Dalam pasal 39 ayat (1) disebutkan bahwa perceraian memiliki beberapa aturan, yaitu perceraian hanya dapat dilaksanakan di depan sidang pengadilan, harus memiliki alasan yang konkrit, dan tatacarnya diatur di dalam peraturan perundangan tersendiri.
Pada penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang Undang Perkawinan (UUP) terdapat alasan dan sebab terjadinya putusnya perkawinan yaitu, salah satu pihak berzina atau menjadi pemabuk, penjudi dan sebagainya, salah satu pihak lari dari tanggung jawab menafkahi selama dua tahun berturut-turut tanpa alasan, salah satu pihak dipenjara selama 5 tahun, salah satu pihak cacat badan atau memiliki penyakit sehingga tidak bisa melaksanakan kewajiban masing-masing, dan salah satu pihak melakukan kekerasan atau penganiayaan.
Putusnya perkawinan dapat terjadi karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan (Pasal 38 UU Perkawinan). Dalam ikatan setelah perkawinan setiap rumah tangga selalu ada lika-liku yang menyertainya, faktor putusnya perkawinan dapat terjadi karena tidak harmonisnya keluarga, krisis moral dan akhlak, perzinaan, dan pernikahan yang dilakukan niatnya bukan karena cinta dan beribadah.
Selain faktor yang telah disebutkan diatas, perceaian dapat terjadi juga apabila usia kedua belah pihak belum cukup, adanya perbedaan sosio emosional yaitu seperti mengalami stress, adanya sejarah dari keluarga, maksudnya keluarga dahulu cenderung mengalami perceraian sehingga kaeturunannya akan mengikuti hal tersbut.
Perceraian merupakan Tindakan yang dibenci oleh Allah SWT, salah satunya karena akan berdampak pada banyak hal, seperti dampak pada anak-anaknya berakibat stress, perubahan fisik dan mental, trauma dan dari segi psikis akibat kurangnya perhatian orangtua, terhadap harta bersama (gono gini), dan terhadap muth'ah.
Pada Bab IV (hal 57 -- 67), menjelaskan mengenai kewarisan. Kewarisan yaitu harta yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli waris dan akan diberikan setelah meninggalnya seorang pewaris. Dalam islam pembagian warisan dibagi sesuai dengan jatahnya masing-masing, yaitu menetapkan angka-angka seperti , , 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6 yang di atur pada surah al-Nisa' (7-14, 33 dan 176) dan surah al-A'raf (75).
Dalam hak waris pada buku ini juga dijelaskan adanya sasas -- asas keadilan diantaeperti ranya asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas semata akibat kematian. Secara umum bagian hak waris antara laki-laki dan perempuan berbeda. Laki-laki mendapatkan lebih banyak daripada perempuan karena laki-laki dibebandi tangung jawab yang lebih besar seperti memberi nafkah dan sebagainya. Dan perempuan tidak memiliki tanggung jawab seperti laki-laki karena ia pasti akan dinafkahi Ketika sudah menikah dan akan mendapatkan mahar. Pada surah al-Nisa ayat 11 dijelaskan perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1 (laki-laki adalah dua kali dari perempuan).
Dalam islam orang yang tidak akan menjadi ahli waris adalah orang yang berbeda agama ataupun ataupun orang yang murtad.
Pada Bab V (hal 75 -- 78), Wasiat yaitu pesan dari pewaris sebelum meninggal kepada orang lain, dan akan dilaksanakan setelah pewaris meninggal. Secara Bahasa wasiat adalah pesan sedangkan secara terminologis adalah pesan untuk kebaikan dan akan dilaksakan setelah meningganya si oleh pemberi pesan.
Dalam wasiat selain unttuk ahli waris besaran harta tidak boleh melebihi sepertiga harta bendanya dan disepakati oleh ahli waris yang lain dan wasiat ini tidak untuk orang selain beragama islam (jumhur ulama). Dasar hukumnya adalah surah al-Maidah (106) dan Hadis Kudsi tentang harta yang diperlakukan khusus kepada seorang dengan jalan wasiat untuk membersihkan dari dosa dan doa seorang unruk seorang yang telah wafat.
Pada Bab VI (hal 81 -- 85), Waqaf yaitu memberikan sejumlah harta kepada orang lain (nazir) untuk di Kelola dan diberikan kepada orang yang berhak mendapatknya dengan manfaat sebagai wujud dari amal dan untuk beribadah kepada Allah. Kata wakaf dalam etimologis berasal dari arab (waqafa, yaqifu, waqfan) yang artinya menahan, diam di tempat dan berhenti. Sedangkan dalam terminologis yaitu menahan suatu benda yang sifatnya kekal dan diambil manfaatnya untuk beribadah.