(9) belajar tapi tak pernah mau bertanya mengapa
Bahasa adalah unsur utama atau instrumen pokok dalam mengkonstruksi realitas. Keberadaan bahasa dalam media massa bukan lagi sebagai alat untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa juga menentukan citra yang akan muncul di benak khalayak. Penggunaan bahasa tertentu berimpilkasi menghasilkan makna tertentu. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas akan ikut menentukan bentuk konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya. Bahkan bahasa bukan cuma mampu mencerminkan realitas, tetapi dapat pula menciptakan realitas.
Media massa, menurut Stuart Hall, pada dasarnya tidak mereproduksi makna itu sendiri, melainkan menentukan (to define ) realitas melalui pemakaian kata-kata yang terpilih. Lebih lanjut Hall mengatakan : “ Makna tidak secara sederhana bisa dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan sosial (social struggle ), sebuah perjuangan dalam memenangkan wacana. Maka itu pemaknaan yang berbeda merupakan arena pertarungan tempat memasukkan bahasa didalamnya. Manakala bahasa digunakan oleh media massa, maka sebetulnya ia memiliki tanggung jawab yang lebih besar karena ketersebaran yang luas dalam menanamkan stereotip atau prasangka tertentu ( Hall, dalam Sobur, 2001:40) “.
Dalam pandangan Jalaludin Rakhmat, “Bahasa adalah ideology soaked . Dalam perumusan dan penyebaran ideologi peran bahasa sangat menentukan. Tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa ideologi membentuk dan dibentuk oleh bahasa. Dengan ideologi orang memberi makna pada realitas sosial. Untuk memudahkan penyimpanan, pemeliharaan, pengolahan, dan penyimpanan makna diperlukan bahasa. Pada gilirannya, bahasa tertentu—yang ditampakkan pada pemilihan kata dan kalimat—membentuk realitas sosial tertentu “.
Distorsi Peran Media
Adanya kebebasan terhadap media massa sejak adanya era reformasi, sepertinya belum secara langsung meningkatkan pelaksanaan peran media massa sebagai media informasi, pendidikan, kontrol sosial, dan hiburan. Bahkan peningkatan kuantitas dan kualitas media massa cetak dan elektronik justru cenderung mendorong terjadinya penyajian informasi yang cenderung membingungkan masyarakat. Jalaludin Rakhmat menggambarkan bahwa “Pers Indonesia di era reformasi bagaikan kuda lepas dari kandangnya, meloncat-loncat, berlari tanpa arah, dan mendengus-dengus ke mana saja, lebih dari itu banyak pengamat yang mengeluh, pers kini sudah banyak memberitakan apa saja kecuali yang benar”.
Atau dalam kata-kata Muis, “Pers telah membuat sensasional, pelintiran, kecemasan, provokasi dan kerawanan di tengah masyarakat. Karena media massa bukanlah institusi yang bebas, independen, tetapi memiliki keterkaitan dengan realitas sosial. Jelasnya, ada berbagai kepentingan yang bermain dalam media massa. Di samping kepentingan ideologi antara masyarakat dan negara, dalam diri media massa juga terselubung kepentingan yang lain, misalnya kepentingan kapitalisme pemilik modal, kepentingan keberlangsungan (suistainabilitas ) lapangan kerja para karyawan dan sebagainya. Di tengah-tengah, pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. yang menyebabkan bias peran media massa adalah sesuatu yang sulit dihindari.
Selain media massa Indonesia, media barat-pun tidak bisa lepas melakukan distorsi peran, dalam buku Islam and the West in the Mass Media: Fragmented Images in a Globalizing World , buku tebal yang dieditori Kai Hafez. buku tersebut mengkritisi fenomena pers barat, yang senantiasa berhidmat bagi upaya melanggengkan dominasi barat melalui jaringan media yang dimiliki. Barat disamping memiliki pasukan militer yang kuat dan politisi yang berpengaruh, juga memiliki basis ekonomi yang mapan. Dengan kekuatan ekonomi, mereka bisa membangun kekuatan suprastruktur dan jaringan infrastrukur untuk mempertahankan dominasi mereka. Sementara negara-negara islam dan Negara berkembang masih berjibaku menata kesejahteraan bangsanya, Barat telah jauh menginjak gelombang ketiga atau post industry yang kini tengah dinikmati dan dikendalikan barat dalam era informasi ini.
Lewat superioritas media massanya, Amerika telah mencekoki seluruh penghuni kampung global dengan berita-berita hasil ramuan dapur-dapur redaksi yang dikendalikannya. Melalui dapur-dapur redaksi tersebut, Amerika tidak henti-hentinya melakukan proses manipulasi pesan untuk memenuhi kepentingan politik, ekonomi, dan budaya, yang disebarluaskan ke berbagai kawasan negara, khususnya negara-negara pinggiran. Walhasil, gaya hidup Amerika kemudian menjadi acuan banyak orang di belahan dunia manapun. Identitas lokal seperti adat istiadat, norma, dan orientasi hidup yang demikian pluralis di berbagai kawasan dunia terkikis habis digantikan oleh budaya massa yang bersifat homogen dengan melihat Barat sebagai acuan budaya.
Jalaludin Rahmat, mengutip pandangan Noam Chomsky, sangat prihatin dengan rasionalitas manusia yang dikendalikan oleh kekuatan raksasa adikuasa. Pikiran manusia telah dikontrol oleh penggunaan kata-kata dan pemberian makna tertentu yang dintrodusir dan disebarluaskan media barat, yang disebutnya “the American Ideological System” . Chomsky menghimpun sejumlah kata dan ungkapan yang maknanya telah disimpangkan. Misalnya kata terorisme , yang dalam kamus adikuasa, adalah tindakan protes yang dilakukan oleh Negara-negara atau kelompok-kelompok kecil, seperti membunuh tiga orang Israel di Larnaka adalah terorisme, tetapi penyerbuan dan pengeboman sasaran sipil oleh tentara AS terhadap Negara yang tidak patuh terhadap AS, adalah tindakan mendahului (preemptive ). Ungkapan tatanan dunia baru (new world order ) dalam kamus adikuasa, maknanya adalah sistim ekonomi dan militer yang sepenuhnya tunduk pada hegemoni AS. Makanya ketika pesawat tempur AS membunuh rakyat sipil lebih dari setengah juta, dan jutaan lagi sesudahnya di Vietnam, Irak, Afganistan dan Negara lainnya, dimaknai Amerika sedang menegakkan tatanan dunia baru. Dan Chomsky mengajak kita untuk meninjau kembali ( rewrite ) kamus tersebut yang disebarluaskan oleh media dan seringkali juga diamini oleh media kita.
Lewat media massa, yang kemudian disebarluaskan oleh media Indonesia yang juga rajin menyajikan teori-teori intelektual barat, termasuk pikiran-pikirannya spontannya, yang banyak dikupas oleh ilmuwan Indonesia misalnya Samuel P. Huntington atau Francis Fukuyama , boleh jadi merupakan nama-nama yang “marketable ” di banyak perguruan tinggi di Indonesia. Banyak sarjana dan mahasiswa, termasuk intelektual muslim Indonesia, yang merasa bangga saat mendebatkan pikiran-pikiran mereka. Padahal, jika kita mengkritisi pemikirannya semisal Huntington dan Fukuyama yang sesungguhnya tidak mampu melepaskan diri dari persepsi dominan pemerintah negara-negara barat yang cenderung etnosentris terhadap negaranya dan mengedepankan sikap stereotif terhadap Islam. Meski Huntington sendiri juga banyak mendapat kritik dari para ilmuwan bahkan ilmuwan barat sendiri. Donald K. Emerson, misalnya, menyebut tesis Huntington tentang ”The Clash of Civilizations ” sebagai fantasi intelektual.