Dengan tidak adanya veto dari dua temannya, Roni mau juga nyalinnya. Usai disalin, diberikannya kepada Suka.
“Cepat kau salin!”perintah sang pengawas pada Suka.
Suka masih terdiam. Ia masih enggan menyentuh kertas yang ia lempar yang sekarang ada di mejanya dengan jawaban nomor dua.
“Cepat kau salin! Dia udah cape, tuh!”ucap sang pengawas memberi penegasan seraya duduk kembali di tempatnya.
Suka belum juga menggerakkan penanya.
“Gak kau salin rupanya?”tanya sang pengawas.
Suka masih terdiam.
“Aku ambil!”ancam sang pengawas sambil mendekati Suka.
Sejurus kemudian, Suka menyalinnya. Cepat banget.
“O, sedang kau salin rupanya!”
“Hahaha!”gelak anak-anak.
“Kirain gak mau kau”beliau duduk kembali.
Bagian Tujuh
Seperti yang telah dijanjikan di hari Sabtu lalu, 23 Mei 1991, maka hari ini pun ada sumbangan. Tapi, sekarang ini, dua orang peri dengan kotak kapur di tangannya masing-masing mengawal beliau, sang guru yang memungut sumbangan di hari Sabtu itu. Kedua peri itu manis-manis. Hidungnya yang mancung seperti timun muda. Dagunya yang bergayut indah seperti tomat ranum dibelah dua. Matanya yang menatap tajam penuh pesona, laksana terong kerdil dengan warna jernih. Dan bibirnya itu, bak cabe merah merona. Karena bingung, Yayan memanggilnya ‘rujak’.
Begitu mereka masuk, anak-anak langsung merogoh sakunya masing-masing. Sepertinya, senyum peri-peri yang baru kelas satu itu, mampu menyobek saku para lelaki penghuni Ruang Tujuh.
Untuk selanjutnya, bunyi uangpun bersahutan, beradu dengan uang-uang yang sudah masuk lebih dulu ke kotak kapur. Bunyinya gak kalah seru dengan sebuah acara orkesta.
Dalam alinea baru, anak-anak terlarut dalam lembar soal dan jawabannya masing-masing. Semuanya tampak serius. Bahkan Suka yang dituduh Roni sebagai pemeluk agama Budha, keseriusannya tampak jelas pada kedua bulu di atas matanya yang rada-rada sipit. Lagi sibuk rupanya.
Lain lagi dengan Karbol. Anak berlemak banyak itu, minta cepat-cepat. Apalagi kalau bukan jawaban yang dimintanya.
“Yan, mana? Setengah jam lagi, nich!”
“Tenanglah, Kar. Jawabanku ada di depan!”Yayan membulatkan kedua matanya.
“Siapa?”
“Mardiono!”jawab Yayan, “Sudah, tenang aja. Jangan bingung dan jangan membingungkan!”
“Justru aku sedang bingung!”
“Apanya yang bingung?”
“Nomor 12, tentang warisan!”
“Siapa situ? Jangan kerja sama, ya!”kata sang pengawas.
Karbol gugup.
Sepi.
Ternyata, anak-anak udah punya persiapan yang betul-betul matang untuk pelajaran yang satu ini, kecuali Karbol. Tampaknya ia gak nyiapin segala sesuatunya dengan matang.
Dan untuk pertama kalinya, pelanggaran terhadap perjanjian terjadi. Iyem yang duduk di depan, pulang tanpa kesan apa-apa. Nani mengikutinya. Mahaganta pun demikian. Terus Hadi, Ozie, Mister dan Hendra. Mereka ngelupain anak-anak lain yang belum siap untuk bubaran, khususnya Karbol.
“Awas kalian!”bathin Yayan. Jelas donk dia kesinggung. Soalnya, dia yang punya usul untuk bikin perjanjian dan kini mereka nginjak-nginjak.Memandangnya sebelah mata. Padahal, kesepakatan sudah ada dalam perjanjian. Artinya, semua yang menyepakatinya harus dan mesti melaksanakannya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
“Anak-anak sekarang udah gak dapat menghargai janji. Payah. Begitu mudah mereka berjanji untuk melanggarnya. Padahal betapa besarnya orang yang udah diberi janji menaruh harapan pada apa yang telah dijanjikannya. Kalian gak memahami pepatah orang bijak bahwa secuil usaha lebih berharga daripada segudang gunung janji!”bathin Yayan bertutur pedih.
Sebenarnya, bisa aja bathin itu anak gak berkata demikian. Toh, ia bisa ngerjain soal. Tapi yang ia pikirkan adalah mereka yang belum bisa untuk bubaran. Ia gak tega untuk bubar lebih dulu karena bagaimana mereka bisa bubar lalu ngumpulin lembar jawaban kalau yang udah selesai saling susul untuk bubaran? Apa tega nengok wajah mereka yang kuyu dan linglung karena gak tahu pada siapa minta jawaban? Apa tega nengok anak-anak gak berdosa itu bubaran dengan lembar jawaban yang belum keisi semuanya? Apa...