Manakala sang pengawas sedang memeriksa sesuatu, entah apa, Nani gak nyia-nyiain kesempatannya untuk menerima lembar jawaban Odor. (Perlu diingat, kesempatan itu layaknya embun di pagi hari. Jangan berharap dapat meraih embun bila pagi telah pergi. Maka, janganlah kesempatan dibiarkan berlalu begitu aja). Sambil mata tertuju tajam kepada sang pengawas, Nani menjulurkan tangannya untuk meraih kertas dari Odor. Apa daya, ketika lembar jawaban Odor akan diletakkan di mejanya, sang pengawas melihatnya.
Spontan itu anak ngembaliin.
“Napa dibalikin?”tanya sang pengawas.
Nani gak bicara.
“Nyalinnya udah? Cepat kali kau!”ucap sang pengawas.
“Hahaha!”tawa anak-anak renyah.
“Sialan!”gumam Nani.
Bagian Enam
Kimia? Elektronika?
Ya, hari ini, 24 Mei 1991, kedua pelajaran itu akan diujikan. Dan seperti biasanya, sebelum bel bernyanyi riang, anak-anak ngadain acara gosip. Semua penghuni Ruang Tujuh luber di dalamnya dan gak ketinggalan wakil dari Ruang Enam dan Delapan yang juga kesatuan dari kelas dua biologi dua, walaupun partisipasi dari mereka hanya sebagai pengamat dan pendengar setia. Acara tersebut diramalkan akan berlangsung seru.
Tidak seperti sebelumnya, dalam acara gosip kali ini, mereka membicarakan masalah yang lain daripada masalah lain. Masalah apa? Masalah bocornya soal Ebtanas SMP yang dimuatberitakan Koran Kompas tanggal 23 Mei 1991. Mereka gosipin masalah tersebut karena menurut mereka pantas untuk digosipin. Kan gak ada larangan untuk itu?
“Wah enaknya anak-anak SMP!”Anes buka acara. Ini anak emang sukanya jadi pembuka. Pokoknya dalam acara buka-bukaan, Anes yang paling duluan untuk ngebukanya. Menurut Anes, lebih baik ngebuka daripada dibuka. Dan Anes berpendapat, akan lebih baik jika jadi pembuka daripada masuk setelah dibuka orang lain. Dalam hal ini, tentu bukan untuk menjadi pencuri. Melainkan masuk kelas paling dulu dan ngebukain pintu untuk yang lainnya. Hebat, kan?
“Bayangin aja, akan jadi mudahnya mereka menjawab soal demi soal. Andai kita yang mengalaminya!”lanjut Anes.
“Kita kan masih kelas dua!”seru Hadi.
“Maksudku nanti, setelah kita naik di kelas tiga!”ralat Anes sambil gak lupa nyengir. Tentu dengan nyengirnya yang khas. Masih ingat? Yap, nyengir Kuda Nil.
“Menurutku, itu jalan merugikan. Itu akan merusak masa depan mereka. Bagaimana jadinya bangsa kita di tahun 2000 bilamana generasi yang akan melanjutkannya demikian? Apa kita akan hidup di Zaman Purba? Gak amis. Gak logis. Gak Manis. Gak necis n gak ‘is-is’an lainnya. Mungkin bagi Anes oke-oke aja karena Anes manusia Purba yang tahan karat. Hehe...!”ini pendapat Iyem.
O ya, terlupakan. Anes itu punya terusan pada namanya, yaitu Purba. Mungkin karena itu Iyem berani berpendapat demikian. Akan tetapi bila diteliti lebih lanjut, gak salah pula Iyem berpendapat demikian karena ada benarnya. Ini bila dilihat dari kiri, itu anak mirip Superboy. Kanan, mirip Superman. Pas belakang, uh mirip Supermie. Dan lebih celaka lagi karena ternyata, depannya itu, anatominya gak jauh beda dengan Pithecanthropus Erectus.
Tapi kalau jumpa Anes, pasti akan terkejut karena kenyataannya gak demikian. Dia ganteng, tampan, kece dan gentleman walaupun agak sikit pemalu. Sayang, itu semua hanya tampak bila Anes berada di antara kerabat jauhnya, yaitu Orang Utan. Selain itu, maaf-maaf aja. Kegantengannya, ketampanannya, kekeceannya dan kegentlemannya, hilang dan tenggelam. Sedangkan sifatnya yang sedikit pemalu bertambah menjadi sifat yang agak urakan, gak kenal malu n kagak tahu malu.
Kasihan!!!
“Sok Fuad Hasan kau!!!”ucap Karbol.
Iyem pura-pura gak nguping.
“Betul kata Iyem. Kita jangan mau untuk jadi dan dijadiin generasi yang otaknya ndableg. Gak bisa apa-apa. Kita harus dan mesti jadi generasi yang mampu ngadepin dan mengatasi semua masalah. Kalau bisa kita harus jadi generasi yang tidak hanya jadi generasi penerus aja, tetapi juga jadi generasi pencipta. Adalah tugas kita juga untuk bikin yang belum baik jadi baik dan yang baik jadi lebih baik. Lalu, aku rasa kita gak bisa berbuat seperti mereka. Ekonomi kita gak bakalan sanggup. Bayangin aja, untuk satu soal kita harus ngeluarin antara tiga ratus ribu sampai satu juta rupiah. Jajan gede dalam sehari hanya untuk beberapa lembar kertas soal dan jawaban. Paling banyak hanya lima lembar. Uh, rugi besar!!!”cerocos Mardiono.
“Aku sependapat dengan kau, Mar!”ujar Iyem.
“Seandainya kita bisa, kerugian akan kita rasakan baik di masa sekarang atau nanti. Pokoknya, kita jangan berbuat begitu. Kalau Babeh dan Enyak kita-kita nyuruh berbuat demikian, kita harus mencegahnya dan bila perlu, kita beri peringatan. Eh, pengertian. Bahwa perbuatan itu hanya akan menjerumuskan kita dan bukannya membantu kita. Cukuplah bagi kita dengan nyontek atau membuat kopean. Akan lebih amis, lebih logis, lebih manis, lebih necis dan lebih ‘is-is’an lainnya jika kita menghafal!”ini jelas pendapat Iyem punya.