Berdasarkan kajian yang dilakukan pakar-pakar pendidikan media di berbagai negara, tujuan pendidikan media adalah mencapai literasi media yang berupa kemahiran. Komptensi media ini tercermin dari tujuan pendidikan media yang dilakukan di berbagai negara baik melalui jalur pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Hanya saja survei yang dilakukan Fedorov (2002) menunjukkan belum adanya keseragaman dan kesamaan pandangan atas tujuan pendidikan literasi media di berbagai negara di seluruh dunia. Namun sebagian besar responden yang merupakan pakar pendidikan media / literasi media dari berbagai negara menunjukkan bahwa tujuan literasi adalah “ mengembangkan pribadi otonom”.
Pengembangan pribadi otonom sebagai tujuan pendidikan media seperti yang diungkapkan Fedorov di atas pada dasarnya adalah kompetensi media. Menurut Gapski dan Gehrke (2002), kompetensi media adalah kemampuan individu untuk melihat dunia media secara kritis, reflektif, dan independen serta secara bertanggung jawab menggunakan media sebagai sarana ekspresi kreatif dan independen. Kompetensi media ini, kata Gapski dan Gehrke, merupakan keterampilan penting pada hampir semua bidang kehidupan, yaitu dalam bidang pekerjaan, pelatihan vokasional dan pemanfaatan waktu luang.
Kajian Schuldermann tentang kompetensi media ini menunjukkan, untuk kepentingan pendidikan media/literasi media, kompetensi ini dapat dideduksikan menjadi dimensi-dimensi sebagai berikut :
a. Mengenali, mengidentifikasi, dan mempengaruhi motif yang membawa orang mengkonsumsi media.
b. Mencermati secara kritis nilai-nilai, norma-norma, idola, dan stereotipe yang melekat dalam pesan-pesan media massa.
c. Menganalisis kondisi spesifik produksi dan efek media massa
d. Kemampuan memahami kode-kode dan format-format spesifik media massa.
Studi yang dilakukan Sen dan Hill (2002) menunjukkan bagaimana media massa di Indonesia bukan menjalankan peran merefleksikan realiatas, melainkan merepresentasikan realitas. Karena tidak merefleksikan realitas, namun merepresentasikan realitas, maka media di Indonesia dengan mudah menjadi alat kepentingan kekuasaan untuk merumuskan tentang realitas politik, kultural dan sosial Indonesia seperti yang dipikirkan pihak yang berkuasa dan bukan seperti yang dialami rakyat banyak. Apa yang diungkapkan Sen dan Hill tersebut sejalan dengan kajian yang dilakukan Keith Tester (2003). Media yang pada dasarnya mengandaikan terjadinya dialog antara konten media dan khalayaknya, tapi yang sesungguhnya terjadi adalah monolog antara media dan khalayaknya. Akibatnya, Khalayak media lebih banyak menerima konten media dibandingkan dengan melakukan dialog dengan konten media tersebut.
Catatan Penutup
Apa yang bisa kita dilakukan, t atkala tingkat literasi media masy arakat Indonesia masih belum begitu baik ? maka representasi media itu pun akan cenderung dipandang sebagai kebenaran. Tak ada lagi tersedia ruang untuk kritis membaca teks-teks representasi yang disampaikan media massa. Proses komunikasi yang dominatif makin menyuburkan peluang untuk memandang benar apa pun yang ditampilkan media. Bahkan khalayak pun cenderung berpandangan media sudah melakukan seleksi atas siapa yang akan ditampilkan melalui media. Dengan melupakan bahwa seleksi yang dilakukan media bukan seleksi yang kriterianya jelas, melainkan semata dengan menggunakan kriteria kepentingan ideologis ekonomi dan politik yang dianut media massa.
Perlunya upaya kita bersama, dalam bidang bidang dan profesi masing-masing di lingkungan keluarga, masyarakat dan tempat kerja untuk melakukan kegiatan pendidikan literasi media minimal secara fungsional untuk melahirkan daya kritis khalayak terhadap media. Daya kritis tersebut akan diperlukan untuk membangkitkan keberdayaan khalayak untuk tidak terjebak dalam permainan representasi media massa. Khalayak yang berdaya itu pada gilirannya akan mampu mengubah atau memperbaiki praktik representasi yang dilakukan media massa. Literasi Media juga diharapkan mampu mendorong media massa untuk bekerja berdasarkan kerangka kerja khalayaknya, bukan kerangka kerja media yang kerap memperdayakan, bukan memberdayakan, kahalayaknya.