Kekuasaan politik yang militeristik tak terhindarkan berimbas juga terhadap pers tatkala Balatentara Jepang menduduki Indonesia (1942‑1945). Penguasa militer Jepang menempatkan shidooin (penasihat) di bagian redaksi dalam setiap surat kabar dengan tujuan untuk mengontrol media secara langsung.
Dalam alam kemerdekaan, PWI dalam kongresnya yang ke‑7 di Denpasar bulan Agustus 1 953, menuntut pemerintah supaya mengeluarkan Undang‑Undang Pers tapi baru tanggal 12 Desember 1966 lahir UU Pokok Pers No. 11/1966. Malahan sebelurn lahirnya UU ini, terlebih dahulu dikeluarkan peraturan yang berkenaan dengan pers oleh KSAD selaku Penguasa Militer pada 14 September 1956. Peraturan No. PKM/001/0/1956 itu sangat mirip dengan Haatzaai Arfikelen. PembatasanÂpembatasan terhadap pers justru semakin besar setelah diumumkan Keadaan Perang (SOB) tanggal 14 Maret 1957. Pemerintah terus membuat aturan yang berkenaan dengan pers melalui Peraturan Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) No. 10/1960 dan Penpres No. 6/1963 yang bisa dikatakan sebagai cerminan sikap politik pemerintah saat itu terhadap pers sampai dengan lahimya Orde Baru tahun 1965 .
Selain berhadapan dengan penguasa, relasi pers dengan kekuatanÂkekuatan politik. Dalam rentang antara tahun 1945‑1966 itu, dinamika pers Indonesia berubah‑ubah mengikuti perkembangan politik nasional. Sistem politik Indonesia setidaknya mengalami tiga bentuk. Periode 1945‑1955 adalah politik transisional. Untuk kehidupan pers masa ini merupakan saat Âsaat pembenahan, seperti pembentukan Departemen Penerangan, pendirian PWI, dan lembaga‑lembaga komunikasi lainnya.
Kebebasan pers bertambah besar ketika sistem politik beralih ke bentuk Demokrasi Liberal antara tahun 1955‑1959. Pada masa ini hampir setiap surat kabar memiliki hubungan tertentu dengan satu partai politik. Situasi ini paralel dengan perkembangan aliran‑aliran politik terutama Islam, Nasionalis, Kristen, dan Komunis, yang semenjak jaman penjajahan Belanda sudah mulai tumbuh.
Segera setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pemerintah pada tahun 1960 menetapkan 19 pasal peraturan mengenai penerbitan surat kabar. Ke‑19 pasal itu secara keseluruhan bersifat kewajiban pers, untuk mendukung politik pemerintah. Pers pada masa Demokrasi Terpimpin (1959‑1965), dijadikan alat politik oleh pemerintah otoriter ketika itu. (Suryomihardjo, dalam Hamad 2004:63)
Pengaruh kekuatan politik terus membayangi pers Indonesia setelah Orde Lama tumbang dan dimulainya Orde Baru. Tonggak politis yang pertama dari penguasa Orde Baru mengenai pers adalah UU Pokok Pers No. 11/66 jo UU No. 4/1967. Hanya saja dalam praktiknya justru banyak menimbulkan kontraversi akibat terIalu besarnya pertimbangan politik ketimbang penegakan perundangan itu sendiri. Sekalipun dinyatakan dalam UU Pokok Pers; ini tidak diperlukannya lagi Surat Izin Terbit (SIT), tetapi dalam pelaksanaannya muncul ketentuan agar setiap penerbitan pers harus mempunyai SIT dan Surat Izin Cetak (SIC). Pihak yang mengeluarkannya pun bukan Menteri Penerangan, tetapi Laksus Kopkamtib sebuah instrumen kekuasaan buatan Orde Baru. (Suryomihardjo, dalam Hamad 2004:63)
Dengan adanya dua surat izin ini penguasa Orde Baru sangat mudah memantau pers. Aturan SIC baru dicabut 3 Mei 1977 dengan alasan stabilitas keamanan nasional telah mantap setelah mendapat banyak protes. Kontraversi lainnya adalah mengenai pembreidelan yang sejak jaman kolonial jaman kemerdekaan menjadi ciri utama campur tangan kekuasaan terhadap pers. Dalam UU Pokok Pers itu dinyatakan: Terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan (pasal 4), namun menyusul pecahnya Peristiwa Malari 1978 sekurang‑kurangnya telah dibreidel 7 (tujuh) Surat kabar ibu kota
Peristiwa 15 Januari 1978, merupakan tonggak pengokohan dari pelaksanaan kekuasaan melalui mekanisme Bureaucratic Polity oleh penguasa Orde Baru, yaitu pemusatan kekuasaan di tangan segelintir elite setelah menghabisi semua kekuatan politik saingan. Gurita kekuasaan dari kelompok elite pada masanya (1978‑1998) ini sangat kuat dan menjangkau sernua sektor kehidupan tak terkecuali bidang komunikasi Kenyataan ini sejak peristiwa itu, penguasa Orde Baru dalam hal ini Soeharto ‑ relatif sendirian saja memerintah Indonesia, termasuk mengendalikan media massa, sampai ia dijatuhkan oleh Gerakan Reformasi tahun 1998. (Jackson,dalam hamad, 2004:64)
Sejak kekuasaan orde baru runtuh, kehidupan pers Indonesia menampakkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Seiring adanya perubahan pola kekuasaan, pada awal pemerintahan Presiden B.J. Habibie melalui Mentri Penerangan, Yunus Yosfiah, yang telah mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 01 Tahun 1998 yang menyatakan mencabut Peraturan Mentri Nomor 01 tahun 1984. Dunia pers nasional dapat lebih bebas dalam menjalankan visi dan misinya, iklim keterbukaan yang diberikan oleh Pemerintahan Habibie melalui Undang-Undang Pokok Pers Nomor 40 tahun 1999.
Regulasi Pers yang baru, pada era reformasi telah membuat dinamika pers menjadi lebih bergairah. Dengan demikian, pers nasional memperoleh kebebasan melakukan pengumpulan berita (news gathering ), pengolahan berita (news editing ), dan penyajian bahan berita (news presenting ) serta kebebasan dari berbagai tekanan dan ancaman pihak luar saat melaksanakan fungsi jurnalistik. Seperti halnya legislatif yang secara nyata menjadi kekuatan demokrasi, institusi pers nasional juga kemudian muncul menjadi salah satu kekuatan baru yang lebih nyata dalam tatatanan infrastruktur perpolitikan nasional maupun dalam kehidupan masyarakat di semua tingkatan.
Kenyataan-kondisi kondusif semacam ini, langsung disikapi oleh penerbitan pers dengan melakukan penyesuaian gaya, corak dan pengumpulan, pengolahan dan penyajian berita. Dengan adanya kebebasan masyarakat dalam berserikat dan menyatakan pendapat, maka dunia penerbitan pers mulai menyajikan berita-berita yang mengandung pro dan kontra, kritik, dan fakta yang ada pada kekuasaan yang tidak sesuai dengan demokrasi, dan berbagai penyimpangan yang timbul di pemerintahan.