Untuk mengetahui kondisi hukum perdata islam di Indonesia sekarang ini, penting pula mengetahui secara historis riwayat terbentuknya hukum perdata di indonesia ini. Secara historis hukum peradata di Indonesia tidak lepas dari zaman penjajahan dahulu (belanda) yang menggunakan politik Hindia-Belanda terhadap hukum di Indonesia.
Sejarah keperdataan islam di Indonesia pada awalnya berbeda-beda dalam pemberlakuannya, karena yang bertempat tinggal di Indonesia tidak hanya warga pribumi namun juga banyak warga asing. bagi warga asli Indonesia atau pribumi diberlakukan hukum adat, bagi warga yang berasal dari tionghoa dan Eropa berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlujk Wrboek) dan Kitab Undang-Undang Dagang (wetboek van Koophandel), dan bagi warga selain pribumi dan tionghoa seperti Arab, India dan sebagainya berlaku hukum Burgerlijk Wetboek namun hanya sebagian yaitu pada hukum kekayaan harta benda (vermogensrecht) (Hlm. 7).
Pada masa penjajahan Hindia Belanda terdapat hukum yang dibuat khusus untuk rakyat Indonesia atau pribumi yaitu seperti: Ordonansi Perkawinan bangsa Indonesia Kristen, Ordonansi tentang Maskapai andil Indonesia atau I.M.A, dan Ordonansi tentang Perkumpulan bangsa Indonesia. Dan peraturan yang berlaku untuk semua golongan warga negara adalah seperti: Undang -- UndangHak Pengarang, Peraturan Umum tentag Koperasi, Ordonansi Woeker, dan Ordonansi tentang Pengakutan di Udara (Hlm. 9).
Masyarakat Indonesia kental akan hukum budaya atau hukum adat, karena sudah menjadi hukum yang turun temurun disetiap generasi sehingga menjadi hukum dalam kehidupan masyarakat yang dipandang sebagai prinsip dibandingkan dengan hukum lainnya yang bukan hukum adat. Namun hukum yang terjadi di masyakarat (Hukum Adat) hanya sebagai pengikat ketertiban bersosial yang tidak bisa melebihi hukum positif yang menjadi undang-undang. Dapat terjadi bilamana hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan undang - undang hukum positif.
Setelah Indonesia terbebas dari penjajahan atau merdeka dan berkuasa penuh, struktur politik yang sebelumnya dipegang oleh Hindia -- Belanda beruah hsampai akar-akarnya. Namun hukum yang terjadi tidak merata dikarenakan ada warga Indonesia yang masih tinggal di perdesaan dan menggunakan hukum adat.
Pada Bab selanjutnya yaitu Bab II hingga BAB XIII, menjelaskan unsur dari keperdataan seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf kedua dalam tulisan ini. Unsur dari keperdataan tersebut seperti pengertiannya, macam-macamnya, rukun dan syarat, akibat dan juga manfaat dari keperdataan. Berikut penjelasan singkat yang dibahas pada buku ini.
Pada Bab II (hal 27-31), Perkawinan dalam islam disebut akad, karena membentuk ikatan yang kuat untuk memenuhi perintah dan beribadah kepada allah. Dalam Bahasa istilah Bahasa arab yaitu al=nikah yang bermakna al-wathi dan al-dammu wa al-tandakhul yang memiliki makna, berkumpul, bersetubuh dan akad. Dalam majaz disebut akad, Itulah sebab diperbolehkannya bersenggama.
Sementara dalam perspektif sosiologis adalah pertukaran hak dan kewajiban sepasang suami istri yang memiliki latar belakang sosial-budaya, keinginan dan kebutuhan yang berbeda yang kemudian dirundingkan dan disepakati bersama. Disimpulkan bahwa dapat terjadi apabila ada kesepakatan bersama untuk menjalin bahtera rumah tangga.
Tujuan dari pernikahan yaitu membentuk rumah tangga yang Sakinah, Mawadah dan Rohmah berdasarkan YME, suatu jalan untuk mengatur tumah tangga dan keturunan, serta membentuk tali ikatan antara suami serta kerabatnya dan istri serta kerabatnya untuk tolong - menolong.
Pada Bab III (hal 38 - 48), menjelaskan tentang perceraian. perceraian didalam islam disebut dengan talaq, yaitu Tindakan yang dilakukan oleh suami kepada istri untuk bercerai dan hanya bisa diucapkan oleh suami dalam pernikahan yang sah, baik talak satu, dua dan tiga. Dalam perpektif yuridis diartikan sebagai putusnya perkawinan berdasarkan putusan hakim yang berwenang karena tuntutan salah satu pihak dari dari suami dan istri dengan berdasarkan peraturan perundang-perundang.
Terjadinya putus perkawinan selalu ada alasan -- alasan yang dituntut. Masalah perkawinan ditinjau dalam yuridis diatur dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan dijelaskan pada Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974 dan Nomor 3019. Dan putusnya perkawinan diataur pada Bab VIII Pasal 38 sampai Pasal 41 dan tata cara perceraian di atur Undang-Undang pada peraturan Nomor 9 Tahun 1975 (Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan / UUP)