Mohon tunggu...
Maryana Ahmad
Maryana Ahmad Mohon Tunggu... profesional -

berawal di sukalaksana, cicaheum untuk kemudian berkelana di kota depok (1999-2002). selanjutnya bertugas di bandung (2002-2004), banyumas (2004-2006), padangsidimpuan (2006-2009), kota bekasi (2009-2013), kab. bogor (2013), dan sejak 2017 di jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Balada di Ruang 7

13 Maret 2014   07:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:59 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suka yang dari tadi hanya menjadi pendengar setia, gak mau tinggal diam. “Udah, kau tenang-tenang ajalah. Aku bawa ini, nich!”itu anak nunjukin kamusnya yang tebal.
Mahaganta sedikit terhibur. Ia menghentikan tangisnya.
Anak-anakpun sepakat, mutusin Suka sebagai penerjemah dan upacara ala adat keraton diadakan meski hanya beberapa menit.

Tapi setelah sang pengawas yang memakai peci masuk, anak-anak agak cemas. Gak lain karena beliau gak mau ada segala jenis buku dan kamus yang disimpan di laci. Semuanya harus disimpan di depan. Di meja guru.
Anak-anak menolak.
Beliau memaksa.
Anak-anak ngotot.
Maka demi keamanan yang langgeng agar ujian berjalan lancar tanpa kendala apapun, Hendra memutuskan untuk main adu panco dan menang. Alhasil anak-anak batal untuk nyimpan buku-bukunya di depan. Termasuk Suka. Kamusnya tetap di tangannya.

Detik berlalu. Menit tiba. Anak-anak kelabakan.
“Suka, mana? Awas!! Kukutuk kau jadi Saddam!!”ancam Mahaganta yang duduk di baris kedua. Suka bukannya mendengarkan, ia malah melebarkan daun kupingnya. Melihat itu, Roni memperjelas apa yang diomongkan oleh Mahaganta.
“O, kebetulan!!! Gini-gini juga aku pengagum dia!”ucap Suka.
“Aku dua rius!”rengek Mahaganta.
“Aku dua rius setengah!”Suka gak mau kalah.
“Jadi, mana jawabannya? Bagi-bagi donk!!!”
“Aku gak bisa, Ron!”
“Gunanya kamus tebal itu?”tanya Hunter yang mulai curiga. Abis, dari tadi Suka sepertinya gak berbuat apa-apa, selain bernafas. Jangankan gerakin penanya untuk dansa di atas lembar jawaban, nyentuh soalpun gak dilakoni.
“Buat bantal!”jawab Suka kalem.
Maaaaak!”jerit Odor.

Karena yang dijadikan penerjemah gak berbuat seperti apa yang dijanjikannya dan diharapkan anak-anak, penghuni Ruang Tujuh nekad. Setiap soal, mereka jawab dengan tiga kata. Kagak lebih, kagak kurang. Apa? Ini dia,
Was wis wus.
Was wis wus.
Ehemmm!!!!
Aya-aya wae.

Bagian Lima

Kenakalan anak-anak kumat deui di hari kelima ini. Jarum pendek udah nginjak angka sepuluh, tapi yang datang baru beberapa anak. Alhasil sang pengawas menyusulnya ke Sei Bingai. Kok bisa tahu? Karena diberi tahu pengawas sebelumnya.

Di depan anak-anak, sang pengawas berpantun ria:

Baiklah baik berlayar rakit
Janganlah sampai putus talinya
Kasih sayangku bukan sedikit
Jikalau boleh mati bersama

Lama kita takkan bertemu
Alangkah sedih rasa hatiku
Sebutlah namaku dalam mimpimu
Daku kan selalu digoda rindu

Walaupun jauh sebrang lautan
Daku sepi menyendiri
Meskipun surat dikau kirimkan
Seperti dikau datang sendiri

Anak-anak terlena. Kepala mereka pusing. Matanya berkunang-kunang dan jalannya mulai limbung. Pandangannya terasa gelap. Sejurus kemudian, mereka seperti terhipnotis. Dengan lenggang mentimun mereka berjalan beriringan layaknya bebek cuek menuju sekolah, masuk ke Ruang Tujuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun