[caption id="attachment_342821" align="alignleft" width="647" caption="kompasioner purworedjo"][/caption]
M edia massa memiliki peran yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan sudah tidak diragukan lagi baik yang berdampak positif maupun negatif, walau kerap dipandang secara berbeda namun tidak ada yang menyangkal atas perannya yang signifikan dalam perubahan yang terjadi di masyarakat. Media massa adalah “a mirror of in event of society and the word, implying a faithful reflection” . Cerminan berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya. Karenanya seringkali pengelola media merasa tidak “bersalah” jika isi media dipenuhi oleh konflik, kekerasan, pornografi dan berbagai keburukan lainnya, kerena menurutnya realitas yang terjadi adalah demikian faktanya. Sejatinya media massa, diharapkan mampu berperan dalam upaya turut merekonstruksi kondisi masyarakat kearah yang lebih baik bukan sebaliknya
Sifat komunikasi massa yang ada di mana-mana (ubiquity ) sekaligus hadir di mana-mana (omnipresence ), pada realitasnya seringkali menempatkan khalayak semata sebagai objek, yang akhirnya membuat khalayak sekedar menjadi konsumen dari produk komunikasi massa. Khalayak menjadi pihak yang tak berdaya menghadapi derasnya terpaan pesan-pesan yang disampaikan melalui berbagai media. Sehingga diperlukan upaya kita bersama untuk memberdayakan khalayak media massa dalam menghadapi terpaan pesan-pesan komunikasi yang setiap hari menghampirinya, selain dalam rangka pemberdayaan juga diperlukan agar media massa juga mampu bekerja berdasarkan kerangka kerja khalayaknya, dalam melaksanakan fungsi hakikinya sebagai media informasi, edukasi dan rekreasi bukan kerangka kerja media yang kerap memperdayakan, bukan memberdayakan, khalayaknya.
Realitas media merupakan upaya untuk mentransformasikan sebuah realitas sosial kepada khalayak publik (pembaca). Dalam melaksanakan upayanya tersebut, media dilingkupi oleh berbagai keterbatasan, baik keterbatasan ruang, waktu, karakter pembaca hingga tingkat profesionalitas wartawannya. Maka dalam praktiknya, media harus melakukan penafsiran, penyaringan, pemilihan hingga simbolisasi terhadap realitas, yang pada akhirnya menimbulkan pertanyaan dalam hal objektivitasnya , apakah berita yang ditulis dan dikemas oleh wartawan sama atau berbeda dengan realitas yang sesungguhnya.
Dalam perspektif klasik pesan menjadi “roh” komunikasi. Yang akhirnya, pesan menjadi “medan pertempuran” pengaruh antara pihak yang dominan dan didominasi. Jarang terjadi dialog pertukaran makna dalam proses komunikasi, melalui media massa, lantaran khalayak seringkali dipandang sebagai makhluk pasif. Sehingga diasumsikan pasti khalayak menerima dan terpengaruh oleh pesan apapun yang disampaikan melalui media. Tidak mengherankan bila kemudian berkembang kondisi komunikasi yang manipulatif. Penguasaan pengetahuan atas aspek sosiologis dan psikologis manusia ditambah dengan kepiawaian dalam mengemas pesan, melahirkan apa yang dinamakan Michael Parenti dengan nama “metode manipulasi oleh media” . Melalui cara-cara sebagai berikut :
(1) meringkas dengan menghilangkan bagian tertentu;
(2) menyerang dan menghancurkan sasaran;
(3) pelabelan;
(4) lebih dulu menetapkan asumsi;
(5) menyiarkan begitu saja; (6) meremehkan isi/substansi; (7) keseimbangan semu;
(8) membuat kerangka;
(9) belajar tapi tak pernah mau bertanya mengapa
Bahasa adalah unsur utama atau instrumen pokok dalam mengkonstruksi realitas. Keberadaan bahasa dalam media massa bukan lagi sebagai alat untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa juga menentukan citra yang akan muncul di benak khalayak. Penggunaan bahasa tertentu berimpilkasi menghasilkan makna tertentu. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas akan ikut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya. Bahkan bahasa bukan cuma mampu mencerminkan realitas, tetapi dapat pula menciptakan realitas.
Media massa, menurut Stuart Hall, pada dasarnya tidak mereproduksi makna itu sendiri, melainkan menentukan (to define ) realitas melalui pemakaian kata-kata yang terpilih. Lebih lanjut Hall mengatakan : “ Makna tidak secara sederhana bisa dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan sosial (social struggle ), sebuah perjuangan dalam memenangkan wacana. Maka itu pemaknaan yang berbeda merupakan arena pertarungan tempat memasukkan bahasa didalamnya. Manakala bahasa digunakan oleh media massa, maka sebetulnya ia memiliki tanggung jawab yang lebih besar karena ketersebaran yang luas dalam menanamkan stereotip atau prasangka tertentu ( Hall, dalam Sobur, 2001:40) “.
Dalam pandangan Jalaludin Rakhmat, “Bahasa adalah ideology soaked . Dalam perumusan dan penyebaran ideologi peran bahasa sangat menentukan. Tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa ideologi membentuk dan dibentuk oleh bahasa. Dengan ideologi orang memberi makna pada realitas sosial. Untuk memudahkan penyimpanan, pemeliharaan, pengolahan, dan penyimpanan makna diperlukan bahasa. Pada gilirannya, bahasa tertentu—yang ditampakkan pada pemilihan kata dan kalimat—membentuk realitas sosial tertentu “.
Distorsi Peran Media
Adanya kebebasan terhadap media massa sejak adanya era reformasi, sepertinya belum secara langsung meningkatkan pelaksanaan peran media massa sebagai media informasi, pendidikan, kontrol sosial, dan hiburan. Bahkan peningkatan kuantitas dan kualitas media massa cetak dan elektronik justru cenderung mendorong terjadinya penyajian informasi yang cenderung membingungkan masyarakat. Jalaludin Rakhmat menggambarkan bahwa “Pers Indonesia di era reformasi bagaikan kuda lepas dari kandangnya, meloncat-loncat, berlari tanpa arah, dan mendengus-dengus ke mana saja, lebih dari itu banyak pengamat yang mengeluh, pers kini sudah banyak memberitakan apa saja kecuali yang benar”.
Atau dalam kata-kata Muis, “Pers telah membuat sensasional, pelintiran, kecemasan, provokasi dan kerawanan di tengah masyarakat. Karena media massa bukanlah institusi yang bebas, independen, tetapi memiliki keterkaitan dengan realitas sosial. Jelasnya, ada berbagai kepentingan yang bermain dalam media massa. Di samping kepentingan ideologi antara masyarakat dan negara, dalam diri media massa juga terselubung kepentingan yang lain, misalnya kepentingan kapitalisme pemilik modal, kepentingan keberlangsungan (suistainabilitas ) lapangan kerja para karyawan dan sebagainya. Di tengah-tengah, pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. yang menyebabkan bias peran media massa adalah sesuatu yang sulit dihindari.
Selain media massa Indonesia, media barat-pun tidak bisa lepas melakukan distorsi peran, dalam buku Islam and the West in the Mass Media: Fragmented Images in a Globalizing World , buku tebal yang dieditori Kai Hafez. buku tersebut mengkritisi fenomena pers barat, yang senantiasa berhidmat bagi upaya melanggengkan dominasi barat melalui jaringan media yang dimiliki. Barat disamping memiliki pasukan militer yang kuat dan politisi yang berpengaruh, juga memiliki basis ekonomi yang mapan. Dengan kekuatan ekonomi, mereka bisa membangun kekuatan suprastruktur dan jaringan infrastrukur untuk mempertahankan dominasi mereka. Sementara negara-negara islam dan Negara berkembang masih berjibaku menata kesejahteraan bangsanya, Barat telah jauh menginjak gelombang ketiga atau post industry yang kini tengah dinikmati dan dikendalikan barat dalam era informasi ini.
Lewat superioritas media massanya, Amerika telah mencekoki seluruh penghuni kampung global dengan berita-berita hasil ramuan dapur-dapur redaksi yang dikendalikannya. Melalui dapur-dapur redaksi tersebut, Amerika tidak henti-hentinya melakukan proses manipulasi pesan untuk memenuhi kepentingan politik, ekonomi, dan budaya, yang disebarluaskan ke berbagai kawasan negara, khususnya negara-negara pinggiran. Walhasil, gaya hidup Amerika kemudian menjadi acuan banyak orang di belahan dunia manapun. Identitas lokal seperti adat istiadat, norma, dan orientasi hidup yang demikian pluralis di berbagai kawasan dunia terkikis habis digantikan oleh budaya massa yang bersifat homogen dengan melihat Barat sebagai acuan budaya.
Jalaludin Rahmat, mengutip pandangan Noam Chomsky, sangat prihatin dengan rasionalitas manusia yang dikendalikan oleh kekuatan raksasa adikuasa. Pikiran manusia telah dikontrol oleh penggunaan kata-kata dan pemberian makna tertentu yang dintrodusir dan disebarluaskan media barat, yang disebutnya “the American Ideological System” . Chomsky menghimpun sejumlah kata dan ungkapan yang maknanya telah disimpangkan. Misalnya kata terorisme , yang dalam kamus adikuasa, adalah tindakan protes yang dilakukan oleh Negara-negara atau kelompok-kelompok kecil, seperti membunuh tiga orang Israel di Larnaka adalah terorisme, tetapi penyerbuan dan pengeboman sasaran sipil oleh tentara AS terhadap Negara yang tidak patuh terhadap AS, adalah tindakan mendahului (preemptive ). Ungkapan tatanan dunia baru (new world order ) dalam kamus adikuasa, maknanya adalah sistim ekonomi dan militer yang sepenuhnya tunduk pada hegemoni AS. Makanya ketika pesawat tempur AS membunuh rakyat sipil lebih dari setengah juta, dan jutaan lagi sesudahnya di Vietnam, Irak, Afganistan dan Negara lainnya, dimaknai Amerika sedang menegakkan tatanan dunia baru. Dan Chomsky mengajak kita untuk meninjau kembali ( rewrite ) kamus tersebut yang disebarluaskan oleh media dan seringkali juga diamini oleh media kita.
Lewat media massa, yang kemudian disebarluaskan oleh media Indonesia yang juga rajin menyajikan teori-teori intelektual barat, termasuk pikiran-pikirannya spontannya, yang banyak dikupas oleh ilmuwan Indonesia misalnya Samuel P. Huntington atau Francis Fukuyama , boleh jadi merupakan nama-nama yang “marketable ” di banyak perguruan tinggi di Indonesia. Banyak sarjana dan mahasiswa, termasuk intelektual muslim Indonesia, yang merasa bangga saat mendebatkan pikiran-pikiran mereka. Padahal, jika kita mengkritisi pemikirannya semisal Huntington dan Fukuyama yang sesungguhnya tidak mampu melepaskan diri dari persepsi dominan pemerintah negara-negara barat yang cenderung etnosentris terhadap negaranya dan mengedepankan sikap stereotif terhadap Islam. Meski Huntington sendiri juga banyak mendapat kritik dari para ilmuwan bahkan ilmuwan barat sendiri. Donald K. Emerson, misalnya, menyebut tesis Huntington tentang ”The Clash of Civilizations ” sebagai fantasi intelektual.
Perspektif Khalayak Terhadap Peran Media
Peran media dalam berbagai aspek kehidupan tidak diragukan lagi, McQuail dalam bukunya Mass Communication Theories (2000:66) merangkum pandangan khalayak terhadap peran media massa. Setidaknya ada enam perspektif dalam hal melihat peran media.
Pertama, media massa
sebagai window on event and experience Media dipandang sebagai jendela yang memungkinkan khalayak “melihat “ apa yang terjadi diluar sana. Atau media juga dapat berperan sebagai media pembelajaran untuk mengetahui berbagai peristiwa yang terjadi. Dalam konteks kehidupan sosial peran media diperlukan untuk memberikan informasi berbagai masalah yang ada dan berkembang di tengah-tengah masyarakat, meski jendela untuk melihat permasalahan yang ada melalui peran media apakah jelas dan memadai.
Kedua, Media sebagai a mirror of event in society and the world, implying a faithful reflection. Cermin berbagai peristiwa yang ada di masyarakat dan dunia, yang merefleksikan apa adanya. Karenanya para pengelola media sering merasa tidak “bersalah”, jika isi media menggambarkan hal yang buruk dan mungkin menakutkan masyarakat.
Ketiga, memandang media sebagai filter atau gatekeeper yang menyeleksi berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak. Media senantiasa memilih issue, informasi atau bentuk content yang lain berdasarkan standar yang dimiliki.]
Keempat , media massa seringkali dianggap sebagai guide , petunjuk jalan atau interpreter , yang menterjemahkan arah atas berbagai ketidakpastian, atau alternatif yang beragam.
Kelima , melihat media sebagai forum untuk mempresentasikan berbagai bentuk informasi dan ide-ide kepada khalayak, sehingga terjadi tanggapan dan umpan balik yang positif dan mungkin solutif terhadap beragam masalah yang ada. Keenam , media sebagai interlocutor , yang tidak sekedar tempat lalu lalangnya informasi, tetapi juga merupakan partner komunikasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang interaktif.
Hal tersebut diatas menunjukan peran media tidak hanya, sebagai sarana diversion , pelepas ketegangan atau hiburan, tetapi isi yang disajikan mempunyai peran yang signifikan dalam proses sosial dan politik, dalam istilah Walter Lippman, media mampu berperan sebagai the pictures in ours heads tentang realitas yang terjadi di dunia ini.
Maka gambaran yang dibentuk oleh isi media yang memberi informasi yang salah dari media massa akan memunculkan gambaran yang salah terhadap objek sosial. Kerenanya media massa dituntut menyampaikan informasi secara akurat dan berkualitas. Kualitas informasi inilah yang merupakan tuntutan etis dan moral penyajian berita.
Media massa juga memiliki peran besar dalam menunjang kehidupan politik yang demokratis, Dalam pandangan Subiakto ( 2001:12) untuk mampu berperan dalam hal tersebut setidaknya harus ada dan terpenuhinya delapan kondisi sebagai berikut : Pertama, adanya freedom of publications yang merupakan dasar utama demokrasi yang menjamin kebebabasan berpendapat, menyampaikan informasi dan mengetahui kebenaran. Kebebasan pers memungkinkan adanya control, kritik dan pendapat yang menjadi diskursus sehari-hari. Kebebasan publikasi diperlukan untuk memunculkan pemerintahan dan masyarakat yang cerdas serta bijaksana. Kondisi tersebut diharapkan akan memperkuat peran media sebagai “watchdog” terhadap intitusi kekuasaan dan masyarakat untuk mendorong perubahan masyarakat secara terus menerus.
Kedua, terjaminnya plurality of ownership pluralitas kepemilikan media merupakan hal yang sangat penting, karena setiap kepemilikan yang berbeda mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap perspektif isi media. Ketiga, terjaminnya diversity of information available to public, keragaman informasi yang disediakan untuk khalayak yang berbeda, baik karena perbedaan kategori sosial, berdasarkan perbedaan demografis, psikografis, teknografis maupun geografis.
Keempat, terjaminnya diversity of ekspression of opinion , yaitu system media yang memungkinkan setiap komponen masyarakat mendapatkan akses yang kurang lebih sama. Hal ini diperlukan agar suara minoritas secara sosial dan politik tidak termarginalkan. Sekaligus dalam rangka mengeliminir konflik dengan upaya membangun saling pengertian diantara seluruh komponen yang ada.
Kelima, tercapainya kondisi extensive reach, yaitu system media massa yang mampu menjangkau khalayak yang luas, tidak ada lagi blakspot, atau wilayah yang terlayani media massa. Sekaligus dalam rangka mencegah adanya ketertutupan kelompok kelompok yang tidak terjangkau media dari informasi yang bermanfaat bagi mereka.
Keenam, terwujudnya quality of information and culture available to public . Tuntutan agar media massa menyajikan informasi yang dapat dipertanggung jawabkan kualitasnya yang mengacu kepada adanya kode etik dalam menjalankan jurnalisme media yang hendaknya bersifat objektif, maksudnya terdapat akurasi, jujur, cukup lengkap, sesuai realitas, teruji, dan memisahkan fakta dengan opini. Informasi yang disajikan juga harus bersifat tidak memihak (impartial ), melaporkan dengan lebih dari satu perspektif, dengan cara yang tidak sensasional dan bias.
Ketujuh, terciptanya komitmen media untuk support for the democratic political system . Sebagaimana kita ketahui bahwa demokrasi Indonesia sedang mencari bentuk, dengan trial and error . Dalam eksperintasi politik yang demokratis memerlukan waktu yang cukup lama sampai pada bentuk system politik yang lebih solid, agar jangan sampai terjadi set-back pada format lama . Disini perlunya media sebagai mendorong proses demokratisasi, termasuk mendorong perubahan-perubahan yang lebih reformatif.
Kedelapan, media massa harus respek pada yudisial system , menghargai system hukum, sekaligus mensosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya penegakan hukum, termasuk tidak mempengaruhi jalannya peradilan dan menjungjung tinggi azas praduga tak bersalah dalam isi medianya disini pentingnya media menegakan code of conduct yang berlaku secara spesifik maupun universal. Disampng media juga menyuarakan pentingnya legal action , untuk menyelesaikan sengketa masyarakat.
Kilas Balik Peran Pers Indonesia
Untuk pertama kalinya bangsa kita berkenalan dengan dunia pers, ketika Belanda melalui Vereenigde Oost‑Indische Compagnie, (VOC) yang memulai penjajahannya di Tanah Air, dan sejak awal lahirnya, langsung berhubungan dengan kepentingan‑kepentingan politik. Upaya pertama untuk menerbitkan Surat kabar di Batavia (sekarang Jakarta) terjadi tahun 1712, tetapi pemerintah VOC melarangnya. Alasannya, pemerintah takut saingan VOC akan memperoleh keuntungan dari berita dagang yang dimuat koran itu.
Ketika pemerintahan "liberal" berada di bawah Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron Von Imhoff, tahun 1744 terbit mingguan Bataviase Nouvelles di Jakarta. Sekalipun telah menunggu 32 tahun sejak tahun 1712, toh penerbitan itu hanya bisa bertahan kurang lebih dua tahun hingga Juni 1746 setelah para direktur VOC di Negeri Belanda melarang Surat kabar tersebut dengan alasan penerbitan itu telah menimbulkan akibat‑akibat yang membahayakan di Negeri Belanda. dan dalam beberapa kasus lain lebih disebabkan sentimen pribadi sang penguasa. Begitu ketatnya pengawasan oleh pemerintah kolonial, pada masa itu terkenal ungkapan, "seorang redaktur di daerah jajahan ini selalu bekerja dengan satu kakinya di penjara". (Smith, dalam Hamad, 2004:59)
Jika belanda menjadikan politik sebagai alat pengekang pers, namun justru tekanan politik itulah yang menjadi daya dorong pertumbuhan pers Indonesia “Perasaan nasionalisme Indonesia-lah, dorongan untuk merdeka dari Belanda, yang memberi dorongan kepada pers Indonesia (Suryomihardjo, dalam Hamad 2004:61) Pada awal abad ke‑20 itu, perjuangan politik kaum Bumi Putera memang mulai merebak, tak terkecuali mereka menggunakan pers sebagai alat perjuangan. Sekalipun Surat kabar Indonesia, Bromartini, sudah terbit tahun 1855, tetapi usaha menjadikan pers Indonesia sebagai alat perjuangan nasional terjadi setelah sejumlah organisasi politik tumbuh, seperti Boedi Oetomo(1908), indische Partij(1911) S arekat Islam (1912), Perhimpunan Indonesia (1922), Partai Komunis Indonesia (1926), dan Partai Nasional Indonesia (PNI). (Suryomihardjo, dalam Hamad 2004:61)
Selain menjadi wadah para tokoh organisasi politik menyuarakan gagasan gagasannya, saratnya muatan politis dari persurat‑kabaran Indonesia pada masa itu juga tampak dari nama‑nama yang disandangnya yang mencerminkan sikap perjuangan nasionalisme, seperti Suara Kemerdekaan, Suara Berjuang, Benih Kemerdekaan. Nama Kemadjuan Hindia dirubah menjadi Kemadjuan Indonesia. 13 Dari 107 Surat kabar dan majalah, yang terbit sekitar tahun 1920 corak Surat kabar atau majalah Indonesia digolongkan menjadi nasionalis, liberal, radikal, dan komunis, disamping ada yang bercorak netral, politik, dan sekedar dagang berita. Judul-juduinya pun menarik perhatian, banyak yang memakai kata "sinar", "Jong", "kebangoenan", "baroe", dan sebagainya".
Kekuasaan politik yang militeristik tak terhindarkan berimbas juga terhadap pers tatkala Balatentara Jepang menduduki Indonesia (1942‑1945). Penguasa militer Jepang menempatkan shidooin (penasihat) di bagian redaksi dalam setiap surat kabar dengan tujuan untuk mengontrol media secara langsung.
Dalam alam kemerdekaan, PWI dalam kongresnya yang ke‑7 di Denpasar bulan Agustus 1 953, menuntut pemerintah supaya mengeluarkan Undang‑Undang Pers tapi baru tanggal 12 Desember 1966 lahir UU Pokok Pers No. 11/1966. Malahan sebelurn lahirnya UU ini, terlebih dahulu dikeluarkan peraturan yang berkenaan dengan pers oleh KSAD selaku Penguasa Militer pada 14 September 1956. Peraturan No. PKM/001/0/1956 itu sangat mirip dengan Haatzaai Arfikelen. Pembatasanpembatasan terhadap pers justru semakin besar setelah diumumkan Keadaan Perang (SOB) tanggal 14 Maret 1957. Pemerintah terus membuat aturan yang berkenaan dengan pers melalui Peraturan Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) No. 10/1960 dan Penpres No. 6/1963 yang bisa dikatakan sebagai cerminan sikap politik pemerintah saat itu terhadap pers sampai dengan lahimya Orde Baru tahun 1965 .
Selain berhadapan dengan penguasa, relasi pers dengan kekuatankekuatan politik. Dalam rentang antara tahun 1945‑1966 itu, dinamika pers Indonesia berubah‑ubah mengikuti perkembangan politik nasional. Sistem politik Indonesia setidaknya mengalami tiga bentuk. Periode 1945‑1955 adalah politik transisional. Untuk kehidupan pers masa ini merupakan saat saat pembenahan, seperti pembentukan Departemen Penerangan, pendirian PWI, dan lembaga‑lembaga komunikasi lainnya.
Kebebasan pers bertambah besar ketika sistem politik beralih ke bentuk Demokrasi Liberal antara tahun 1955‑1959. Pada masa ini hampir setiap surat kabar memiliki hubungan tertentu dengan satu partai politik. Situasi ini paralel dengan perkembangan aliran‑aliran politik terutama Islam, Nasionalis, Kristen, dan Komunis, yang semenjak jaman penjajahan Belanda sudah mulai tumbuh.
Segera setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pemerintah pada tahun 1960 menetapkan 19 pasal peraturan mengenai penerbitan surat kabar. Ke‑19 pasal itu secara keseluruhan bersifat kewajiban pers, untuk mendukung politik pemerintah. Pers pada masa Demokrasi Terpimpin (1959‑1965), dijadikan alat politik oleh pemerintah otoriter ketika itu. (Suryomihardjo, dalam Hamad 2004:63)
Pengaruh kekuatan politik terus membayangi pers Indonesia setelah Orde Lama tumbang dan dimulainya Orde Baru. Tonggak politis yang pertama dari penguasa Orde Baru mengenai pers adalah UU Pokok Pers No. 11/66 jo UU No. 4/1967. Hanya saja dalam praktiknya justru banyak menimbulkan kontraversi akibat terIalu besarnya pertimbangan politik ketimbang penegakan perundangan itu sendiri. Sekalipun dinyatakan dalam UU Pokok Pers; ini tidak diperlukannya lagi Surat Izin Terbit (SIT), tetapi dalam pelaksanaannya muncul ketentuan agar setiap penerbitan pers harus mempunyai SIT dan Surat Izin Cetak (SIC). Pihak yang mengeluarkannya pun bukan Menteri Penerangan, tetapi Laksus Kopkamtib sebuah instrumen kekuasaan buatan Orde Baru. (Suryomihardjo, dalam Hamad 2004:63)
Dengan adanya dua surat izin ini penguasa Orde Baru sangat mudah memantau pers. Aturan SIC baru dicabut 3 Mei 1977 dengan alasan stabilitas keamanan nasional telah mantap setelah mendapat banyak protes. Kontraversi lainnya adalah mengenai pembreidelan yang sejak jaman kolonial jaman kemerdekaan menjadi ciri utama campur tangan kekuasaan terhadap pers. Dalam UU Pokok Pers itu dinyatakan: Terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan (pasal 4), namun menyusul pecahnya Peristiwa Malari 1978 sekurang‑kurangnya telah dibreidel 7 (tujuh) Surat kabar ibu kota
Peristiwa 15 Januari 1978, merupakan tonggak pengokohan dari pelaksanaan kekuasaan melalui mekanisme Bureaucratic Polity oleh penguasa Orde Baru, yaitu pemusatan kekuasaan di tangan segelintir elite setelah menghabisi semua kekuatan politik saingan. Gurita kekuasaan dari kelompok elite pada masanya (1978‑1998) ini sangat kuat dan menjangkau sernua sektor kehidupan tak terkecuali bidang komunikasi Kenyataan ini sejak peristiwa itu, penguasa Orde Baru dalam hal ini Soeharto ‑ relatif sendirian saja memerintah Indonesia, termasuk mengendalikan media massa, sampai ia dijatuhkan oleh Gerakan Reformasi tahun 1998. (Jackson,dalam hamad, 2004:64)
Sejak kekuasaan orde baru runtuh, kehidupan pers Indonesia menampakkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Seiring adanya perubahan pola kekuasaan, pada awal pemerintahan Presiden B.J. Habibie melalui Mentri Penerangan, Yunus Yosfiah, yang telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 01 Tahun 1998 yang menyatakan mencabut Peraturan Mentri Nomor 01 tahun 1984. Dunia pers nasional dapat lebih bebas dalam menjalankan visi dan misinya, iklim keterbukaan yang diberikan oleh Pemerintahan Habibie melalui Undang-Undang Pokok Pers Nomor 40 tahun 1999.
Regulasi Pers yang baru, pada era reformasi telah membuat dinamika pers menjadi lebih bergairah. Dengan demikian, pers nasional memperoleh kebebasan melakukan pengumpulan berita (news gathering ), pengolahan berita (news editing ), dan penyajian bahan berita (news presenting ) serta kebebasan dari berbagai tekanan dan ancaman pihak luar saat melaksanakan fungsi jurnalistik. Seperti halnya legislatif yang secara nyata menjadi kekuatan demokrasi, institusi pers nasional juga kemudian muncul menjadi salah satu kekuatan baru yang lebih nyata dalam tatatanan infrastruktur perpolitikan nasional maupun dalam kehidupan masyarakat di semua tingkatan.
Kenyataan-kondisi kondusif semacam ini, langsung disikapi oleh penerbitan pers dengan melakukan penyesuaian gaya, corak dan pengumpulan, pengolahan dan penyajian berita. Dengan adanya kebebasan masyarakat dalam berserikat dan menyatakan pendapat, maka dunia penerbitan pers mulai menyajikan berita-berita yang mengandung pro dan kontra, kritik, dan fakta yang ada pada kekuasaan yang tidak sesuai dengan demokrasi, dan berbagai penyimpangan yang timbul di pemerintahan.
Namun demikian, adanya kebebasan pers ini belum secara langsung meningkatkan pelaksanaan fungsi pers sebagai media informasi, pendidikan, kontrol sosial, dan hiburan. Bahkan peningkatan kualitas penerbitan dan pertambahan jumlah penerbitan pers justru cenderung mendorong terjadinya penyajian informasi yang rancu dan membingungkan masyarakat.
Pemberdayaan Khalayak Dan Literasi Media
Pemosisian khalayak dalam medan komunikasi yang terjadi pada saat ini, sepertinya membuat khalayak menjadi tak berdaya menghadapi terpaan pesan-pesan komunikasi yang setiap hari menghampirinya. yang kemudian melahirkan gagasan untuk memberdayakan khalayak media massa. Secara formal, upaya memberdayakan khalayak ini mendapatkan dasar institusionalnya pada tahun 1982 yang digagas UNESCO yang menyatakan, “kita mesti mempersiapkan anak-anak muda kita untuk hidup di dunia yang sesak dengan suara, kata dan citra yang begitu perkasa.” Konferensi di Grundwald Jerman tahun 1982 yang menghasilkan Deklarasi Grundwald menjadi tonggak untuk mempersiapkan anak-anak muda menjadi khalayak media yang berdaya.
Konsep literasi media mulai diperkenalkan sebagai bagian penting kehidupan dan merupakan salah satu bentuk literasi yang diperlukan untuk bisa hidup dalam dunia sesak media (media saturated-world). Kelahiran konsep pemberdayaan sendiri tak lepas dari dinamika proses modernisasi di negara-negara berkembang. Pada saat konsep pembangunan yang berorientasi pertumbuhan menjadi konsep dominan, maka paradigma modernisasi menjadi dasar setiap kebijakan pembangunan yang dijalankan di negara-negara berkembang. Dalam pada itu berkembang konsep akternatif yang menggunakan paradigma struktural, khususnya yang dikenal dengan konsep dependensi yang dikembangkan di Amerika Latin. Konsep struktural ini membawa konsep pemberdayaan untuk memperbaiki posisi sosial kelompok-kelompok masyarakat yang secara struktural dirugikan oleh sistem sosial yang dikembangkan konsep modernisasi.
Kindervatter (1879:13), melalui karyanya yang monumental tentang pemberdayaan, mendefinisikan pemberdayaan sebagai “people gaining an understanding of control over social, economic, and for polical force in order to improve their standing in society.” Berdas arkan definisi tersebut, pada akhirnya , tujuan pemberdayaan adalah membuat orang-orang bisa memperbaiki posisinya di tengah masyarakat. Ikhtiar pemberdayaan pun umumnya dilakukan oleh para aktivis kemasyarakatan pada kelompok-kelompok masyarakat yang tidak diuntungkan oleh sistem sosial dominan yang dikembangkan dengan pendekatan modernisasi yang amat berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Konsep pemberdayaan yang dikembangkan secara sederhana bisa dirumuskan sebagai pemberian daya (power) kepada mereka yang tak berdaya (powerless). Studi yang dilakukan Bank Dunia tentang pemberdayaan menunjukkan bahwa di dalam istilah pemberdayaan tercakup pengertian kekuatan-diri (self-stregth), kontrol, kuasa-diri (selfpower), percaya-diri (selfreliance), pilihan sendiri, hidup bermartabat sesuai dengan nilai-nilai sendiri, mampu memperjuangkan hak-haknya sendiri, independen, mengambil keputusan sendiri, bebas, sadar, dan kapabel (world Bank, 2002 : 10).
Dengan pemberdayaan khalayak itu, maka posisi khalayak ditarik kembali untuk berada di tengah-tengah proses komunikasi. Khalayak bukan sekedar figuran belaka dari proses yang peran utamanya dipegang komunikator, pesan dan media. Khalayak diajak untuk membongkar apa yang ada di balik pesan yang disampaikan komunikator melalui media. Ketulusan, kesungguhan dan demi kemaslahatan khalayak yang selalu menjadi asumsi setiap tindak komunikasi dipertanyakan kebenarannya. Ideologi-ideologi dibalik pesan komunikasi dibongkar dan dipertanyakan.
Khalayak tidak lagi menjadi partisipan yang pasif dalam proses komunikasi, melainkan menjadi partisipan aktif proses komunikasi yang berlangsung dalam sistem sosialnya. Dengan menjadi khalayak yang berdaya akan terbuka kemungkinan untuk menjadi partisipan aktif tersebut mulai dari menafsirkan pesan komunikasi secara kritis, menyadari bahwa isi media sesungguhnya merupakan konstruksi dan media bukan sekedar merefleksikan kenyataan melainkan mempresentasikan kenyataan.
Dalam konteks hubungan antara khalayak dan media, setidaknya ada tiga pandangan dominan. Pertama untuk menghilangkan pengaruh buruk media, tindakan yang diperlukan adalah menghindari media. Kedua , bukan menghindari media melainkan hidup bersama media dengan membekali diri kemampuan literasi media. Ketiga , bukan hidup bersama media melainkan hidup memanfaatkan media dengan kemampuan literasi media. Bidang pemberdayaan khalayak media berkenaan dengan butir kedua dan ketiga tadi.
Dari sisi tujuan litrerasi media, ada dua pandangan yang berbeda yang sama-sama memiliki pengaruh di kalangan praktisi pendidikan media/literasi media. Pandangan pertama yang disebut kelompok proteksionis menyatakan, pendidikan media/literasi media dimaksudkan untuk melindungi warga masyarakat sebagai konsumen media dari dampak negatif media massa. Pandangan kedua yang disebut preparasionis menyatakan, literasi media merupakan upaya mempersiapkan warga masyarakat untuk hidup di dunia sesak-media (media-saturated world), sehingga mampu menjadi konsumen media yang kritis.
Perbedaan pandangan tersebut, menurut Kotilainen (2001 : 2), karena pandangan proteksionis melihat media dengan pendekatan behavioris yang melihat media sebagai ancaman terhadap warga negara, sehingga warga negara harus mendapat perlindungan melalui pendidikan media untuk mencapai literasi media. Sedangkan pandangan preparasionis memandang media dengan pendekatan humanis dan konstruktivis yang melihat media sebagai peluang untuk kehidupan yang lebih baik dan peluang untuk belajar sepanjang hayat di dalam masyarakat yang terus berubah, sehingga manusia perlu dipersiapkan dengan mengajarkan kompetensi literasi media yang didalamnya termasuk pemahaman dan refleksi diri. Kini pandangan yang dominan cenderung bergeser dari pendekatan yang berbasis “inokulasi” atau pencegahan menuju pendekatan yang berbasis “pemberdayaan”.
Kompetensi Pendidikan Media
Berdasarkan kajian yang dilakukan pakar-pakar pendidikan media di berbagai negara, tujuan pendidikan media adalah mencapai literasi media yang berupa kemahiran. Komptensi media ini tercermin dari tujuan pendidikan media yang dilakukan di berbagai negara baik melalui jalur pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Hanya saja survei yang dilakukan Fedorov (2002) menunjukkan belum adanya keseragaman dan kesamaan pandangan atas tujuan pendidikan literasi media di berbagai negara di seluruh dunia. Namun sebagian besar responden yang merupakan pakar pendidikan media / literasi media dari berbagai negara menunjukkan bahwa tujuan literasi adalah “ mengembangkan pribadi otonom”.
Pengembangan pribadi otonom sebagai tujuan pendidikan media seperti yang diungkapkan Fedorov di atas pada dasarnya adalah kompetensi media. Menurut Gapski dan Gehrke (2002), kompetensi media adalah kemampuan individu untuk melihat dunia media secara kritis, reflektif, dan independen serta secara bertanggung jawab menggunakan media sebagai sarana ekspresi kreatif dan independen. Kompetensi media ini, kata Gapski dan Gehrke, merupakan keterampilan penting pada hampir semua bidang kehidupan, yaitu dalam bidang pekerjaan, pelatihan vokasional dan pemanfaatan waktu luang.
Kajian Schuldermann tentang kompetensi media ini menunjukkan, untuk kepentingan pendidikan media/literasi media, kompetensi ini dapat dideduksikan menjadi dimensi-dimensi sebagai berikut :
a. Mengenali, mengidentifikasi, dan mempengaruhi motif yang membawa orang mengkonsumsi media.
b. Mencermati secara kritis nilai-nilai, norma-norma, idola, dan stereotipe yang melekat dalam pesan-pesan media massa.
c. Menganalisis kondisi spesifik produksi dan efek media massa
d. Kemampuan memahami kode-kode dan format-format spesifik media massa.
Studi yang dilakukan Sen dan Hill (2002) menunjukkan bagaimana media massa di Indonesia bukan menjalankan peran merefleksikan realiatas, melainkan merepresentasikan realitas. Karena tidak merefleksikan realitas, namun merepresentasikan realitas, maka media di Indonesia dengan mudah menjadi alat kepentingan kekuasaan untuk merumuskan tentang realitas politik, kultural dan sosial Indonesia seperti yang dipikirkan pihak yang berkuasa dan bukan seperti yang dialami rakyat banyak. Apa yang diungkapkan Sen dan Hill tersebut sejalan dengan kajian yang dilakukan Keith Tester (2003). Media yang pada dasarnya mengandaikan terjadinya dialog antara konten media dan khalayaknya, tapi yang sesungguhnya terjadi adalah monolog antara media dan khalayaknya. Akibatnya, Khalayak media lebih banyak menerima konten media dibandingkan dengan melakukan dialog dengan konten media tersebut.
Catatan Penutup
Apa yang bisa kita dilakukan, t atkala tingkat literasi media masy arakat Indonesia masih belum begitu baik ? maka representasi media itu pun akan cenderung dipandang sebagai kebenaran. Tak ada lagi tersedia ruang untuk kritis membaca teks-teks representasi yang disampaikan media massa. Proses komunikasi yang dominatif makin menyuburkan peluang untuk memandang benar apa pun yang ditampilkan media. Bahkan khalayak pun cenderung berpandangan media sudah melakukan seleksi atas siapa yang akan ditampilkan melalui media. Dengan melupakan bahwa seleksi yang dilakukan media bukan seleksi yang kriterianya jelas, melainkan semata dengan menggunakan kriteria kepentingan ideologis ekonomi dan politik yang dianut media massa.
Perlunya upaya kita bersama, dalam bidang bidang dan profesi masing-masing di lingkungan keluarga, masyarakat dan tempat kerja untuk melakukan kegiatan pendidikan literasi media minimal secara fungsional untuk melahirkan daya kritis khalayak terhadap media. Daya kritis tersebut akan diperlukan untuk membangkitkan keberdayaan khalayak untuk tidak terjebak dalam permainan representasi media massa. Khalayak yang berdaya itu pada gilirannya akan mampu mengubah atau memperbaiki praktik representasi yang dilakukan media massa. Literasi Media juga diharapkan mampu mendorong media massa untuk bekerja berdasarkan kerangka kerja khalayaknya, bukan kerangka kerja media yang kerap memperdayakan, bukan memberdayakan, kahalayaknya.
Tanpa literasi media, menurut Yosal Irianto, kita saat ini yang hidup dalam dunia sesak media akan mejadi seperti riwayat pemuda yang ditidurkan di “Gua Kahfi” . Hanya saja, Gua Kahfi kontemporer adalah media massa yang membawa segala sesuatu ke ruang-ruang pribadi kita sehingga tidak perlu bersentuhan dengan realitas. Orang memandang dirinya sudah mengenal dan mengetahui realitas itu melalui representasi media yang memberikan realitas tangan kedua. Kita jadi ditidurkan oleh media yang memposisikan khalayak sebagai makhluk pasif dan dibiarkan untuk menikmati mimpi-mimpi yang diwujudkan secara visual dan tekstual oleh media.
Literasi media akan membangkitkan kesadaran pada diri khalayak bahwa media tidaklah menyampaikan segala sesuatu apa adanya. Melainkan disampaikan dengan mengikuti hukum-hukum yang berlaku dalam dunia media massa. Media Massa melakukan mediasi atas realitas sehingga realitas bukan saja lebih menarik tapi juga lebih indah atau lebih dramatis dari realitas yang sesungguhnya. Itulah representasi yang dilakukan media massa, yang prosesnya sangat banyak dipengaruhi kepentingan ideologis, kekuasaan politik atau ekonomi.
Wallahu’alam bishawwab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H