Mohon tunggu...
Maryana Ahmad
Maryana Ahmad Mohon Tunggu... profesional -

berawal di sukalaksana, cicaheum untuk kemudian berkelana di kota depok (1999-2002). selanjutnya bertugas di bandung (2002-2004), banyumas (2004-2006), padangsidimpuan (2006-2009), kota bekasi (2009-2013), kab. bogor (2013), dan sejak 2017 di jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Balada di Ruang 7

13 Maret 2014   07:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:59 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Benar, tapi aku yang duduk di barisan dekat jendela, gak bisa leluasa untuk nyontek atau minta jawaban pada kalen!”kata Erni.
Acara gosip mulai menyimpang dari tema.
“Aku juga!”teriak Elis.
“Tapi menurut aku, justru kalen yang paling enak. Kalen bisa nyontek dengan leluasa!”bantah Imelda.
“Apanya yang leluasa?”kilah Heffi. Ini anak juga senasib dengan Erni dan Elis.
“Eiiiiit, jangan panas gini, ah!”ucap Yayan.
Gak amis, gak logis, gak manis, gak necis dan gak ‘is-is’an lainnya bila hanya gara-gara ini terjadi gontok-gontokan di antara kita. Keluhan kalian yang duduk di barisan dekat jendela, kita perhatikan dan sumbangan dari kita yang duduk di barisan lain akan lebih ditingkatkan. Ok?”lanjut Yayan.
“Ok ya ok, tapi jangan niru kamus aku donk!”ucap Iyem ketus. Rupanya Iyem gak terima kamusnya ditiru orang lain, walaupun yang nirunya itu, temannya sendiri.

Anak-anak berhaha-ria.

Suasanapun layaknya pasar bubar. Hingar bingar.
Elis, Erni, Nando dan Heffi tersenyum senang. Nasib mereka sebagai anak-anak yang duduk di barisan dekat jendela, dapet perhatian dari yang lainnya.
“Nah, gitu donk. Senyum. Jangan karena telat dapet bantuan, ngambek gede. Cepat tua, lho!”kelakar Hunter.
Elis, Erni, Nando dan Heffi tersipu malu.
“Senyum kalian boleh juga, lho. Coba donk sekali lagi. Lumayan buat ngusir nyamuk jahil dan iseng yang masih betah di dalam laci!”koar Mahaganta.
Anak-anak berhaha-ria lagi.
*
Anak-anak bergegas.
Bel sudah bernyanyi keras.
Anak-anak duduk manis.
Biar amis.
Biar logis.
Biar manis.
Biar necis.
Dan is-is yang sejenis.
Itu jelas puisi Iyem.
*
“Selamat pagi, anak-anak!”sapa sang pengawas.
“Selamat pagi Sabun Giv, Pak!”balas Yayan. Ini anak tampaknya nekad. Terlalu nekad.
Sang pengawas bengong. Mulutnya membola. Anak-anakpun demikian. Heran dengan tingkah Yayan. Tapi karena udah perjanjian, anak-anak bertindak cepat dan tepat. Mereka langsung ngikutin langkah Yayan. Gak bengong berkepanjangan.
“Selamat pagi Sabun Giv, Pak!”
Sang pengawas makin bengong.
Ketika beliau membagikan soal pada Yayan, beliau memperlihatkan kedua bola matanya yang gede-gede. Iitu anak spontan memalingkan mukanya. Ngeri.

Selanjutnya suasana ujian. Sunyi. Sepi.
Dan segera berubah.
Seorang guru sambil membawa sebuah kaleng berwarna merah dengan motif bunga, memasuki Ruang Tujuh. Kaleng itu gak berisi kue, mungkin minta diisi. Tapi jelas keliru jika dibawa masuk ke Ruang Tujuh. Di situ kan gak ada pabrik kue. Jangankan pabrik kue, penjaja kuepun kagak ada dan yang ada hanya pemakan kue. Karbol, namanya. Anak gajah berbadan gemuk ini, cocok untuk mendapat tuduhan tersebut. Konspirasi kecil.

Namun, alhamdulillah, setelah Hunter yang berpangkat sersan melakukan sebuah penyidikan dan penyelidikan, terungkaplah misterinya. Rasanya gak percuma Hunter memakai lencana LAPD-nya di celana dalamnya. Kok bisa tahu? Karena itu anak suka jemur celana dalamnya di sembarang tempat dengan alasan biar cepat kering.

Mau tahu hasil penyelidikannya?
Ternyata...
Manto yang alim maju ke depan.
“Mari teman-teman kita berdoa. Kedua tangan ditengadahkan. Sambil mengenang jasa-jasa beliau, berdoalah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Berdoa, kita mulai,,,”
“Ya Tuhan kami yang Maha Pengampun, ampunilah dosa dan segala khilaf beliau. Terhadap segala amal baiknya, balaslah dengan kebaikan yang berlipat. Aamiin!”Manto menutup doa.
“Aamiin!”anak-anak mengusap mukanya.

Hendra yang kebetulan duduk paling depan, oleh beliau diberi tugas untuk berkeliling ke tiap barisan. Di depan meja Suka, ia mendapat perlakuan kurang sopan. Suka memberikan uangnya dengan menggunakan mulut karena kedua tangannya sedang buka-buka buku tulisnya. Kesempatan. Tapi sang guru yang membawa kaleng, melihatnya. Dibelalakkannya kedua mata beliau ke arah Suka. Itu anak mengulanginya kembali.

Selesai berkeliling, Hendra memberikan kalengnya.
“Honornya, Pak?”
“Honor apaan?”beliau balik bertanya.
“Saya kan udah keliling!”
Nich!”beliau memberikan sebuah uang logam bergambar burung merak.
“Ya, Bapak. Kok cuma limpul, Pak?”
“Tadi kau ngasih berapa?”
“Sepuluh ribu!”Hendra berbohong.
Nich!”beliau memberikan lagi uang logam bergambar sama.
“Ya, Bapak. Kok limpul lagi, Pak?”
“Yang sembilan ribu sembilan ratusnya, dengan uang kau aja dululah. Bisa, kan?”
Hendra hendak protes, tapi entah kenapa ia malah mengangguk, tanda setuju.
“Ah, bodohnya diri ini!”bathin Hendra setelah sang guru yang membawa kaleng itu meninggalkan Ruang Tujuh.

Suasana kembali larut dalam lembar soal dan jawaban.
Dan permainan dimulai kembali.
Merasa sang pengawas yang kini duduk dekat pintu sedang gak perhatian, Suka nekad melempar sesuatu kepada Roni. Tapi, ibarat diberi tahu oleh dinding kelas yang bisa bicara, sang pengawas mengetahuinya juga. Peristiwa tersebut tertangkap basah. Hujan kaleeee...
“Apa yang kau lempar, hah? Scud ya?”tanya beliau yang tetap duduk di atas kursinya.
“Bukan, Pak!”
“Lalu apa?”
“Patriot, Pak!”
“Bawa sini!”

Suka ngambil barang yang ia lempar lalu membawanya pada sang pengawas. Usai itu, Suka duduk kembali.
“Ini bukan Patriot!”ucap beliau.
“Lalu apa, Pak?”tanya Ozie.
“Tomahawk!”jawab beliau mantap.
Suka didekatinya.
“Kamu minta nomor berapa?”
“Nomor dua, Pak!”jawab Suka malu-malu.
“Nomor satu sudah?”
“Belum, Pak!”
Kok, gak sekaligus?”
“Takut terlalu lama, Pak!”
“Kalau terlalu lama, ada apa?”
“Patriotnya meledak, Pak!”
“Hahaha,”tawa anak-anak.
“Bukan Patriot, Tomahawk!”
“Oh ya, Pak! Tomahawk!”

Beliau memberikan kertas yang berukuran kecil itu pada Roni dan menyuruhnya untuk nyalin nomor dua buat Suka. Mulanya Roni bimbang. Ragu.
“Ayo salin!”perintah beliau.
Roni masih dalam kebimbangan. Dalam keraguan.
“Tulis aja, Ron!”ujar Yayan.
“Kita kan udah janjian!”dukung Joelis.
“Betul, Ron!”lanjut Yayan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun