Mohon tunggu...
Manal Ilham Al Mazid
Manal Ilham Al Mazid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Keluarga Islam UIN Raden Mas Said Surakarta

Merupakan mahasiswa dari Program Studi Hukum Keluarga Islam di UIN Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Book

Review Book: Hukum Perdata Islam di Indonesia Aspek Hukum Keluarga dan Bisnis

9 Maret 2023   19:45 Diperbarui: 13 Desember 2023   01:42 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedangkan dalam segi barang yang dijual belikan ridak boleh mengandung unsur sebagai berikut: (1) tidak diperbolehkan apabila tidak jelas barangnya atau barang tersebut bersifat samar (gharar), (2) yang tidak dapat diserahkan barangnya, maksudnya adalah seperti ikan yang terdapat pada kolam atau burung yang ada di udara, (3) bersifat majhul, yaitu barang yang sifatnya tidak jelas, seperti singkong di dalam tanah, atau buah-buahanyang sifatnya masih dalam bentuk bunga, (4) jual beli sperma biantang, (5) bersifat najis, (6) jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan, (7) jual beli muzabanah, yaitu eperti padi basah dengan padi kering karena akan merugikan pemilik padi kering (8) jual  beli muhaqallah yaitu tanaman yang masih di ladang atau sawah, (9) jual beli mukhadarah, yaitu buah yang belum pantas dipanen, (10) jual beli mulammasah, yaitu sekali menyentuh barang tersebut wajib membelinya (11) jual beli munabadzah, yaitu seperti membeli tanah dan kemudian ia membeli tanah tersebut sesuai dengan lemparannya.

Didalam jual beli terdapat khiyar, yaitu unsur kebebasan yang dimiliki oleh penjual dan pembeli dalam akad untuk membatalkannya. Khiyar terbagi menjadi tiga, yaitu khiyar majelis (keduanya belum berpisah), khiyar syarat (seperti ada tenggang waktu), dan khiyar aib (terdapat cacat).

Manfaat dari jual beli yang dijelaskan pada buku ini adalah seperti: (1) adanya rasa puas antara kedua belah pihak karena dilakukan suka sama suka, (2) dapat menjauh dari barang batil, (3) memberi nafkah bagi keluarka dari hasil yang halal, (4) dapat ikut memenuhi hajat masyarakat, (5) dapat terciptanya hubungan silaturrahmi dan sebagainya.

Pada Bab VII (hal 119 -- 135), menjelaskan tengan hukum utang piutang. Utang piutang adalah memberikan berupa uang atau benda dengan perjanjian yang telah disepakati bersama, dengan ketentuan yang dipinjami harus mengembalikan uang atau barang tidak lebih dan tidak kurang. Dasar hukumnya sunnah namun bisa wajib apabila sangat membutuhkan, dijelskan pada dalil surah al-Maidah (2) dan Hadis Riwayat Bukhori dan Muslim. Hukum yang menghutangi sunnah dan yang berhutang mubah.

Dijelaskan juga sahnya utang piutang apabila memenuhi Rukun dan syaratnya, yaitu: (1) orang pemberi hutang dan haruslah baligh dan berakal, (2) orang yang berhutang juga harus cakap (baligh dan berakal),(3) objek barang, yaitu dapat diukur dengan diketahui jumlahnya atau nilainya, dan (4) lafadz (ijab qabul), yaitu pernyataan kedua belah pihak baik dalam tulisan maupun lisan.

Dibuku ini juga lebih diperjelas bagaimana apabila membayar hutang namun dalam pembayarannya dilebihkan, maka dijelaskan dalam buku ini apabila membayar hutang lebih tersebut tidak didasari oleh perjanjian namun beri'tikad untuk kebaikan maka hukumnya boleh, dan apabila didasari perjanjian maka hukumnya dilarang karena dianggap mengambil keuntungan dan sifatnya adalah termasuk riba.

Dan dalam pelaksanannya pihak yang berhutang menunda bayar hutang adalah perbuatan dzalim padahal ia mampu membayarnya. Dalam sitem perhutangan, pemindahan utang diperbolehkan (hiwalah) asal atas persetujuan, dasar hukumnya dalah hadis Riwayat ahmad tentang hiwalah.

Dalam berhutang juga terdapat sisi negatifnya, yang dijelaskan dalam buku ini yaitu: (1) membuat hidup tidak tenang, (2) dapat mengganggu nama baik keluarga karena seringnya ditagih, (3) utang yang lama dibayar berdampak sakit hati, (4) dapat berkemungkinan mendapat musibah, karena pihak berhutang tidak membayar htang dan yang menghutangi bisa saja berbuat nekat, dan sebagainya.

Pada Bab IX (hal 137 -- 139), Hukum Sewa Menyewa adalah memberikan suatu barang kepada penyewa untuk diambil manfaatnya dengan akad bersama dan penerima memberikan bayaran atau imbalan berdasarkan rukun dan syarat tertentu. Menurut etimologi diartikan sebagai ganti dan upah sedangkan alam terminology diartikan sebagai Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan. Dasar hukumnya adalah hadis Riwayat ahmad dan abu daud tentang sewa menyewa.

Dalam melaksanakan sewa-menyewa harus memenuhi rukun dan syaratnya yaitu: (1) orang yang menyewa haruslah baligh, berakal dan tanpa paksaan, (2) penyewa juga haruslah baligh, berakal dan tanpa paksaan, (3) objek barang haruslah jelas jenisnya, kadarnya, an sifatnya, (4) imbalan, dimana haruslah diketahui jumlah uang sewanya, tidak berkurang nilainya dan mebawa kebermanfaatan, dan (5) ijab qabul.

Dalam buku ini diperjelas kembali dalam pelaksanaan sewa menyewa barang sewaan hukumnya boleh apabila atas persetujuan bersama dan tidak melanggar akad. Apabila melanggar maka boleh dibatalkan. Dan batalnya suatu sewa menyewa adalah terjadinya kecacatan barang, rusaknya barang, waktu sewa telah habis, dan adanya adanya uzur. Apabila salah satu pihak meninggal tidak membatalkan perjanjian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun