku mati-matiannya yang ada di dalam laci. Ia pangjangin tangan kanannya. Dirabanya, “Nah, ini dia. Oh bukan, habis bentuknya ibarat SCUD!”bathin Joelis.

Joelis beraksi kembali...
Tapi sayang....
“Hei, ngapain kau?”tanya sang pengawas galak dengan logat Bataknya yang kental.
Joelis membisu.
“Mau nyontek ya?”
“Anu, Pak,,,,pena saya masuk laci. Tadi, ketika saya main pena itu, eee secara sengaja masuk laci.”jelas sekali bahwa cerita itu anak bohong besar alias ngibul.
“Ooooh...”sang pengawas enteng saja mempercayainya yang gak lain karena Joelis dikenal sebagai seorang anak yang terpercaya di lingkungan sekolahnya.Entah kalau di luar sekolah. Setiap omongannya, pasti....bohong.
Dengan jawaban sang guru yang seolah-olah merestui, Joelis bungah bukan main. Penuh semangat ia buka lembar demi lembar dengan sangat hati-hati. Saking hati-hatinya, bulu ayam yang nempel di bukunya gak ke-usik sikitpun.

“Yan, yang mana?”tanya Joelis pada Yayan.
“Buka terus...ini, nich nomor lima. Menurut sepatu Wariorku, soal ini sama dengan yang ada di catatan,”ujar Yayan.
“Sekalian nomor ane punya tanggal lahir, satu. Menurut keriting rambut ane, soalnya serupa dengan yang ada di buku,”tambah Roni.
Joelis bergerak cepat, mencari apa yang disebutkan oleh kedua temannya. Tapi, NOL.
“Buka terus. Siapa tahu kelewat,”ujar Yayan.
Joelis kembali buka bukunya. Hasilnya? Tetap NOL.
Gak adapun!”ujar Joelis lirih.
“Sini bukunya!”pinta Yayan.
Joelis memberikan bukunya.
“Ya gak ada atuh, ini mah buku novel,”ucap Yayan.
“Eh, sorry,”ujar Joelis.

Detik demi detik berlalu. Menit demi menit gak mau ketinggalan untuk saling berganti. Anak-anakpun kalang kabut. Yang udah bisa ngejawab soal, sibuk ke sana mari ngasih jawaban pada temannya. Yang gak bisa ngejawab soal juga sibuk ke sana mari minta belas kasih, iba dan solidaritas dari mereka yang udah bisa ngejawab soal, meminta jawaban.

Alhamdulillah, begitu bel bernyanyi, anak-anak udah pada kelar. Ternyata gak sia-sia sebuah perjanjian diadakan.

Menghadapi pelajaran kedua, Pendidikan Jasmani, anak-anak berolahraga terlebih dahulu barang semenit or two minute. Mereka mesti kuat fisik untuk menghadapi pelajaran yang satu ini. Mereka harus siap untuk ngadepin soal-soal yang akan membuat otak mereka jungkir balik, berputar-putar nyari jawaban. Tendang kanan sepak kiri. Tendang depan, sepak belakang. Minta jawaban.

Lemparan ke dalam, nangkap bola karena takut gol. Artinya memberi dan menerima jawaban. Walopun dalam ujian dan tetap duduk, tapi anak-anak layaknya sedang berolah raga. Apalagi Karbol. Anak gajah ini begitu antusias sehingga keringat kecil dan besar, saling berebut untuk berurbanisasi keluar memprovokasi kulitnya. Dan seperti usai bel pertama, di bel keduapun anak-anak meninggalkan Ruang Tujuh dengan hati senang. Gak peduli dengan kaki dan tangan yang pegal. Cuek bebek dengan mandi keringat.

Bagian Tiga

Hari kedua lewat, datang gantinya, hari ketiga.
Hari ini, Pelajaran Sejarah. Anak-anak menyambutnya dengan suka cita. Ya, anak-anak udah membuat suatu ramalan bahwa Perang Teluk yang ramai dibicarakan orang dan menjadi berita utama berbagai media massa, akan masuk dalam ujian kali ini. Bahkan sangat besar kemungkinannya untuk bersifat dominan terhadap seluruh isi soal. Efeknya, anak-anak udah siap dengan segala hafalan tentang segala sesuatu yang ada kena-mengenanya dengan Perang Teluk walaupun keterkanaannya kecil adanya.

Mulai dari kehidupan pemimpin Irak dan Amerika sampai bagaimana polah PeterArnett dapat izin untuk meliput itu perang atas nama CNN. Mulai dari kapal penyapu ranjau sampai kapal induk-indukan. Mulai dari F-16 ampe pesawat Hercules.
Mulai dari bersiap-siap untu perang pelor yang ukurannya kecil sampai Rudal Scud. Kopral Irak yang gugur sampai perwira tinggi Amerika yang tewas. Makanan, minuman, jadwal olah raga hingga mandi dan tidurnya prajurit kedua belah pihak bahkan jadwal piket pun udah anak-anak kuasai di luar kepala.

Tapi agak kecewa juga anak-anak karena Pelajaran Sejarah muncul setelah Pelajaran Bahasa Indonesia. Akibatnya, semangat anak-anak hilang. Rupanya, terjadi kriminalisasi, ada oknum yang bikin jadwal gak bener.
Kecewanya anak-anak dapat dilihat pada Yayan. Meski Bahasa Indonesia adalah pelajaran favoritnya, tapi ini kali dia lesu bagai kekurangan darah. Malas. Kemudian kenakalannya kumat. Tip ex yang dipinjamnya dari Ellis, ia pakai aksi coret-coret. Sandaran kursi di depannya, jadi sasarannya. Di situ ia menulis sebait “Padamu Jua”.

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa.

Yayan tersenyum bangga.

Karena rasa malas itu, Nando nekad neken daftar absen dalam dua nama. Alhasil ia kena semprot sang pengawas yang berkaca mata.
“Kenapa kau tanda tangan dalam dua nama?”tanya sang pengawas.
“Sa.....saya kan keturunan Sembara, kekasihnya Farida dan cucunya Nyai Renggana”.
“Siapa mereka?”sang pengawas terus bertanya.
“Musuhnya Mak Lampir yang punya Ilmu Pelepas Sukma,”jawab Nando enteng.
“Siapa Mak Lampir itu?”sang pengawas bertanya kembali.
“Masa Bapak tidak tahu?Dia kan main dalam sandiwara radio,”tanggap Nando.
“Oh ya, sekarang bapak ingat, Misteri dari Gunung Merapi, kan?”tanya sang pengawas meminta kepastian.
“Betul, Pak!”jawan Nando mantap.
“Apa hubungannya dengan kau?”tanya sang pengawas dengan sedikit membulatkan matanya.
“Saya kan bisa duduk di dua kursi. Di kursi depan atau di kursi saya sendiri, secara bersamaan. Satu dengan jasad saya dan satunya lagi dengan sukma saya. Lewat jurus Pelepas Sukma,”terang Nando.
“Buktikan!!!!”suara sang pengawas meninggi.
Nando gelagapan. Tapi berhubung otaknya bukan Otak Udang, itu anak membuktikan teorinya. Pertama dia duduk di kursinya lalu duduk di kursi depan yang memang kosong. Usai memperagakan jurus Pelepas Sukma, Nando menghampiri sang guru sambil tepuk-tepuk tangan melepas debu, kemudian berujar pelan, “Beres, Pak.”
“Kau bohong, itu tidak bersamaan!”sang pengawas protes.
“Lho, itu kan bersamaan, Pak,”Nando gak mau ngalah.
“Alasannya?”sang pengawas penasaran.
Kejadiannya sama-sama terjadi pada diri saya. Kejadiannya sama-sama di hari ini. Kejadiannya sama-sama di ruang ini, Ruang Tujuh,”jelas Nando dengan retorika.
Ya, daripada berkesinambungan, sang guru mengalah dan mau menerima argumen yang diterangkan Nando.
“Tapi daftar absen ini harus kau betulkan!”titah sang pengawas.
“Ya, Pak,”ucap Nando.
Dipinjamnya tip ex punya Heffi yang duduk persis di belakangnya.
Cret. Cret. Cret.
Sang guru memperhatikan tingkah Nando.
Sejurus kemudian, Nando menutup tip ex.
Siiiplah.
“Ini, Pak,”Nando memberikan daftar absen dengan tangan kidalnya. Terang aja sang pengawas marah besar.
Emangnya aku ini jongos kau?”tanya sang pengawas dengan nada keras.
Nando kalem.
“Itu terserah Bapak. Kalau sekiranya Bapak mau dipanggil guru, saya akan panggil demikian. Tapi kalau Bapak mau dan meminta saya untuk dipanggil layaknya seorang jongos, saya mah hanya setuju aja atuh. Untuk itu, saya nyaranin agar ditentukan terlebih dahulu panggilan yang Bapak kehendaki sebelum Bapak menjadi guru. Selanjutnya umumkan, tapi sekarang mah udah telat karena...”Nando gak berani nerusin omongannya. Pasalnya, mata sang guru itu....ih ngeri...
“Sudah?”tanya sang pengawas.
Nando diam.
“Sudah?”sang pengawas meminta jawaban, bukan kebisuan.
Nando mengangguk, “Sudah, Pak”.
“Kau harus tahu...”

Sebelum sang pengawas berbicara panjang lebar, “Sudahlah, Pak,”Nando memotongnya.
“Jangan marah gitu donk, Pak. Permen atau coklat, Pak?”bujuk Nando.
“Oh, mau...mau. Dua-duanya!!”seru sang pengawas berbinar-binar.
Nando cemberut. Habis yang diajukan dua pilihan, tapi yang dipilih dua-duanya. Teganya sang guru.
Usai drama pendek, Nando duduk diiringi pujian dari sang pengawas.

“Nah, dia baru anak Bapak. Murid yang baik dan anak yang baik pula. Mau membahagiakan orang tuanya yang memberinya ilmu di sekolah ini!”puji sang pengawas.
Hidung Nando melambung ingin terbang. Begitu juga dengan kupingnya yang kalau gak ditahan oleh Heffi, niscaya udah ngapung ke angkasa.
“Trims...”ujar Nando pada Heffi.
“Alhamdulillah...”seru Mister yang duduk di samping Nando.

Bagian Empat

“Wah, bagaimana ini? Ini hari, Pelajaran Bahasa Inggris. Bisa bantu aku, Zie?”tanya Mahaganta. Emang ini anak kalau udah harus berhadapan dengan pelajaran tersebut, pasti bingung dan membingungkan. Bahkan bila kebingungannya melebihi dosis, anak mama ini suka pingsan sendiri.

Sebenarnya dia itu gak bodoh-bodoh amat dengan pelajaran yang satu ini karena dia udah berusaha keras untuk menguasainya, tapi ada daya. Maksud hati ingin memeluk Gunung Galunggung, tapi yang terpeluk malah Gunung Sinabung. Maksud hati ingin menguasai bahasa bule, tapi yang terkuasai malah bahasa sendiri. Tapi kalau dipikir, dia masih menang sedikit dibanding seekor panda yang lahir dan gede di China, tapi gak pandai Bahasa China.

“Kau kan les di Bima?”Ozie balik bertanya.
“Ah, kau memang punya kuping aneh. Dibuka bisa, eee nutupnya kagak bisa. Masuk kuping kiri, keluar lewat jempol kaki kanan. Contoh diriku, nih! Aku! Kalau gak bisa, jelas aku gak tahu!”ucap Hadi bangga. Bahkan ia membusungkan dadanya dengan mengangkat kepalanya lalu nekad menepuk dadanya dan tak urung berbatuk-ria layaknya aki-aki yang gak beruban.
“U huk, u huk, u huk.”
“Hahaha,”anak-anak berhaha-ria.
“Bukan itu masalahnya. Di Bima, yang ngomong, semuanya orang-orang wayang. Entah itu wayang orang, wayang golek, wayang kulit atau wayang-wayangan. Misalnya, Semar, Petruk, Gareng, Cepot, Dewi Suhita, Kamajaya, Ratih...”
“Ih, banyak sekali tentornya”Odor kaget.
“Belum selesai, nih”ujar Mahaganta.
“Terusnya?”Nani sok nanggapin.
“Nah, omongan mereka itu gak bisa kumengerti sikitpun. Apalagi kalau yang ngomong adalah pemimpinnya. Uh, aku tambah gak paham. Bingung!”ucap Mahaganta.
“Siapa?”Nani penasaran.
“Bima. Habis, suaranya bergemuruh kayak guntur,”jelas Mahaganta.
Kok bisa gitu?”Nani bertanya lagi.
“Sejak pelajaran dimulai ampe habis, mereka kalau ngomong pakai Bahasa Jawa. Jelas donk aku yang gak bisa Bahasa Inggris dan untuk bisa menguasainya, susah setengah hidup. Masuk gak bisa, eee keluar makin gak bisa. Padahal duit yang keluar cukup gede,”tanpa disadari bola kristalnya jatuh atu-atu, membasahi pipinya yang kemerah-merahan.

Ozie terharu.
Hadi terpana.
Odor dan Nani terhanyut pikirannya.
Elis, Iyem dan Imelda ikut-ikutan nitikin air matanya.

Suka yang dari tadi hanya menjadi pendengar setia, gak mau tinggal diam. “Udah, kau tenang-tenang ajalah. Aku bawa ini, nich!”itu anak nunjukin kamusnya yang tebal.
Mahaganta sedikit terhibur. Ia menghentikan tangisnya.
Anak-anakpun sepakat, mutusin Suka sebagai penerjemah dan upacara ala adat keraton diadakan meski hanya beberapa menit.

Tapi setelah sang pengawas yang memakai peci masuk, anak-anak agak cemas. Gak lain karena beliau gak mau ada segala jenis buku dan kamus yang disimpan di laci. Semuanya harus disimpan di depan. Di meja guru.
Anak-anak menolak.
Beliau memaksa.
Anak-anak ngotot.
Maka demi keamanan yang langgeng agar ujian berjalan lancar tanpa kendala apapun, Hendra memutuskan untuk main adu panco dan menang. Alhasil anak-anak batal untuk nyimpan buku-bukunya di depan. Termasuk Suka. Kamusnya tetap di tangannya.

Detik berlalu. Menit tiba. Anak-anak kelabakan.
“Suka, mana? Awas!! Kukutuk kau jadi Saddam!!”ancam Mahaganta yang duduk di baris kedua. Suka bukannya mendengarkan, ia malah melebarkan daun kupingnya. Melihat itu, Roni memperjelas apa yang diomongkan oleh Mahaganta.
“O, kebetulan!!! Gini-gini juga aku pengagum dia!”ucap Suka.
“Aku dua rius!”rengek Mahaganta.
“Aku dua rius setengah!”Suka gak mau kalah.
“Jadi, mana jawabannya? Bagi-bagi donk!!!”
“Aku gak bisa, Ron!”
“Gunanya kamus tebal itu?”tanya Hunter yang mulai curiga. Abis, dari tadi Suka sepertinya gak berbuat apa-apa, selain bernafas. Jangankan gerakin penanya untuk dansa di atas lembar jawaban, nyentuh soalpun gak dilakoni.
“Buat bantal!”jawab Suka kalem.
Maaaaak!”jerit Odor.

Karena yang dijadikan penerjemah gak berbuat seperti apa yang dijanjikannya dan diharapkan anak-anak, penghuni Ruang Tujuh nekad. Setiap soal, mereka jawab dengan tiga kata. Kagak lebih, kagak kurang. Apa? Ini dia,
Was wis wus.
Was wis wus.
Ehemmm!!!!
Aya-aya wae.

Bagian Lima

Kenakalan anak-anak kumat deui di hari kelima ini. Jarum pendek udah nginjak angka sepuluh, tapi yang datang baru beberapa anak. Alhasil sang pengawas menyusulnya ke Sei Bingai. Kok bisa tahu? Karena diberi tahu pengawas sebelumnya.

Di depan anak-anak, sang pengawas berpantun ria:

Baiklah baik berlayar rakit
Janganlah sampai putus talinya
Kasih sayangku bukan sedikit
Jikalau boleh mati bersama

Lama kita takkan bertemu
Alangkah sedih rasa hatiku
Sebutlah namaku dalam mimpimu
Daku kan selalu digoda rindu

Walaupun jauh sebrang lautan
Daku sepi menyendiri
Meskipun surat dikau kirimkan
Seperti dikau datang sendiri

Anak-anak terlena. Kepala mereka pusing. Matanya berkunang-kunang dan jalannya mulai limbung. Pandangannya terasa gelap. Sejurus kemudian, mereka seperti terhipnotis. Dengan lenggang mentimun mereka berjalan beriringan layaknya bebek cuek menuju sekolah, masuk ke Ruang Tujuh.

Anak-anak berbuat nakal karena pelajaran yang akan dihadapi kali ini adalah pelajaran susah bin sukar dan seram bin ngeri. Bayangkan aja, baru nengok rumus E=mc², bulu kuduk mereka langsung tegak. Terbayang Albert Einstein sepupu jauh babehnya Anes. Kemudian Nagasaki dan Hiroshima, kota di mana saudara jauh enyaknya Manto lahir. Nuklir yang sering dikeluarkan Hendra dan pada akhirnya kuburan massal dekat simpang tugu perjuangan yang dipelihara ipar jauh saudaranya Joelis. Gak pelak deui, kalo belajar Fisika, pikiran anak-anak arahnya selalu ke sana.

Tapi sang pengawas membujuknya.
“Sudahlah, kalen kerjakan itu Fisika. Fisika itu mudah, kok. Mudah. Mudah sekali. Tengok aja Indonesia, bisa rebut Irian Barat. Tengok tentara sekutu, begitu mudahnya merebut Kuwait yang jelas-jelas bukan bagian dari negara mereka!”ucap sang pengawas. (Lho, apa hubungannya?).

“Mudah? Mudah bagi Heffi yang pakai kacamata!”gerutu Karbol. Ini anak emang melihat seseorang pintar atau kagak berdasarkan ada atau tidaknya kacamata di wajahnya. Menurut itu anak, anak-anak pintar gara-gara pake kacamata. Padahal belum tentu anak yang pake kacamata lebih pintar daripada anak yang gak pake kacamata.

Lain lagi dengan Yayan. Ia menyangkal pernyataan sang pengawas dengan bathinnya. Baginya, pernyataan sang pengawas gak bener 100%. Yayan bertip-ex ria di bagian belakang sandaran kursi yang dikuasai oleh Mardiono.

Bumi ditepuk
Langit ditampar
Aku tak percaya lagi

Namun demi hutang yang belum dibayar pada Bang Min, anak-anak akhirnya mau juga ngerjainnya. Ada yang hanya nengok-nengok lembar soal. Ada juga yang ngigit penanya. Mungkin lapar berat. Ada juga yang ngeraba-raba jenggotnya yang tumbuh beberapa helai dengan alasan biar tampak sedang berpikir keras. Ada juga yang ngelamun dan entah apa yang dilamunkannya. Pikirannya jauh menerawang ke mana-mana, walaupun perhatiannya seperti tertuju pada lembar soal. Mungkin ....

“Aduh, aku nanti Jum’atan di mana? Jam setengah dua belas, ntar nyanyi bel jelek itu. Nanti terlambat gak ya? Ah, aku pulang aja. Mudah-mudahan gak telat!”ini jelas lamunan Manto yang dikenal karena kealimannya.

Dari situ tampak bahwa itu anak dan anak lainnya juga, hanya menunggu nasib untuk berpihak kepadanya. Menunggu pemberian dari temannya. Hari pertama kan udah janjian untuk saling tolong. Tapi Domen kegerahan jika harus nunggu, nunggu dan nunggu. Ia mencoba untuk lebih agresif. Dibuatnya tulisan dalam secarik kertas, lalu dilemparkannya kepada Yayan yang tampaknya sedang berpikir keras.

Yayan yang sedang mikirin uangnya yang raib ketika naik bis Pembangunan Semesta waktu berangkat ke sekolah, kaget. Dikiranya itu Patriot yang diluncurkan pihak sekutu. Tapi ia masih bisa berpikir jernih. Itu bukan Patriot, melainkan Scud.
“Yan, Tolong Aku. Nomor 3 dan 7!!”
Yayan ngangkat mukanya. Dilihatnya anak malang yang duduk di depan Mardiono itu. Merasa dilihat, Domen nengok ke belakang, lalu tersenyum penuh iba.Minta segera ditolong. Yayan segera bertindak. Diberikannya kertas tersebut pada Mardiono untuk kemudian diestafetkan pada Domen.
Menerima kertas tersebut, Domen tersenyum senang. Dibukanya kertas itu dengan hari-hati agar sang pengawas gak melihat aksinya. Ya, ampyuuuuun. Yang ada hanya angka 3 dan 7. Lain itu, kagak.
“Yan, mana?”tanya Domen.
“Kau kan minta nomor 3 dan 7?”jawab Yayan nyante.
“Ya, mana?”Domen sedikit gusar.
Lha, itu!”jawab Yayan.
“Ini kan hanya angka 3 dan 7?”Domen bertanya kembali.
“Jadi model angka seperti apa yang kau mau?”Yayan malah balik bertanya.
“Kampret!!!!”Domen menggerutu.
Yayan nyengir mirip kuda. Gitu juga dengan Anes. Ia nyengir mirip Kuda Nil. Sedangkan Mardiono nyengirnya mirip Zebra. Nyengirnya Joelis mirip Kuda-Kudaan. Emang empat orang anak itu, dalam hal cengar-cengir ketahuan jagonya. Gak mau kalah dengan kuda yang banyak nyengirnya daripada meringkik.

Benar juga apa kata pepatah, sepandai-pandainya Maradona main bola, toh akan salah juga. Walaupun kesalahannya itu bisa dikategorikan sebagai kesalahan yang ringan. Nah, begitu pula dengan Nani. Konon Nani adalah anak yang kecerdasannya seabrek. Saking cerdasnya, itu anak gak tahu hari kelima itu tanggal berapa dan karena kecerdasannya pula, Nani lupa kartu ujiannya.

Lalu apa hubungannya dengan pepatah itu? Ternyata Nani menemukan jalan buntu dalam ngerjain Fisika. Wajar karena anak yang lainnya juga demikian. Hanya Nani terlambat dalam menemukan jalan buntunya karena pakai acara keliling Kota Binjai. Nah, untuk menembus jalan yang buntu itu, Nani berusaha mencari informasi dan Odor yang duduk di belakangnya, gak nolak untuk ngasih kopean.
“A i u e o!”Odor berujar dalam bisik-bisik.
“Apa?”tanya Nani.
“A b c d!”ulang Odor.
“Aku gak denger. Keraslah dikit!”pinta Nani.
Ah, udahlah. Kau ambil aja lembar jawabanku!”usul Odor.
“Ok!”sambut Nani.

Manakala sang pengawas sedang memeriksa sesuatu, entah apa, Nani gak nyia-nyiain kesempatannya untuk menerima lembar jawaban Odor. (Perlu diingat, kesempatan itu layaknya embun di pagi hari. Jangan berharap dapat meraih embun bila pagi telah pergi. Maka, janganlah kesempatan dibiarkan berlalu begitu aja). Sambil mata tertuju tajam kepada sang pengawas, Nani menjulurkan tangannya untuk meraih kertas dari Odor. Apa daya, ketika lembar jawaban Odor akan diletakkan di mejanya, sang pengawas melihatnya.

Spontan itu anak ngembaliin.
Napa dibalikin?”tanya sang pengawas.
Nani gak bicara.
Nyalinnya udah? Cepat kali kau!”ucap sang pengawas.
“Hahaha!”tawa anak-anak renyah.
“Sialan!”gumam Nani.

Bagian Enam

Kimia? Elektronika?
Ya, hari ini, 24 Mei 1991, kedua pelajaran itu akan diujikan. Dan seperti biasanya, sebelum bel bernyanyi riang, anak-anak ngadain acara gosip. Semua penghuni Ruang Tujuh luber di dalamnya dan gak ketinggalan wakil dari Ruang Enam dan Delapan yang juga kesatuan dari kelas dua biologi dua, walaupun partisipasi dari mereka hanya sebagai pengamat dan pendengar setia. Acara tersebut diramalkan akan berlangsung seru.
Tidak seperti sebelumnya, dalam acara gosip kali ini, mereka membicarakan masalah yang lain daripada masalah lain. Masalah apa? Masalah bocornya soal Ebtanas SMP yang dimuatberitakan Koran Kompas tanggal 23 Mei 1991. Mereka gosipin masalah tersebut karena menurut mereka pantas untuk digosipin. Kan gak ada larangan untuk itu?

“Wah enaknya anak-anak SMP!”Anes buka acara. Ini anak emang sukanya jadi pembuka. Pokoknya dalam acara buka-bukaan, Anes yang paling duluan untuk ngebukanya. Menurut Anes, lebih baik ngebuka daripada dibuka. Dan Anes berpendapat, akan lebih baik jika jadi pembuka daripada masuk setelah dibuka orang lain. Dalam hal ini, tentu bukan untuk menjadi pencuri. Melainkan masuk kelas paling dulu dan ngebukain pintu untuk yang lainnya. Hebat, kan?

Bayangin aja, akan jadi mudahnya mereka menjawab soal demi soal. Andai kita yang mengalaminya!”lanjut Anes.
“Kita kan masih kelas dua!”seru Hadi.
“Maksudku nanti, setelah kita naik di kelas tiga!”ralat Anes sambil gak lupa nyengir. Tentu dengan nyengirnya yang khas. Masih ingat? Yap, nyengir Kuda Nil.

“Menurutku, itu jalan merugikan. Itu akan merusak masa depan mereka. Bagaimana jadinya bangsa kita di tahun 2000 bilamana generasi yang akan melanjutkannya demikian? Apa kita akan hidup di Zaman Purba? Gak amis. Gak logis. Gak Manis. Gak necis n gak ‘is-is’an lainnya. Mungkin bagi Anes oke-oke aja karena Anes manusia Purba yang tahan karat. Hehe...!”ini pendapat Iyem.

O ya, terlupakan. Anes itu punya terusan pada namanya, yaitu Purba. Mungkin karena itu Iyem berani berpendapat demikian. Akan tetapi bila diteliti lebih lanjut, gak salah pula Iyem berpendapat demikian karena ada benarnya. Ini bila dilihat dari kiri, itu anak mirip Superboy. Kanan, mirip Superman. Pas belakang, uh mirip Supermie. Dan lebih celaka lagi karena ternyata, depannya itu, anatominya gak jauh beda dengan Pithecanthropus Erectus.

Tapi kalau jumpa Anes, pasti akan terkejut karena kenyataannya gak demikian. Dia ganteng, tampan, kece dan gentleman walaupun agak sikit pemalu. Sayang, itu semua hanya tampak bila Anes berada di antara kerabat jauhnya, yaitu Orang Utan. Selain itu, maaf-maaf aja. Kegantengannya, ketampanannya, kekeceannya dan kegentlemannya, hilang dan tenggelam. Sedangkan sifatnya yang sedikit pemalu bertambah menjadi sifat yang agak urakan, gak kenal malu n kagak tahu malu.
Kasihan!!!

“Sok Fuad Hasan kau!!!”ucap Karbol.
Iyem pura-pura gak nguping.
“Betul kata Iyem. Kita jangan mau untuk jadi dan dijadiin generasi yang otaknya ndableg. Gak bisa apa-apa. Kita harus dan mesti jadi generasi yang mampu ngadepin dan mengatasi semua masalah. Kalau bisa kita harus jadi generasi yang tidak hanya jadi generasi penerus aja, tetapi juga jadi generasi pencipta. Adalah tugas kita juga untuk bikin yang belum baik jadi baik dan yang baik jadi lebih baik. Lalu, aku rasa kita gak bisa berbuat seperti mereka. Ekonomi kita gak bakalan sanggup. Bayangin aja, untuk satu soal kita harus ngeluarin antara tiga ratus ribu sampai satu juta rupiah. Jajan gede dalam sehari hanya untuk beberapa lembar kertas soal dan jawaban. Paling banyak hanya lima lembar. Uh, rugi besar!!!”cerocos Mardiono.

“Aku sependapat dengan kau, Mar!”ujar Iyem.
“Seandainya kita bisa, kerugian akan kita rasakan baik di masa sekarang atau nanti. Pokoknya, kita jangan berbuat begitu. Kalau Babeh dan Enyak kita-kita nyuruh berbuat demikian, kita harus mencegahnya dan bila perlu, kita beri peringatan. Eh, pengertian. Bahwa perbuatan itu hanya akan menjerumuskan kita dan bukannya membantu kita. Cukuplah bagi kita dengan nyontek atau membuat kopean. Akan lebih amis, lebih logis, lebih manis, lebih necis dan lebih ‘is-is’an lainnya jika kita menghafal!”ini jelas pendapat Iyem punya.

“Benar, tapi aku yang duduk di barisan dekat jendela, gak bisa leluasa untuk nyontek atau minta jawaban pada kalen!”kata Erni.
Acara gosip mulai menyimpang dari tema.
“Aku juga!”teriak Elis.
“Tapi menurut aku, justru kalen yang paling enak. Kalen bisa nyontek dengan leluasa!”bantah Imelda.
“Apanya yang leluasa?”kilah Heffi. Ini anak juga senasib dengan Erni dan Elis.
“Eiiiiit, jangan panas gini, ah!”ucap Yayan.
Gak amis, gak logis, gak manis, gak necis dan gak ‘is-is’an lainnya bila hanya gara-gara ini terjadi gontok-gontokan di antara kita. Keluhan kalian yang duduk di barisan dekat jendela, kita perhatikan dan sumbangan dari kita yang duduk di barisan lain akan lebih ditingkatkan. Ok?”lanjut Yayan.
“Ok ya ok, tapi jangan niru kamus aku donk!”ucap Iyem ketus. Rupanya Iyem gak terima kamusnya ditiru orang lain, walaupun yang nirunya itu, temannya sendiri.

Anak-anak berhaha-ria.

Suasanapun layaknya pasar bubar. Hingar bingar.
Elis, Erni, Nando dan Heffi tersenyum senang. Nasib mereka sebagai anak-anak yang duduk di barisan dekat jendela, dapet perhatian dari yang lainnya.
“Nah, gitu donk. Senyum. Jangan karena telat dapet bantuan, ngambek gede. Cepat tua, lho!”kelakar Hunter.
Elis, Erni, Nando dan Heffi tersipu malu.
“Senyum kalian boleh juga, lho. Coba donk sekali lagi. Lumayan buat ngusir nyamuk jahil dan iseng yang masih betah di dalam laci!”koar Mahaganta.
Anak-anak berhaha-ria lagi.
*
Anak-anak bergegas.
Bel sudah bernyanyi keras.
Anak-anak duduk manis.
Biar amis.
Biar logis.
Biar manis.
Biar necis.
Dan is-is yang sejenis.
Itu jelas puisi Iyem.
*
“Selamat pagi, anak-anak!”sapa sang pengawas.
“Selamat pagi Sabun Giv, Pak!”balas Yayan. Ini anak tampaknya nekad. Terlalu nekad.
Sang pengawas bengong. Mulutnya membola. Anak-anakpun demikian. Heran dengan tingkah Yayan. Tapi karena udah perjanjian, anak-anak bertindak cepat dan tepat. Mereka langsung ngikutin langkah Yayan. Gak bengong berkepanjangan.
“Selamat pagi Sabun Giv, Pak!”
Sang pengawas makin bengong.
Ketika beliau membagikan soal pada Yayan, beliau memperlihatkan kedua bola matanya yang gede-gede. Iitu anak spontan memalingkan mukanya. Ngeri.

Selanjutnya suasana ujian. Sunyi. Sepi.
Dan segera berubah.
Seorang guru sambil membawa sebuah kaleng berwarna merah dengan motif bunga, memasuki Ruang Tujuh. Kaleng itu gak berisi kue, mungkin minta diisi. Tapi jelas keliru jika dibawa masuk ke Ruang Tujuh. Di situ kan gak ada pabrik kue. Jangankan pabrik kue, penjaja kuepun kagak ada dan yang ada hanya pemakan kue. Karbol, namanya. Anak gajah berbadan gemuk ini, cocok untuk mendapat tuduhan tersebut. Konspirasi kecil.

Namun, alhamdulillah, setelah Hunter yang berpangkat sersan melakukan sebuah penyidikan dan penyelidikan, terungkaplah misterinya. Rasanya gak percuma Hunter memakai lencana LAPD-nya di celana dalamnya. Kok bisa tahu? Karena itu anak suka jemur celana dalamnya di sembarang tempat dengan alasan biar cepat kering.

Mau tahu hasil penyelidikannya?
Ternyata...
Manto yang alim maju ke depan.
“Mari teman-teman kita berdoa. Kedua tangan ditengadahkan. Sambil mengenang jasa-jasa beliau, berdoalah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Berdoa, kita mulai,,,”
“Ya Tuhan kami yang Maha Pengampun, ampunilah dosa dan segala khilaf beliau. Terhadap segala amal baiknya, balaslah dengan kebaikan yang berlipat. Aamiin!”Manto menutup doa.
“Aamiin!”anak-anak mengusap mukanya.

Hendra yang kebetulan duduk paling depan, oleh beliau diberi tugas untuk berkeliling ke tiap barisan. Di depan meja Suka, ia mendapat perlakuan kurang sopan. Suka memberikan uangnya dengan menggunakan mulut karena kedua tangannya sedang buka-buka buku tulisnya. Kesempatan. Tapi sang guru yang membawa kaleng, melihatnya. Dibelalakkannya kedua mata beliau ke arah Suka. Itu anak mengulanginya kembali.

Selesai berkeliling, Hendra memberikan kalengnya.
“Honornya, Pak?”
“Honor apaan?”beliau balik bertanya.
“Saya kan udah keliling!”
Nich!”beliau memberikan sebuah uang logam bergambar burung merak.
“Ya, Bapak. Kok cuma limpul, Pak?”
“Tadi kau ngasih berapa?”
“Sepuluh ribu!”Hendra berbohong.
Nich!”beliau memberikan lagi uang logam bergambar sama.
“Ya, Bapak. Kok limpul lagi, Pak?”
“Yang sembilan ribu sembilan ratusnya, dengan uang kau aja dululah. Bisa, kan?”
Hendra hendak protes, tapi entah kenapa ia malah mengangguk, tanda setuju.
“Ah, bodohnya diri ini!”bathin Hendra setelah sang guru yang membawa kaleng itu meninggalkan Ruang Tujuh.

Suasana kembali larut dalam lembar soal dan jawaban.
Dan permainan dimulai kembali.
Merasa sang pengawas yang kini duduk dekat pintu sedang gak perhatian, Suka nekad melempar sesuatu kepada Roni. Tapi, ibarat diberi tahu oleh dinding kelas yang bisa bicara, sang pengawas mengetahuinya juga. Peristiwa tersebut tertangkap basah. Hujan kaleeee...
“Apa yang kau lempar, hah? Scud ya?”tanya beliau yang tetap duduk di atas kursinya.
“Bukan, Pak!”
“Lalu apa?”
“Patriot, Pak!”
“Bawa sini!”

Suka ngambil barang yang ia lempar lalu membawanya pada sang pengawas. Usai itu, Suka duduk kembali.
“Ini bukan Patriot!”ucap beliau.
“Lalu apa, Pak?”tanya Ozie.
“Tomahawk!”jawab beliau mantap.
Suka didekatinya.
“Kamu minta nomor berapa?”
“Nomor dua, Pak!”jawab Suka malu-malu.
“Nomor satu sudah?”
“Belum, Pak!”
Kok, gak sekaligus?”
“Takut terlalu lama, Pak!”
“Kalau terlalu lama, ada apa?”
“Patriotnya meledak, Pak!”
“Hahaha,”tawa anak-anak.
“Bukan Patriot, Tomahawk!”
“Oh ya, Pak! Tomahawk!”

Beliau memberikan kertas yang berukuran kecil itu pada Roni dan menyuruhnya untuk nyalin nomor dua buat Suka. Mulanya Roni bimbang. Ragu.
“Ayo salin!”perintah beliau.
Roni masih dalam kebimbangan. Dalam keraguan.
“Tulis aja, Ron!”ujar Yayan.
“Kita kan udah janjian!”dukung Joelis.
“Betul, Ron!”lanjut Yayan.

Dengan tidak adanya veto dari dua temannya, Roni mau juga nyalinnya. Usai disalin, diberikannya kepada Suka.
“Cepat kau salin!”perintah sang pengawas pada Suka.
Suka masih terdiam. Ia masih enggan menyentuh kertas yang ia lempar yang sekarang ada di mejanya dengan jawaban nomor dua.
“Cepat kau salin! Dia udah cape, tuh!”ucap sang pengawas memberi penegasan seraya duduk kembali di tempatnya.
Suka belum juga menggerakkan penanya.
Gak kau salin rupanya?”tanya sang pengawas.
Suka masih terdiam.
“Aku ambil!”ancam sang pengawas sambil mendekati Suka.
Sejurus kemudian, Suka menyalinnya. Cepat banget.
“O, sedang kau salin rupanya!”
“Hahaha!”gelak anak-anak.
Kirain gak mau kau”beliau duduk kembali.

Bagian Tujuh

Seperti yang telah dijanjikan di hari Sabtu lalu, 23 Mei 1991, maka hari ini pun ada sumbangan. Tapi, sekarang ini, dua orang peri dengan kotak kapur di tangannya masing-masing mengawal beliau, sang guru yang memungut sumbangan di hari Sabtu itu. Kedua peri itu manis-manis. Hidungnya yang mancung seperti timun muda. Dagunya yang bergayut indah seperti tomat ranum dibelah dua. Matanya yang menatap tajam penuh pesona, laksana terong kerdil dengan warna jernih. Dan bibirnya itu, bak cabe merah merona. Karena bingung, Yayan memanggilnya ‘rujak’.

Begitu mereka masuk, anak-anak langsung merogoh sakunya masing-masing. Sepertinya, senyum peri-peri yang baru kelas satu itu, mampu menyobek saku para lelaki penghuni Ruang Tujuh.
Untuk selanjutnya, bunyi uangpun bersahutan, beradu dengan uang-uang yang sudah masuk lebih dulu ke kotak kapur. Bunyinya gak kalah seru dengan sebuah acara orkesta.

Dalam alinea baru, anak-anak terlarut dalam lembar soal dan jawabannya masing-masing. Semuanya tampak serius. Bahkan Suka yang dituduh Roni sebagai pemeluk agama Budha, keseriusannya tampak jelas pada kedua bulu di atas matanya yang rada-rada sipit. Lagi sibuk rupanya.
Lain lagi dengan Karbol. Anak berlemak banyak itu, minta cepat-cepat. Apalagi kalau bukan jawaban yang dimintanya.

“Yan, mana? Setengah jam lagi, nich!”
“Tenanglah, Kar. Jawabanku ada di depan!”Yayan membulatkan kedua matanya.
“Siapa?”
“Mardiono!”jawab Yayan, “Sudah, tenang aja. Jangan bingung dan jangan membingungkan!”
“Justru aku sedang bingung!”
“Apanya yang bingung?”
“Nomor 12, tentang warisan!”
“Siapa situ? Jangan kerja sama, ya!”kata sang pengawas.
Karbol gugup.
Sepi.

Ternyata, anak-anak udah punya persiapan yang betul-betul matang untuk pelajaran yang satu ini, kecuali Karbol. Tampaknya ia gak nyiapin segala sesuatunya dengan matang.

Dan untuk pertama kalinya, pelanggaran terhadap perjanjian terjadi. Iyem yang duduk di depan, pulang tanpa kesan apa-apa. Nani mengikutinya. Mahaganta pun demikian. Terus Hadi, Ozie, Mister dan Hendra. Mereka ngelupain anak-anak lain yang belum siap untuk bubaran, khususnya Karbol.

“Awas kalian!”bathin Yayan. Jelas donk dia kesinggung. Soalnya, dia yang punya usul untuk bikin perjanjian dan kini mereka nginjak-nginjak.Memandangnya sebelah mata. Padahal, kesepakatan sudah ada dalam perjanjian. Artinya, semua yang menyepakatinya harus dan mesti melaksanakannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

“Anak-anak sekarang udah gak dapat menghargai janji. Payah. Begitu mudah mereka berjanji untuk melanggarnya. Padahal betapa besarnya orang yang udah diberi janji menaruh harapan pada apa yang telah dijanjikannya. Kalian gak memahami pepatah orang bijak bahwa secuil usaha lebih berharga daripada segudang gunung janji!”bathin Yayan bertutur pedih.

Sebenarnya, bisa aja bathin itu anak gak berkata demikian. Toh, ia bisa ngerjain soal. Tapi yang ia pikirkan adalah mereka yang belum bisa untuk bubaran. Ia gak tega untuk bubar lebih dulu karena bagaimana mereka bisa bubar lalu ngumpulin lembar jawaban kalau yang udah selesai saling susul untuk bubaran? Apa tega nengok wajah mereka yang kuyu dan linglung karena gak tahu pada siapa minta jawaban? Apa tega nengok anak-anak gak berdosa itu bubaran dengan lembar jawaban yang belum keisi semuanya? Apa...

Tapi apa yang terjadi?
Prakiraan Yayan salah.
Praduganya keliru.

Ternyata ada sebagian dari mereka yang gak langsung pulang. Mereka membantu anak-anak yang belum siap untuk bubaran yang duduk di barisan dekat jendela. Erni, misalnya, ketika datang masuk kelas, wajahnya bermuatan bingung. Kemudian waktu memberi sumbangan, wajahnya mencerminkan kebingungan. Menandatangani daftar absen bingung bahkan ketika mau menyalin jawaban yang diberikan oleh Mahaganta melalui jendela, itu anak bingung juga. Alhasil, anak-anakyang melihatnya, ketularan jadi ikut bingung. Benar-benar membingungkan.

Entahlah. Yang jelas di hari ketujuh ini, penuh dengan segala kebingungan. Bingung apakah esok masuk atau tidak. Sebenarnya gak perlu merepotkan diri untuk berbingung ria, toh di almanak tercantum terang angka 28 dengan warnanya yang merah. Jadi jelaslah, esok itu pere. Libur. Gak usah masuk sekolah.
Tapi permasalahannya gak semudah nyanyiin kopi Dangdut milik Fahmi Shahab yang lagi ngetop. Pasalnya, pada jadwal ujian, tercantum bahwa tanggal 28 Mei 1991 itu masuk dengan materi yang akan diujikan adalah pelajaran Biologi. Lalu, mana yang bener?

“Besok masuk, Dum?”tanya Yayan pada Duma, anak Biologi Dua penghuni Ruang Enam. Yayan nyari kebenaran.
“Masuk bagi yang les!”jawab Duma ketus.
“Les?”Yayan gak paham.
Ini kan lagi ujian, masa lesnya sekarang? Kan membingungkan. Bahkan ada kesan nambahin kebingungan yang sudah ada.
“Les apaan?”Yayan penasaran.
“Lestarikan hutan kita”jawab Duma sambil ngambil langkah seribu. Kabuuuuuuuuuuuur.

Yayan ngamuk. Sambil jalan ia nendang-nendangin kakinya. Padahal gak ada yang ia tendang. Anak-anak dan guru-guru yang nengok polahnya, jadi bingung. Semuanya karena sudah bingung dibuat bingung. Terang aja itu anak makin bingung dan membingungkan.

Bagian Delapan

Abdul dan Bangun yang mangkal di Ruang Enam, singgah sejenak di Ruang Tujuh. Dan emang gitu, anak-anak kelas Dua Biologi Dua yang mangkal di Ruang Enam dan Delapan, biasanya doyan singgah terlebih dahulu barang beberapa menit di Ruang Tujuh sebelum bel masuk nyanyi. Harap dimaklum bahwa di Ruang Tujuh, penghuninya 23 siswa, semuanya adalah anak-anak kelas Dua Biologi Dua. Sedangkan 17 siswa lainnya tersebar di dua ruang, yaitu Ruang Enam dan Delapan.

Nah, ketika datang, Abdul dan Bangun langsung bikin gebrakan dengan sebuah lagu. Lagunya boleh juga, lagu yang sedang top, Nona Manis.

Hasilnya?

Anak-anak yang sedang ngapalin, goyang-goyangin kakinya atau tangannya. Terlena oleh musik yang dimainkan kedua anak itu. Rasanya gak terlalu salah kalau mereka dianggap sebagai anak yang berbakat karena dengan alat musik yang sederhana, yaitu meja dan kursi, mereka dapat bermain dengan bagus. Suatu bakat yang harus dipupuk dan dibina terus.

Bel berteriak, mereka kabur.

Sang guru pengawas datang beberapa menit kemudian.
“Buku-bukunya, simpan di depan ya!”titah beliau.

Anak-anak memenuhi titahnya agar gak didiskualifikasi dan jangan diragukan lagi bahwa emang udah dari dulu bahwa anak-anak kelas Dua Bilogi Dua adalah murid-murid yang penurut. Bukan somse.

Usai lembar soal dan jawaban dibagikan, anak-anakpun larut dalam keasyikannya masing-masing. Tapi, Yayan yang dari tadi lirik kanan kiri-depan belakang, rupanya mengundang sang pengawas untuk bertandang ke mejanya karena gerak-geriknya yang terlalu mencurigakan.
“Mana lembar jawaban kau?”tanya sang pengawas.
Yayan belum punya keberanian untuk menjawabnya.
“Mana?”desak beliau.
“Sama Roni, Bu.”

Sang Pengawas mengambil lembar jawaban itu anak. Wah, muka Yayan ngedadak angus. Seperti kebakar lilin. Merah. Merahnya “merah”. Gak sanggup untuk nanggung malu. Malu sekaliiiii...
“Kenapa kau kasih lembar jawaban padanya?”
Yayan diam.
Udah paten rupanya?”
Untuk pertanyaan itu, Yayan gak tinggal diam.
“Saya memang paten, Bu!”
“Jawab!”bentak beliau.
“Lho, yang itu bukan jawaban ya, Bu!”
“Pertanyaan pertama.”
“Ya, namanya juga kerja sama, Bu. Gak ada kesan kerja paksa di antara kami. Toh, hubungan diplomatik kami sangatlah erat. Sangat erat banget!”
“Kerja sama boleh-boleh aja karena juga pernah Ibu alami, tapi memberikan lembar jawaban? Gak bisa Ibu terima!”
“O, jadi kalau lembarsoal yang sudah diisi, kemudian diberikan pada yang lain, gak apa-apa ya, Bu?”Yayan bertanya.
Beliau gak ngasih jawaban.
“Dan biasanya juga begini, Bu!”lanjut Yayan.
“Kalau sama Ibu, lain!”
“Lain gimana, Bu?”tanya Odor.
“Tegas!”
“Contohnya, Bu?”Hendra ikut bertanya.
“Singa!”celetuk Suka.
Sang pengawas mendengus kesal. Beliau meninggalkan Yayan dengan wajahnya yang lagi berbengong-ria.
“Bagaimana, Joel?”tanya Yayan.
“Udah, kau minta maaf aja. Maaf, Bu. Saya mau pulang aja!”usul Joelis.
“Aku kan gak salah. Emangnya aku nyontek apa?”
Kok tanya sama aku?”Joelis balik nanya.
“Aku gak mau, Joel!”
“Ya, udah!”

Situasi dan kondisi menjadi sedikit hiruk pikuk. Keadaan jadi gak karuan di mana solidaritas anak-anak mulai bangkit karena gak terima nasib temannya yang lembar jawabannya diambil pengawas. Sang pengawas pun ngerti. Keputusannya?

“Mesti diapakan dia?”beliau minta pendapat anak-anak.
“Beri lembar jawaban baru, Bu!”usul Mister.
“Baik, tapi kau ngerjainnya di sini!”ucap beliau sambil nunjuk meja guru yang tergeletak tanpa daya di sudut ruang.

Mulanya Yayan nolak karena ia gak tega nengok sang pengawas yang gak duduk dan hanya berjalan nengkene nengkono. Terus, jika dilihat dari segi etika, jelas Yayan gak sopan. Duduk di kursi guru, sedang beliau ada di depan matanya, walaupun saat ini sebagai Pengawas. Padahal kalau gak ada guru, meja tersebut sering diduduki kursinya atau bahkan mejanya. Tetapi berkenaan adanya pemaksaan dari beliau, Yayan menerimanya dengan segala kelapangan di dadanya.

Kejadian di atas, gak lain tercetus, terlahir dan terbukti sebagai buah dari perjanjian yang telah mereka buat dan sepakati di hari pertama ujian. Anak-anak gak berani untuk melanggarnya. Gitu juga dengan Yayan. Jika dia bisa ngisi lembar jawaban, maka dengan segera ia mengamalkannya, walaupun belum semua jawaban ada di situ. Gak secuilpun di hatinya yang putih untuk menyembunyikannya.

Maka jangan heran kalau kerja sama dalam segala bentuknya, jadi pemandangan yang biasa terjadi selama ujian berlangsung di Ruang Tujuh. Entah di ruang lain. Moga aja kagak. Bentuknya dapat berupa saling ngasih lembar jawaban, lembar soal yang sudah diisi atau main lempar jawaban dalam secarik kertas. Paling sederhana adalah main mata dan kode alam.

Sekarang, Yayan tertimpa tangga.
Memang begitulah perjuangan. Penuh dengan yang namanya pengorbanan dan Yayan nyadar hingga ia menganggap, peristiwa yang dialaminya adalah wajar dan berlaku umum. Bukan suatu hal yang asing. Toh, hari ini ujian yang terakhir. Hari pamungkas.

Dan ternyata betul adanya apa kata pepatah. Lain parang lain belati. Lain orang lain hatinya. Artinya, sikap seorang guru yang begini akan lain dengan sikap seorang guru yang begitu. Betul, kan?
Walaupun duduk di kursi guru, hubungan diplomatik antara Yayan dengan teman-temannya tetap kejalin meski dengan ruang lingkup yang lebih terbatas. Lalu, apakah hubungan diplomatik takkan terjalin hanya karena tempat yang berjauhan? Tentu jawabnya kagak. Sebagai bukti, Hunter yang duduk di belakang masih bisa ngasih tahu Yayan. Ngagumin, bukan? Sekaligus ngejengkelin.

Sejurus kemudian, Guru Lab Bahasa Inggris, memasuki Ruang Tujuh. Niat beliau akan membagikan lembar pengumuman tentang pembagian raport. Tapi, ketika sepasang matanya melihat seonggok mahluk putih asyik ngerjain soal ujian di kursi guru, tergerak juga hatinya untuk bertanya.

“Kenapa?”tanya beliau sebelum bagiin kertas-kertas pengumuman.
New Teacher!”jawab sang pengawas.
Dikata begitu, Yayan berdiri. Lalu membungkukkan badanya seraya ngucapin thank you, gak ubahnya pemeran utama film Jepang berjudul My Geisha. Anak-anak bengong, pun dengan beliau-beliau. Bengong semuanya.
Setelah usai melaksanakan tugasnya, itu guru meninggalkan Ruang Tujuh dengan seonggok kebengongan dalam pikirannya. Sementara itu, anak-anak kembali pada keasyikannya masing-masing. Tetapi teman, sang pengawas masih kesal terhadap Yayan yang duduk di kursi guru itu. Pasalnya, Yayan tetap saja ngadain kerja sama. Sang pengawaspun berdiiri di depannya untuk melihat drama antara Yayan dan Iyem yang asyik masyuk main bisik. Malah pakai kerling mata.
“Tengok! Di depan Ibu, dia masih berani!”

Ups, Yayan kaget. Dengan segera ia mengalihkan tatapannya ke arah luar. Lewat jendela berterali besi, dilihatnya orang-orang yang sedang nyebrang dengan ‘getek’, rakit. Maklum, beberapa hari lalu, jembatan Sei Bingai rusak akibat kendaraan yang melintas di atasnya melebihi batas bobot yang telah ditentukan dan juga dikarenakan umur jembatan yang emang udah uzur.

Napa kau berani gitu, hah?”tanya beliau.
“Berani karena benar!”jawab Yayan kalem.
“Apanya yang benar?”
“Saya gak nyontek. Saya berbuat kebaikan.”
Lha itu, kau main mata, dengan siapa ini?”
“Iyem, Bu!”Iyem berdiri lalu menjulurkan tangan kanannya, hendak bersalaman.
“Apa-apaan ini?”beliau belum ngerti maksud Iyem.
“Iyem, Bu!”
Baru ibu itu mengerti, Iyem mau berkenalan.Setelah salaman, Iyem duduk kembali.

“Main mata kan boleh, Bu. Lagi pula saya dengan Iyem adalah teman. Gak ada hal yang istimewa di antara kami. Sesama teman kan wajar. Yang gak wajar, jika iyem udah punya tunangan. Kalau gitu, gak bolehlah saya main mata dengannya!”
Iyem mendelik sewot denger ucapan Yayan.
“Tapi jangan di depan Ibu!”
“Oh, itu salah Ibu. Kenapa Ibu berada di depan kami!”

Sang pengawas itu, mengaku kalah. Wajahnya tampak murung.
Yayan yang melihatnya, pikirannya hanyut. Segera Yayan mengajukan permohonan maaf. Sang pengawas pun menerimanya dengan senang hati, haru dan rasa bangga. Bahkan beliau mengelus-elus kepala Yayan yang benjol. Dan idiiiiih, anak-anak lainnya pada ‘ange’, iri melihatnya. Merekapun maju serentak. Ingin dielus-elus seperti Yayan.

“Aduuuh, jangan acak-acakan gini. Antri, ya!”pinta beliau.
Anak-anak nurutin titahnya, ngebentuk antrian yang cukup panjang, layaknya antrian di tahun enam puluhan. Meski melelahkan, beliau melakoninya dengan senang hati. Layaknya seorang ibu mengelus anak kandungnya sendiri. Begitu juga dengan anak-anak. Mereka senang betul. Betul-betul senang.
Tampaknya, mereka udah lama merindukan hal tersebut untuk kembali terjadi pada diri mereka yang rata-rata berumur 17 tahun setelah untuk yang terakhir kalinya merasakan betapa nikmatnya dielus babeh dan enyak di kala usia mereka nginjak bangku sekolah. Ceritanya, mereka ingin bernostalgia.
Usai dielus, mereka kembali duduk bersama lembar soal dan lembar jawabannya lagi. Seperti sebelumnya, kerja sama tetap terjalin hingga bel tanda bubaran berteriak lantang.
*
Di luar kelas, anak-anak kelas Dua Biologi Dua membentuk barisan. Mau apa mereka? O, ternyata mereka mau merayakan kebebasan yang sifatnya sementara itu, dengan bermain kereta api.
Karbol yang anatomi tubuhnya mirip sekali dengan lokomotif, memimpin barisan tersebut. Karbol bisa pas sebagai pemeran lokomotif karena anak yang berat kotornya sekitar 82 kg itu, telah dididik di sekolah gajah Way Kambas, Lampung. Harap dimaklum, ketika dia keluar paksa dari genderang perut ibunya, Karbol dikira anak gajah karena gemuknya yang berlebih. Tetapi babehnya nyangkal. Anak itu gemuk karena keturunan dari genetik babehnya. Emaknya ngotot, babehnya ngalah. Karbolpun dibawa ke Way Kambas dengan maksud agar itu gajah, eh Karbol, gak jadi liar.

Melihat mereka berkereta api-ria, anak-anak kelas dua lainnya, mengikutinya. Bahkan anak-anak kelas satu, nekad juga masuk barisan. Padahal mereka belum ujian. Semula, para guru melarang keras anak-anak kelas satu untuk masuk dalam gerbong, tapi apa daya dari beliau-beliau. Tekad anak-anak itu gak kebendung siapapun.

“Bagaimana, Pak?”tanya wakasek kepada kepsek.
“Apanya yang bagaimana?”kepsek malah mengajukan pertanyaan.
“Itu, anak-anak kelas satu!”
“Biarlah. Merea ujian dalam gerbong kereta api aja. Dua puluh guru harus ngawasin. Ingat, jangan sampai ada yang nyontek!”.
“Siap....tapi Bapak mau ke mana?”wakasek kembali bertanya.
“Kenapa rupanya?”sekali lagi, kepsek ngajuin pertanyaan.
“Bajunya, kok dirapihin!”
“Ah, biasanya juga rapih begini!”kilah kepsek.
“Kali ini lain, Pak. Ada apa?”
“Aku juga mau ikutan berkereta api-ria....”
“Saya boleh ikut, Pak?”
“Boleh!”
“Bakal asyik punya, nich!”ucap wakasek girang.

Maka, demi yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, para guru ngadain ujian jalanan yang merupakan ujian jalanan yang pertama kali diadakan di Indonesia atau mungkin di dunia. Hebat, kan?

Sekitar 720 siswa ditambah para guru, kereta api tersebut melewati Jalan Simpang. Abang becak yang mangkal di mulut jalan, gak mau ketinggalan. Mereka nekad ninggalin becaknya, bergabung dengan para siswa.

Semula, polisi yang melihat itu barisan, menganggapnya sebagai aksi demo dan mau membubarkannya dengan gas air mata. Tapi setelah melihat beberapa guru yang sedang melakukan pengawasan ekstra ketat terhadap anak-anak kelas satu, polisi tersebut memahaminya. Alhasil, dibiarkannya kereta api tanpa cerobong itu terus melaju mulus. Bahkan selanjutnya, para polisi memberikan rasa aman dengan mengawal jalannya seluruh gerbong. Kereta apipun semakinleluasa merambah jalanan Kota Binjai. Segala jenis kendaraan, membiarkannya lewat terlebih dahulu.

Ketika melewati kantor walikota, Pak Wali yang sedang asyik mejeng di depan kantornya, tergerak hatinya untuk berpartisipasi. Pak Walipun meluber, masuk ke dalam gerbong.
“Ah, ini baru hebat. Sejak kecil, diriku belum pernah main seperti ini!”bathinPak Wali.
Para pegawai yang melihat pemimpinnya bergabung, ikut masuk juga ke dalam beberapa gerbong.

Kereta api semakin panjang dengan bergabungnya anak-anak dari SMA Taman Siswa. Bahkan seluruh gurunya turut masuk ke dalam rangkaian gerbong. Gak mau jika hanya berdiri sebagai penonton.
“Ini dia kesempatan untuk beramah tamah dengan Pak Wali dan guru SMAN1,”bisik hati seorang guru SMA Tamsis.
“Apakah kami boleh ikut, Pak?”tanya Kepsek Tamsis.
“Oh, dengan senang hati. Gak ada yang ngelarang. Silakan!”ucap wakasek yang berperan sebagai masinis.
“Betul, nich?
“Betul!”
“Apa gak ganggu siswa yang sedang ujian?”
“Ah, tidak!”

Makin lama itu kereta api makin bertambah banyak gerbongnya dan dan makin panjang. Panjang, panjang, panjang dan panjaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang sekaliiiiiiiiiiii.

TAMAT



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun