Mohon tunggu...
Manal Ilham Al Mazid
Manal Ilham Al Mazid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Keluarga Islam UIN Raden Mas Said Surakarta

Merupakan mahasiswa dari Program Studi Hukum Keluarga Islam di UIN Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Book

Review Book: Hukum Perdata Islam di Indonesia Aspek Hukum Keluarga dan Bisnis

9 Maret 2023   19:45 Diperbarui: 13 Desember 2023   01:42 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BOOK REVIEW 

Judul                : Hukum Perdata Islam Di Indonesia - Aspek Hukum Keluarga dan Bisnis

Penulis           : Dr. H. A. Khumedi Ja'far, S.Ag., M.H

Penertbit       : Gemilang Publisher Surabaya

Terbit              : 4 September 2016

Cetakan          : Keempat, 5 Septermber 2019

Buku yang ditulis oleh Dr. H. A. Khumedi Ja'far, S.Ag., M.H yang berjudul "Hukum Perdata Islam Di Indonesia - Aspek Hukum Keluarga dan Bisnis". Menguraikan dan mengulas dengan lengkap dan merinci mulai dari sejarah terbentuknya hukum perdata islam, pengertian serta ruang lingkup hukum perdata islam. Inti dari pembahasan buku ini adalah menjelaskan mengenai hukum yang mengatur pada aspek hukum keluarga yang membahas mulai dari hukum perkawinan, hukum perceraian, hukum kewarisan, hukum wasiat hingga hukum perwakafan. Dan juga membahas mengenai hukum yang mengatur Bisnis seperti hukum jual beli, hukum utang piutang, hukum sewa menyewa, hukum upah mengupah, hukum syirkah, dan hukum muzaraah serta mukhabarah.

Masalah perdata mengenai hukum keluarga dan bisnis sangat penting untuk diketahui dalam kehidupan, karena hal itu merupakan aturan yang akan membawa kita pada kemaslahatan bersama. Hukum perdata dalam fiqh islam dikenal dengan istilah fiqh muamalah. Fiqh muamalah adalah aturan atau ketentuan dalam hukum islam yang mengatur hubungan antar orang-perorangan seperti yang telah disebutkan diatas.

Penulis membagi kajian buku ini menjadi tiga belas Bab (Hlm: 10). Tujuan penulis membagi menjadi 13 bab adalah agar mememudahkan pembaca untuk mempelajari semua aspek yang harus diketahui dalam hukum perdata tentang hukum keluarga dan hukum bisnis secara lengkap dan terperinci. Yang diawali dengan sejarah terbentuknya hukum perdata di Indonesia.

Penulisan buku ini juga dimaksudkan sebagai pegangan bagi para mahasiswa, dan dosen, khususnya dilingkungan Fakultas Syariah dan hukum, juga bagi para pembaca umumnya. Mengapa demikian karena literatur tentang keperdataan khususnya dalam aspek islam seperti hukum keluarga dan hukum bisnis yang beredar di kalangan masyarakat masih relatif terbatas. Diharapkan buku ini dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai hukum keperdataan.

Lahirnya hukum perdata tidak akan terlepas dari kodrat manusia yang selalu membutuhkan bantuan antar satu dengan yang lainya atau bisa disebut makhluk sosial. Hubungan ini terjalin sejak lahirnya manusia ke bumi hingga meninggalnya manusia.  Dimana interaksi ini terjadi antara seorang laki-laki dengan sesamea gendernya, perempuan dengan sesama gendernya, dan seorang laki-laki dengan perempuan. Dengan begitu terciptalah perkawinan. Hubungan tersebut haruslah diatur dalam hukum yang dianut dari segi agama maupun dari hukum undang-undang dan hukum adat yang dijadikan sebagai dasar moralitas dalam sebuah masyarakat.

Untuk mengetahui kondisi hukum perdata islam di Indonesia sekarang ini, penting pula mengetahui secara historis riwayat terbentuknya hukum perdata di indonesia ini. Secara historis hukum peradata di Indonesia tidak lepas dari zaman penjajahan dahulu (belanda) yang menggunakan politik Hindia-Belanda terhadap hukum di Indonesia.

Sejarah keperdataan islam di Indonesia pada awalnya berbeda-beda dalam pemberlakuannya, karena yang bertempat tinggal di Indonesia tidak hanya warga pribumi namun juga banyak warga asing. bagi warga asli Indonesia atau pribumi diberlakukan hukum adat, bagi warga yang berasal dari tionghoa dan Eropa berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlujk Wrboek) dan Kitab Undang-Undang Dagang (wetboek van Koophandel), dan bagi warga selain pribumi dan tionghoa seperti Arab, India dan sebagainya berlaku hukum Burgerlijk Wetboek namun hanya sebagian yaitu pada hukum kekayaan harta benda (vermogensrecht) (Hlm. 7).

Pada masa penjajahan Hindia Belanda terdapat hukum yang dibuat khusus untuk rakyat Indonesia atau pribumi yaitu seperti: Ordonansi Perkawinan bangsa Indonesia Kristen, Ordonansi tentang Maskapai andil Indonesia atau I.M.A, dan Ordonansi tentang Perkumpulan bangsa Indonesia. Dan peraturan yang berlaku untuk semua golongan warga negara adalah seperti: Undang -- UndangHak Pengarang, Peraturan Umum tentag Koperasi, Ordonansi Woeker, dan Ordonansi tentang Pengakutan di Udara (Hlm. 9).

Masyarakat Indonesia kental akan hukum budaya atau hukum adat, karena sudah menjadi hukum yang turun temurun disetiap generasi sehingga menjadi hukum dalam kehidupan masyarakat yang dipandang sebagai prinsip dibandingkan dengan hukum lainnya yang bukan hukum adat. Namun hukum yang terjadi di masyakarat (Hukum Adat) hanya sebagai pengikat ketertiban bersosial yang tidak bisa melebihi hukum positif yang menjadi undang-undang. Dapat terjadi bilamana hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan undang - undang hukum positif.

Setelah Indonesia terbebas dari penjajahan atau merdeka dan berkuasa penuh, struktur politik yang sebelumnya dipegang oleh Hindia -- Belanda beruah hsampai akar-akarnya. Namun hukum yang terjadi tidak merata dikarenakan ada warga Indonesia yang masih tinggal di perdesaan dan menggunakan hukum adat.

Pada Bab selanjutnya yaitu Bab II hingga BAB XIII, menjelaskan unsur dari keperdataan seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf kedua dalam tulisan ini. Unsur dari keperdataan tersebut seperti pengertiannya, macam-macamnya, rukun dan syarat, akibat dan juga manfaat dari keperdataan. Berikut penjelasan singkat yang dibahas pada buku ini.

Pada Bab II (hal 27-31), Perkawinan dalam islam disebut akad, karena membentuk ikatan yang kuat untuk memenuhi perintah dan beribadah kepada allah. Dalam Bahasa istilah Bahasa arab yaitu al=nikah yang bermakna al-wathi dan al-dammu wa al-tandakhul yang memiliki makna, berkumpul, bersetubuh dan akad. Dalam majaz disebut akad, Itulah sebab diperbolehkannya bersenggama.

Sementara dalam perspektif sosiologis adalah pertukaran hak dan kewajiban sepasang suami istri yang memiliki latar belakang sosial-budaya, keinginan dan kebutuhan yang berbeda yang kemudian dirundingkan dan disepakati bersama. Disimpulkan bahwa dapat terjadi apabila ada kesepakatan bersama untuk menjalin bahtera rumah tangga.

Tujuan dari pernikahan yaitu membentuk rumah tangga yang Sakinah, Mawadah dan Rohmah berdasarkan YME, suatu jalan untuk mengatur tumah tangga dan keturunan, serta membentuk tali ikatan antara suami serta kerabatnya dan istri serta kerabatnya untuk tolong - menolong.

Pada Bab III (hal 38 - 48), menjelaskan tentang perceraian. perceraian didalam islam disebut dengan talaq, yaitu Tindakan yang dilakukan oleh suami kepada istri untuk bercerai dan hanya bisa diucapkan oleh suami dalam pernikahan yang sah, baik talak satu, dua dan tiga. Dalam perpektif yuridis diartikan sebagai putusnya perkawinan berdasarkan putusan hakim yang berwenang karena tuntutan salah satu pihak dari dari suami dan istri dengan berdasarkan peraturan perundang-perundang.

Terjadinya putus perkawinan selalu ada alasan -- alasan yang dituntut. Masalah perkawinan ditinjau dalam yuridis diatur dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan dijelaskan pada Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974 dan Nomor 3019. Dan putusnya perkawinan diataur pada Bab VIII Pasal 38 sampai Pasal 41 dan tata cara perceraian di atur Undang-Undang pada peraturan Nomor 9 Tahun 1975 (Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan / UUP)

Dalam pasal 39 ayat (1) disebutkan bahwa perceraian memiliki beberapa aturan, yaitu perceraian hanya dapat dilaksanakan di depan sidang pengadilan, harus memiliki alasan yang konkrit, dan tatacarnya diatur di dalam peraturan perundangan tersendiri.

Pada penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang Undang Perkawinan (UUP) terdapat alasan dan sebab terjadinya putusnya perkawinan yaitu, salah satu pihak berzina atau menjadi pemabuk, penjudi dan sebagainya, salah satu pihak lari dari tanggung jawab menafkahi selama dua tahun berturut-turut tanpa alasan, salah satu pihak dipenjara selama 5 tahun, salah satu pihak cacat badan atau memiliki penyakit sehingga tidak bisa melaksanakan kewajiban masing-masing, dan salah satu pihak melakukan kekerasan atau penganiayaan.

Putusnya perkawinan dapat terjadi karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan (Pasal 38 UU Perkawinan). Dalam ikatan setelah perkawinan setiap rumah tangga selalu ada lika-liku yang menyertainya, faktor putusnya perkawinan dapat terjadi karena tidak harmonisnya keluarga, krisis moral dan akhlak, perzinaan, dan pernikahan yang dilakukan niatnya bukan karena cinta dan beribadah.

Selain faktor yang telah disebutkan diatas, perceaian dapat terjadi juga apabila usia kedua belah pihak belum cukup, adanya perbedaan sosio emosional yaitu seperti mengalami stress, adanya sejarah dari keluarga, maksudnya keluarga dahulu cenderung mengalami perceraian sehingga kaeturunannya akan mengikuti hal tersbut.

Perceraian merupakan Tindakan yang dibenci oleh Allah SWT, salah satunya karena akan berdampak pada banyak hal, seperti dampak pada anak-anaknya berakibat stress, perubahan fisik dan mental, trauma dan dari segi psikis akibat kurangnya perhatian orangtua, terhadap harta bersama (gono gini), dan terhadap muth'ah.

Pada Bab IV (hal 57 -- 67), menjelaskan mengenai kewarisan. Kewarisan yaitu harta yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli waris dan akan diberikan setelah meninggalnya seorang pewaris. Dalam islam pembagian warisan dibagi sesuai dengan jatahnya masing-masing, yaitu menetapkan angka-angka seperti , , 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6 yang di atur pada surah al-Nisa' (7-14, 33 dan 176) dan surah al-A'raf (75).

Dalam hak waris pada buku ini juga dijelaskan adanya sasas -- asas keadilan diantaeperti ranya asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas semata akibat kematian. Secara umum bagian hak waris antara laki-laki dan perempuan berbeda. Laki-laki mendapatkan lebih banyak daripada perempuan karena laki-laki dibebandi tangung jawab yang lebih besar seperti memberi nafkah dan sebagainya. Dan perempuan tidak memiliki tanggung jawab seperti laki-laki karena ia pasti akan dinafkahi Ketika sudah menikah dan akan mendapatkan mahar. Pada surah al-Nisa ayat 11 dijelaskan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1 (laki-laki adalah dua kali dari perempuan).

Dalam islam orang yang tidak akan menjadi ahli waris adalah orang yang berbeda agama ataupun ataupun orang yang murtad.

Pada Bab V (hal 75 -- 78), Wasiat yaitu pesan dari pewaris sebelum meninggal kepada orang lain, dan akan dilaksanakan setelah pewaris meninggal. Secara Bahasa wasiat adalah pesan sedangkan secara terminologis adalah pesan untuk kebaikan dan akan dilaksakan setelah meningganya si oleh pemberi pesan.

Dalam wasiat selain unttuk ahli waris besaran harta tidak boleh melebihi sepertiga harta bendanya dan disepakati oleh ahli waris yang lain dan wasiat ini tidak untuk orang selain beragama islam (jumhur ulama). Dasar hukumnya adalah surah al-Maidah (106) dan Hadis Kudsi tentang harta yang diperlakukan khusus kepada seorang dengan jalan wasiat untuk membersihkan dari dosa dan doa seorang unruk seorang yang telah wafat.

Pada Bab VI (hal 81 -- 85), Waqaf yaitu memberikan sejumlah harta kepada orang lain (nazir) untuk di Kelola dan diberikan kepada orang yang berhak mendapatknya dengan manfaat sebagai wujud dari amal dan untuk beribadah kepada Allah. Kata wakaf dalam etimologis berasal dari arab (waqafa, yaqifu, waqfan) yang artinya menahan, diam di tempat dan berhenti. Sedangkan dalam terminologis yaitu menahan suatu benda yang sifatnya kekal dan diambil manfaatnya untuk beribadah.

Dasar hukumnya adalah al -- Hajj (77), al-Imran (92), al-Baqarah (261), dan juga hadis nabi dari Riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan Riwayat Muslim dari Ibn Umar tentang waqaf. Dijelaskan pada ayat dan hadis tersebut bahwasanya hukum dari waqaf yaitu dalam wilayah ijtihadiyah karena doktrin ajaran waqaf belum jelas dan tegas perintah anjurannya. Namun secara umum, waqaf sangat dianjurkan karena berkaitan dengan kebaikan untuk kepentingan umum.

Waqaf dibagi menjadi dua yaitu waqaf ahli (keluarga) dan waqaf Khairi (umum). Waqaf ahli adalah waqaf yang diberikan kepada orang-orang tertentu seperti keluarga si wakif atau bukan. Dasar hukum ini mengacu pada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Annas bin Malik dijelaskan bahwa Abu Thalhah mewakafkan hartanya kepada keluarga dan kerabatnya. Wakaf ini disebut juga sebagai wakaf zurri atau kerabat.

Sedangkan wakaf Khairi atau wakaf yang bersifat umum. Yaitu wakaf yang diberikan untuk kepentingan umum. Contoh dari wakaf ini seperti mewaqafkan sebidang tanah untuk dibangun masjid, sekolah, Lembaga dakwah, panti asuhan, rumah sakit dan sebagainya. Jenis waqaf ini mencangkup semua aspek kehidupan semua manusia.

Buku ini juga menjelaskan bagaimana cara pengelolaan dan pengembangan asset waqaf. Bahwasanya pengelolaan dan pengembangan waqaf ini diatur oleh Undang -- Undang No. 42 Tahun 2006 mengenai Pelaksanaanya. Undang -- undang ini digunakan sebagai acuan dan pedoman bagi setiap Lembaga dan Badan waqaf Indonesia (BWI) yang tersebar di Indonesia.

Problematika yang dialami dalam perwaqafan di Indonesia masih dilakukan secara tradisional-konsumtif dan pelaksanaanya masih salah kaprah juga masih terbatas pada benda mati dan belum ke benda bergerak. Problematika yang dimaksud adalah (1) sebagai Lembaga nazir belum berfungsi dengan optimal, karena posisi sebagai nazir hanya dianggap sebagai Sumber Daya Manusia (SDM) yang ikhlas lilahi ta'ala. Dimana para nazir tidak digaji dan tidak sejahtera, juga para nazir dalam bekerja kualitasnya ridak memenuhi syarat sehingga tidak mampu mengelola dan memberdayakan harta benda waqaf yang telah dikumpulkan. (2) dilihat dari para nazir yang telah dijelaskan bahwasanya harta waqaf tidak terkelola dengan benar, meskipun waqaf ini bernilai ekonomis yang tinggi untuk dikembangkan, namun dengan keterbatan SDM tersebut waqaf belum berdampak pada kesejahteraan umat.

Pada Bab VII (hal 99 -- 118), menjelaskan tentang jual beli. Jual Beli disini diartikan sebagai akad tukar menukar barang atau barang dengan uang dengan atas dasar merelakan sesuai hukum islam. Dalam etimologi diartikan sebagai pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain) kata lain dari ba'i (jual beli) adalah al-tijarah yang berarti perdagangan. Sedangkan dalam istilah yaitu pertukaran harta dengan harta(yang lain) untuk kepemilikan.

Buku ini menyebutkan Rukun dalam jual beli yaitu: (1) Penjual, sebagai pemilik harta atau barang yang akan dialihkan haknya kepada seorang pembeli dalam transaksi, (2) Pembeli, sebagai orang yang paham dan cakap dalam membelanjakan hartanya (uang) (3) Barang yang dijual, yaitu sesuatu yang diperbolehkan oleh syara' untuk dijual dan diketahui sifatnya oleh pembeli, (4) Shighat atau ijab qabul, yaitu sebagai akad atau persetujuan dari pihak penjual dengan pembeli untuk menyerahkan barang, baik dengan transaksi lisan maupun tulisan.

Sedangkan syaratnya dijelaskan sebagai berikut: (1) berakal, yaitu orang yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya, oleh sebab itu jika salah satu pihak tidak berakal maka hukum jual beli tidak sah, (2) Bukan paksaan, didalam jual beli tidak boleh ada unsur paksaan, sehingga dalam transaksi harus sesuai dengan kehendaknya sendiri atau suka sama suka, (3) kedua belah pihak tidak mubazir, karena apabila boros atau mubazir disebut sebagai orang yang tidak cakap dalam bertindak, (4) Baligh, dalam fiqih orang yang disebut baligh adalah yang berumur minimal 15 tahun bagi laki-laki dan bagi perempuan adalah setelah haid. Oleh sebab itu transaksi yang dilakukan oleh anak-anak adalah tidak sah hukumnya karena mereka belum baligh atau belum bisa membedakan mana yang baik dan buruk bagi mereka.

Dan dijelaskan juga dalam buku ini barang yang sah dalam jual beli harus memenuhi syarat-syarat  transaksi dalam islam, yaitu sebagai berikut: (1) suci, yaitu barang yang tidak mengandung atau digolongkan dalam barang yang haram dan najis, namun najis disini yaitu najis seperti minuman alkohol dan bangkai. (2) barang tersebut ada manfaatnya, maksudnya barang yang dijual belikan seperti barang yang dapat dikonsumsi seperti ue, beras, ikan, buah-buahan dsb. Dan  juga barang yang dapat dinikmati seperti lukisan, kaligrafi, dan sebagainya dan barang yang dapat dinikmati suaranya seperti televisi, radio, kaset dsb. Dengan demikian barang yang ada manfaatnya adalah barang tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syariat islam. (3) barang yang dijualbelikan adalah barang kepunyaan yang melakukan akad, maksudnya adalah barang tersebut adalah dari pemilik yang sah, tidak barang curian. (3) barang yang dijualbelikan adalah barang yang dapat diserahkan, maksudnya adalah barang tersebut bebas dari penggadaian atau diwakafkan atau juga dalam keadaan disewa. (4) barang yang dijuabelikan barang yang jelas sifatnya, maksudnya adlaah diketahui banyaknya, beratnya, kualitasnya dan sebagainya, karena jika dalam keraguan barang tersebut tidak sah dan akad dianggap sebagai penipuan. (5) barang yang dijualbelikan tidak boleh barang yang dita'wilkan, maksudnya adalah tidak boleh dikaitkan atau digantungan akan sesuatu, seperti: barang ini akan saya jual apabila saudara saya meninggal dunia.

Dalam melakukan jual beli haruslah adanya akad yaitu lafadz ijab qabul dari perkataan kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli. Disebutkan dalam buku ini haruslah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, yaitu sebagai berikut: (1) tidak ada yang memisahkan antara penjual dan pembeli maksudnya adalah setelah penjual menyatakan ijabnya pembeli haruslah menjawab ijab tersebut. (2) dalam ijab tidak boleh diselangi kata kata lain, (3) harus ada kesesuain dalam melaksanakan ijab qabul, maksudnya ijab qabul harus barang A bukan barang B, (4) ijab dan qabul harus jelas dan legkap, maksudnya adalah tidak meniimbulkan kesalahpahaman diantarabpenjual dan pembeli, dan (5) ijab dan qabul harus dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Jual beli yang dilarang adalah jual beli yang dilakukan oleh: (1) orang gila, karena dianggap tidak berakal, (2) anak kecil, karena bekum memenuhi sharat baligh, (3) orang buta, karena mereka tidak dapat melihat barang tersebut sehingga tidak tahu barang tersebut dalam keadaan baik atau buruk, (4) fudhul, karena jika tidak seizin pemiliknya dianggap sebagai barang curian, (5) terhalang oleh sesuatu (sakit, bodoh, atau boros), karena orang tesebut dianggap tidak cakap melakukan jual beli, (6) malja', maksudnya adalah tidak dalam bahaya, karena dipandang oleh para ulama jual beli yang tidak umum.

Sedangkan dalam segi barang yang dijual belikan ridak boleh mengandung unsur sebagai berikut: (1) tidak diperbolehkan apabila tidak jelas barangnya atau barang tersebut bersifat samar (gharar), (2) yang tidak dapat diserahkan barangnya, maksudnya adalah seperti ikan yang terdapat pada kolam atau burung yang ada di udara, (3) bersifat majhul, yaitu barang yang sifatnya tidak jelas, seperti singkong di dalam tanah, atau buah-buahanyang sifatnya masih dalam bentuk bunga, (4) jual beli sperma biantang, (5) bersifat najis, (6) jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan, (7) jual beli muzabanah, yaitu eperti padi basah dengan padi kering karena akan merugikan pemilik padi kering (8) jual  beli muhaqallah yaitu tanaman yang masih di ladang atau sawah, (9) jual beli mukhadarah, yaitu buah yang belum pantas dipanen, (10) jual beli mulammasah, yaitu sekali menyentuh barang tersebut wajib membelinya (11) jual beli munabadzah, yaitu seperti membeli tanah dan kemudian ia membeli tanah tersebut sesuai dengan lemparannya.

Didalam jual beli terdapat khiyar, yaitu unsur kebebasan yang dimiliki oleh penjual dan pembeli dalam akad untuk membatalkannya. Khiyar terbagi menjadi tiga, yaitu khiyar majelis (keduanya belum berpisah), khiyar syarat (seperti ada tenggang waktu), dan khiyar aib (terdapat cacat).

Manfaat dari jual beli yang dijelaskan pada buku ini adalah seperti: (1) adanya rasa puas antara kedua belah pihak karena dilakukan suka sama suka, (2) dapat menjauh dari barang batil, (3) memberi nafkah bagi keluarka dari hasil yang halal, (4) dapat ikut memenuhi hajat masyarakat, (5) dapat terciptanya hubungan silaturrahmi dan sebagainya.

Pada Bab VII (hal 119 -- 135), menjelaskan tengan hukum utang piutang. Utang piutang adalah memberikan berupa uang atau benda dengan perjanjian yang telah disepakati bersama, dengan ketentuan yang dipinjami harus mengembalikan uang atau barang tidak lebih dan tidak kurang. Dasar hukumnya sunnah namun bisa wajib apabila sangat membutuhkan, dijelskan pada dalil surah al-Maidah (2) dan Hadis Riwayat Bukhori dan Muslim. Hukum yang menghutangi sunnah dan yang berhutang mubah.

Dijelaskan juga sahnya utang piutang apabila memenuhi Rukun dan syaratnya, yaitu: (1) orang pemberi hutang dan haruslah baligh dan berakal, (2) orang yang berhutang juga harus cakap (baligh dan berakal),(3) objek barang, yaitu dapat diukur dengan diketahui jumlahnya atau nilainya, dan (4) lafadz (ijab qabul), yaitu pernyataan kedua belah pihak baik dalam tulisan maupun lisan.

Dibuku ini juga lebih diperjelas bagaimana apabila membayar hutang namun dalam pembayarannya dilebihkan, maka dijelaskan dalam buku ini apabila membayar hutang lebih tersebut tidak didasari oleh perjanjian namun beri'tikad untuk kebaikan maka hukumnya boleh, dan apabila didasari perjanjian maka hukumnya dilarang karena dianggap mengambil keuntungan dan sifatnya adalah termasuk riba.

Dan dalam pelaksanannya pihak yang berhutang menunda bayar hutang adalah perbuatan dzalim padahal ia mampu membayarnya. Dalam sitem perhutangan, pemindahan utang diperbolehkan (hiwalah) asal atas persetujuan, dasar hukumnya dalah hadis Riwayat ahmad tentang hiwalah.

Dalam berhutang juga terdapat sisi negatifnya, yang dijelaskan dalam buku ini yaitu: (1) membuat hidup tidak tenang, (2) dapat mengganggu nama baik keluarga karena seringnya ditagih, (3) utang yang lama dibayar berdampak sakit hati, (4) dapat berkemungkinan mendapat musibah, karena pihak berhutang tidak membayar htang dan yang menghutangi bisa saja berbuat nekat, dan sebagainya.

Pada Bab IX (hal 137 -- 139), Hukum Sewa Menyewa adalah memberikan suatu barang kepada penyewa untuk diambil manfaatnya dengan akad bersama dan penerima memberikan bayaran atau imbalan berdasarkan rukun dan syarat tertentu. Menurut etimologi diartikan sebagai ganti dan upah sedangkan alam terminology diartikan sebagai Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan. Dasar hukumnya adalah hadis Riwayat ahmad dan abu daud tentang sewa menyewa.

Dalam melaksanakan sewa-menyewa harus memenuhi rukun dan syaratnya yaitu: (1) orang yang menyewa haruslah baligh, berakal dan tanpa paksaan, (2) penyewa juga haruslah baligh, berakal dan tanpa paksaan, (3) objek barang haruslah jelas jenisnya, kadarnya, an sifatnya, (4) imbalan, dimana haruslah diketahui jumlah uang sewanya, tidak berkurang nilainya dan mebawa kebermanfaatan, dan (5) ijab qabul.

Dalam buku ini diperjelas kembali dalam pelaksanaan sewa menyewa barang sewaan hukumnya boleh apabila atas persetujuan bersama dan tidak melanggar akad. Apabila melanggar maka boleh dibatalkan. Dan batalnya suatu sewa menyewa adalah terjadinya kecacatan barang, rusaknya barang, waktu sewa telah habis, dan adanya adanya uzur. Apabila salah satu pihak meninggal tidak membatalkan perjanjian.

Bagaimana dengan manfaat dari akad sewa menyewa. Buku ini menjelaskannya seperti : (1) bisa ikut memenuhi hajat orang lain, (2) terciptanya sikap tolong menolong, (3) mempererat silaturahim, dan sebagainya.

Pada Bab X (hal 141 -- 147), menjelaskan megenai hukum upah mengupah. Upah mengupah dalam etimologi diartikan sebagai imbalan atau penggantu sedangkan etimologi yaitu mengambil manfaat dari orang lain dengan memberi imbalan sesuai dengan syarat-syarat tertentu. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa utang piutang adalah memberikan upah kepada seseorang yang telah diperintahkan dan sebagai gantinya yaitu mendapat upan yang telah dijanjikan pada saat akad. Dasar hukum upah mengupah ini adalah diperbolehkan yang didasarkan pada dalil Q.S at-Thalaq ayat 6 dan hadist nabi Riwayat ibnu majjah dan nukhori muslim.

Dalam pelaksanaan upah mengupah dijelaskan haruslah memenhi rukun dan syarat upah mengupah seperti : (1) pihak memberi upah haruslah baligh dan berakal (2) pihak yang menerima upah juga haruslah baligh dan berakal (2) ada objek untuk dilakukan upah mengupah atau sesuatu yang dikerjakan, (3) ada imabalah sebagai upah yaitu tidak berkurang nilainya, harus jelas, dan bisa membawa manfaat, (4) akad (ijab qabul.

Buku ini juga menjelaskan berapa lama sahnya pembayar utang. Disebutkan bahwasanya membayar hutang harus sesuai dengan perjanjian yang disepakati, biasanya akan di beri upah ketika pekerjaan yang dilakukan oleh yang diupah telah selesai.

Pada Bab XI (hal 149 -- 153), menjelaskan mengenai hukum syirkah, Syirkah didalam etimologi diartikan sebagai campur atau percampuran sedangkan secara istilah diartian sebagai akad diantara dua orang yang berserikan pada pokok harta atau modal dan keuntungan. Dasar hukum dari pelaksanaan syirkah ialah pada dalil Q.S as-Syad ayat 24, al-Maidah ayat 2 dan juga hadist Riwayat Abu Daud.

Dalam pelaksaan syrikah dijelaskan pada buku ini yaitu harus sesuai dengan rukun dan syarat syirkah. Rukun syirkah adalah: (1) orang-orang yang berserikat, (2) bidang usaha yang dijelaskan (3) modal tunai dari orang-orang yang berserikat, dan (4) sighat yaitu lafadz akad. Sedangkan syarat-syarat syirkah yaitu: (1) pihak yang melaksanakannya haruslah baligh, berakal dan kehendaknya sendiri, (2) para pihak sepakat untuk mencampurkan modal mereka menjadi satu, (3) modal yang diberikan harus tunai, (4) apabila terjadi keuntungan dan kerugian maka harus diukuran dari modal yang diserahkan Ketika awal berserikat.

Didalam syirkah terdapat juga macam-macamnya yaitu: (1) syirkah inan, yaitu dengan maksud mendapatkan keuntungan bersama, (2) syirkah mufawadhah, yaitu untuk melakukan negoisasi dalam melakukan suatu pekerjaan atau biasa disebut sebagai partner kerja. Kerjasama disini bukan dalam bentuk modal melainkan keahlian dan keterampilan, (3) syirkah wuuh, yaitu serikat yang dihimpun bukan dalam bentuk modal, baik berupa uang (barang) maupun skill (keahlian), akan tetapi dalam bentuk tanggung jawab, dan (4) syirkah abdan, yaitu kerjasama dalam bentuk usaha yang sifatnya karya, seperti tukang kayu, tukang besi, tukang batu atau membangun suatu bangunan.

Batalnya dan berakhirnya syirkah yaitu : (1) salah atu pihak membatalkan perjanjian, meskipun tanpa persetujuan pihak yang lain (sebab terjadi karena rela sama rela diantara yang berserikat), (2) salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk mengelola harta (hila, pemboros, dll), (3) salah satu pihak meninggal, namun jika yang bersyirkah lebih dari dua orang makan yang gugur hanya yang meninggal dunia. Dan ahli waris dari pihak yang meninggal adalah melakukan pejanjian baru bagi ahli waris tersebut.

Disebutkan juga terdapat manfaat dari syirkah, yaitu: (1) usaha terasa ringan karena dilakukan  dengan gotong royong, (2) dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru, (3) mempererat silaturahmi, dan sebagainya.

Pada Bab XII (hal 147 - 153), menjelaskan hukum mudharabah (qiradh), qiradh dalam Bahasa diartikan sebagai potongan, sedangkan secara istilah diartikan sebagai pemilik harta atau modal menyerahkan modalnya kepada pelaku usaha dan laba yang dihasilkan dibagi diantara kedua belah pihak. Dapat disimpulkan bahwasanya qiradh adalah memberikan modal dagang kepada orang yang melakukan usaha baik dengan emas, atau harta lainya dengan kesepakan bersama bahwa hasil dari laba dibagi diantara keduanya dengan adil. Dan apabila terjadi kerugian ditanggung oleh kedua belah pihak. Dasar hukum qiradh yang dijelaskan pada buku ini adalah pada hadis nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah tentang qiradh.

Sahnya qiradh bergantung dengan terpenuhinya rukun dan syarat-syaratnya. Dalam buku ini dijelaskan diantaranya seperti: (1) pihak pemberi modal, (2) pihak yang menjalankan modal, (3) ada modal atau harta, (4) lapangan pekerjaan, (5) keuntungan, dan (6) ijab qabul.

Buku ini juga menjelaskan macam-macam qiradh yang dibagi menjadi dua kategori yaitu: (1) qiradh sederhana, adalah qiradh yang dilakukan perseorangan dan (2) qiradh modern, adalah yang dilakukan secara professional seperti bank dan perusahaan dalam penanaman modal.

Dan hal-hal yang dialrang dalam qiradh adalah: (1) modal dibelanjakan untuk diri sendiri, (2) meyedahkan modal atau barang qiradh tanpa izin pemilik modal, (3) mengutangkan modal tanpa seizin pemilik modal, dan (4) membelanjakan modal yang menentang syariat islam. Sedangkan hal yang dapat mengakhiri qiradh adalah : (1) tidak terpenuhi salah satu rukun dan syarat qiradh, (2) pengelola modal sengaja meninggalkan tugasnya, (3) salah satu pihak meninggal dunia, dan (4) salah satu pihak membatalkan akad qiradh.

Selain itu, dari adanya qiradh akan menciptakan kebermanfaatan, seperti akan menumbuhkan sikap kepedulian, mempererat persaudaraan, membuka lapangan pekerjaan baru bagi pengangguran, dan dapat membantu program pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan pemerataan pendapatan.

Pada Bab XIII (hal 155-160), bab terakhi pada bukunu ini ialah menjelaskan tentang hukum muzara'ah dan mukhabarah. Menurut etimologi muzara'ah disebut juga mukhabarah, yang memiliki arti Al-Inbat, yaitu menumbuhkan, sedangkan menurut terminology yaitu mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilaknnya dan benihnya dari pengelola. Adapun muzara'ah adalah sama sepertu mukhabarah melainkan benihnya berasal dari pemilik tanah (Imam Syafi'i). Dasar hukum dari akad muzara'ah dan mukhabarah adalah pada hadis nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori dan muslim.

Buku ini mejelaskan rukun dan syarat yang harus dipenuhi yaitu seperti: (1) pemilik dan penggarap harus mumayyiz, (2) tanah jelas dan bukan sengketa juga tanah tersebut bisa ditanami benih dan menghasilkan, (3) modalnya yaitu jelas nilainya dan bisa dimanfaatkan, dan (4) adanya ijab qabul yaitu dilakukan kesepakatan bersama, tidak ada yang dirugikan dan dilakukan bukan karena paksaan.

Buku ini oleh penulis juga ditambahkan bagaimana hukumnya berzakat oleh hasil muzara'ah dan mukhabarah. Menurut buku ini dalam muzara'ah yang diwajibkan berzakat adalah pihak penggarap lahan, karena ia adalah pihak yang menanam benih, sedangkan dalam mukhabarah, yaotu yang membayar zakat dari pihak pemilik tanag karena hakekatnya dialah yang menanam benih. Apabila zakat dari keduanya maka yang wajib membayar zakat adalah keduanya belah pihak.

Batalnya akad muzhara'ah dan mukhabarah adalah apabila (1) masa penjanjiannya sudah selesai, (2) salah satu pihak meninggal dunia, (3) adanya unsur uzur, yaitu apabila pihak yang mengelola tanah tidak sangguup menjalankan tugasnya baik karena sakit atau hijrah.

Berikut adalah isi dari keseluruhan buku yang dijelaskan secara rinci dan matang, karena penulis bertujuan buku ini mememudahkan pembaca untuk mempelajari semua aspek yang harus diketahui dalam hukum perdata tentang hukum keluarga dan hukum bisnis secara lengkap dan terperinci. Yang diawali dengan sejarah terbentuknya hukum perdata di Indonesia. Juga dimaksudkan sebagai pegangan bagi para mahasiswa, dan dosen, khususnya dilingkungan Fakultas Syariah dan hukum, juga bagi para pembaca umumnya.

Berkenaan dengan cover buku hukum perdata islam di Indonesia aspek hukum keluarga dan bisnis karya Dr. H. A. Khumedi Ja'far, menurut saya lebih pantas apabila di cover dengan cover tebal dan ilustrasi yang terdapat pada cover dapat diperbaiki agar lebih menarik.  Karena buku ini dapat dijadikan sebagai pegangan oleh mahasiswa dan para dosen sehingga mereka tidak akan bosan dengan buku ini.

Karangan:

MANAL ILHAM AL MAZID (212121130 -- HKI A)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun