Kedua, terjaminnya plurality of ownership pluralitas kepemilikan media merupakan hal yang sangat penting, karena setiap kepemilikan yang berbeda mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap perspektif isi media. Ketiga, terjaminnya diversity of information available to public, keragaman informasi yang disediakan untuk khalayak yang berbeda, baik karena perbedaan kategori sosial, berdasarkan perbedaan demografis, psikografis, teknografis maupun geografis.
Keempat, terjaminnya diversity of ekspression of opinion , yaitu system media yang memungkinkan setiap komponen masyarakat mendapatkan akses yang kurang lebih sama. Hal ini diperlukan agar suara minoritas secara sosial dan politik tidak termarginalkan. Sekaligus dalam rangka mengeliminir konflik dengan upaya membangun saling pengertian diantara seluruh komponen yang ada.
Kelima, tercapainya kondisi extensive reach, yaitu system media massa yang mampu menjangkau khalayak yang luas, tidak ada lagi blakspot, atau wilayah yang terlayani media massa. Sekaligus dalam rangka mencegah adanya ketertutupan kelompok kelompok yang tidak terjangkau media dari informasi yang bermanfaat bagi mereka.
Keenam, terwujudnya quality of information and culture available to public . Tuntutan agar media massa menyajikan informasi yang dapat dipertanggung jawabkan kualitasnya yang mengacu kepada adanya kode etik dalam menjalankan jurnalisme media yang hendaknya bersifat objektif, maksudnya terdapat akurasi, jujur, cukup lengkap, sesuai realitas, teruji, dan memisahkan fakta dengan opini. Informasi yang disajikan juga harus bersifat tidak memihak (impartial ), melaporkan dengan lebih dari satu perspektif, dengan cara yang tidak sensasional dan bias.
Ketujuh, terciptanya komitmen media untuk support for the democratic political system . Sebagaimana kita ketahui bahwa demokrasi Indonesia sedang mencari bentuk, dengan trial and error . Dalam eksperintasi politik yang demokratis memerlukan waktu yang cukup lama sampai pada bentuk system politik yang lebih solid, agar jangan sampai terjadi set-back pada format lama . Disini perlunya media sebagai mendorong proses demokratisasi, termasuk mendorong perubahan-perubahan yang lebih reformatif.
Kedelapan, media massa harus respek pada yudisial system , menghargai system hukum, sekaligus mensosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya penegakan hukum, termasuk tidak mempengaruhi jalannya peradilan dan menjungjung tinggi azas praduga tak bersalah dalam isi medianya disini pentingnya media menegakan code of conduct yang berlaku secara spesifik maupun universal. Disampng media juga menyuarakan pentingnya legal action , untuk menyelesaikan sengketa masyarakat.
Kilas Balik Peran Pers Indonesia
Untuk pertama kalinya bangsa kita berkenalan dengan dunia pers, ketika Belanda melalui Vereenigde Oost‑Indische Compagnie, (VOC) yang memulai penjajahannya di Tanah Air, dan sejak awal lahirnya, langsung berhubungan dengan kepentingan‑kepentingan politik. Upaya pertama untuk menerbitkan Surat kabar di Batavia (sekarang Jakarta) terjadi tahun 1712, tetapi pemerintah VOC melarangnya. Alasannya, pemerintah takut saingan VOC akan memperoleh keuntungan dari berita dagang yang dimuat koran itu.
Ketika pemerintahan "liberal" berada di bawah Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron Von Imhoff, tahun 1744 terbit mingguan Bataviase Nouvelles di Jakarta. Sekalipun telah menunggu 32 tahun sejak tahun 1712, toh penerbitan itu hanya bisa bertahan kurang lebih dua tahun hingga Juni 1746 setelah para direktur VOC di Negeri Belanda melarang Surat kabar tersebut dengan alasan penerbitan itu telah menimbulkan akibat‑akibat yang membahayakan di Negeri Belanda. dan dalam beberapa kasus lain lebih disebabkan sentimen pribadi sang penguasa. Begitu ketatnya pengawasan oleh pemerintah kolonial, pada masa itu terkenal ungkapan, "seorang redaktur di daerah jajahan ini selalu bekerja dengan satu kakinya di penjara". (Smith, dalam Hamad, 2004:59)
Jika belanda menjadikan politik sebagai alat pengekang pers, namun justru tekanan politik itulah yang menjadi daya dorong pertumbuhan pers Indonesia “Perasaan nasionalisme Indonesia-lah, dorongan untuk merdeka dari Belanda, yang memberi dorongan kepada pers Indonesia (Suryomihardjo, dalam Hamad 2004:61) Pada awal abad ke‑20 itu, perjuangan politik kaum Bumi Putera memang mulai merebak, tak terkecuali mereka menggunakan pers sebagai alat perjuangan. Sekalipun Surat kabar Indonesia, Bromartini, sudah terbit tahun 1855, tetapi usaha menjadikan pers Indonesia sebagai alat perjuangan nasional terjadi setelah sejumlah organisasi politik tumbuh, seperti Boedi Oetomo(1908), indische Partij(1911) S arekat Islam (1912), Perhimpunan Indonesia (1922), Partai Komunis Indonesia (1926), dan Partai Nasional Indonesia (PNI). (Suryomihardjo, dalam Hamad 2004:61)
Selain menjadi wadah para tokoh organisasi politik menyuarakan gagasan Âgagasannya, saratnya muatan politis dari persurat‑kabaran Indonesia pada masa itu juga tampak dari nama‑nama yang disandangnya yang mencerminkan sikap perjuangan nasionalisme, seperti Suara Kemerdekaan, Suara Berjuang, Benih Kemerdekaan. Nama Kemadjuan Hindia dirubah menjadi Kemadjuan Indonesia. 13 Dari 107 Surat kabar dan majalah, yang terbit sekitar tahun 1920 corak Surat kabar atau majalah Indonesia digolongkan menjadi nasionalis, liberal, radikal, dan komunis, disamping ada yang bercorak netral, politik, dan sekedar dagang berita. JudulÂ-juduinya pun menarik perhatian, banyak yang memakai kata "sinar", "Jong", "kebangoenan", "baroe", dan sebagainya".