Mohon tunggu...
Manal Ilham Al Mazid
Manal Ilham Al Mazid Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Keluarga Islam UIN Raden Mas Said Surakarta

Merupakan mahasiswa dari Program Studi Hukum Keluarga Islam di UIN Raden Mas Said Surakarta

Selanjutnya

Tutup

Book

Review Book: Hukum Perdata Islam di Indonesia Aspek Hukum Keluarga dan Bisnis

9 Maret 2023   19:45 Diperbarui: 13 Desember 2023   01:42 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dasar hukumnya adalah al -- Hajj (77), al-Imran (92), al-Baqarah (261), dan juga hadis nabi dari Riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan Riwayat Muslim dari Ibn Umar tentang waqaf. Dijelaskan pada ayat dan hadis tersebut bahwasanya hukum dari waqaf yaitu dalam wilayah ijtihadiyah karena doktrin ajaran waqaf belum jelas dan tegas perintah anjurannya. Namun secara umum, waqaf sangat dianjurkan karena berkaitan dengan kebaikan untuk kepentingan umum.

Waqaf dibagi menjadi dua yaitu waqaf ahli (keluarga) dan waqaf Khairi (umum). Waqaf ahli adalah waqaf yang diberikan kepada orang-orang tertentu seperti keluarga si wakif atau bukan. Dasar hukum ini mengacu pada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Annas bin Malik dijelaskan bahwa Abu Thalhah mewakafkan hartanya kepada keluarga dan kerabatnya. Wakaf ini disebut juga sebagai wakaf zurri atau kerabat.

Sedangkan wakaf Khairi atau wakaf yang bersifat umum. Yaitu wakaf yang diberikan untuk kepentingan umum. Contoh dari wakaf ini seperti mewaqafkan sebidang tanah untuk dibangun masjid, sekolah, Lembaga dakwah, panti asuhan, rumah sakit dan sebagainya. Jenis waqaf ini mencangkup semua aspek kehidupan semua manusia.

Buku ini juga menjelaskan bagaimana cara pengelolaan dan pengembangan asset waqaf. Bahwasanya pengelolaan dan pengembangan waqaf ini diatur oleh Undang -- Undang No. 42 Tahun 2006 mengenai Pelaksanaanya. Undang -- undang ini digunakan sebagai acuan dan pedoman bagi setiap Lembaga dan Badan waqaf Indonesia (BWI) yang tersebar di Indonesia.

Problematika yang dialami dalam perwaqafan di Indonesia masih dilakukan secara tradisional-konsumtif dan pelaksanaanya masih salah kaprah juga masih terbatas pada benda mati dan belum ke benda bergerak. Problematika yang dimaksud adalah (1) sebagai Lembaga nazir belum berfungsi dengan optimal, karena posisi sebagai nazir hanya dianggap sebagai Sumber Daya Manusia (SDM) yang ikhlas lilahi ta'ala. Dimana para nazir tidak digaji dan tidak sejahtera, juga para nazir dalam bekerja kualitasnya ridak memenuhi syarat sehingga tidak mampu mengelola dan memberdayakan harta benda waqaf yang telah dikumpulkan. (2) dilihat dari para nazir yang telah dijelaskan bahwasanya harta waqaf tidak terkelola dengan benar, meskipun waqaf ini bernilai ekonomis yang tinggi untuk dikembangkan, namun dengan keterbatan SDM tersebut waqaf belum berdampak pada kesejahteraan umat.

Pada Bab VII (hal 99 -- 118), menjelaskan tentang jual beli. Jual Beli disini diartikan sebagai akad tukar menukar barang atau barang dengan uang dengan atas dasar merelakan sesuai hukum islam. Dalam etimologi diartikan sebagai pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain) kata lain dari ba'i (jual beli) adalah al-tijarah yang berarti perdagangan. Sedangkan dalam istilah yaitu pertukaran harta dengan harta(yang lain) untuk kepemilikan.

Buku ini menyebutkan Rukun dalam jual beli yaitu: (1) Penjual, sebagai pemilik harta atau barang yang akan dialihkan haknya kepada seorang pembeli dalam transaksi, (2) Pembeli, sebagai orang yang paham dan cakap dalam membelanjakan hartanya (uang) (3) Barang yang dijual, yaitu sesuatu yang diperbolehkan oleh syara' untuk dijual dan diketahui sifatnya oleh pembeli, (4) Shighat atau ijab qabul, yaitu sebagai akad atau persetujuan dari pihak penjual dengan pembeli untuk menyerahkan barang, baik dengan transaksi lisan maupun tulisan.

Sedangkan syaratnya dijelaskan sebagai berikut: (1) berakal, yaitu orang yang dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya, oleh sebab itu jika salah satu pihak tidak berakal maka hukum jual beli tidak sah, (2) Bukan paksaan, didalam jual beli tidak boleh ada unsur paksaan, sehingga dalam transaksi harus sesuai dengan kehendaknya sendiri atau suka sama suka, (3) kedua belah pihak tidak mubazir, karena apabila boros atau mubazir disebut sebagai orang yang tidak cakap dalam bertindak, (4) Baligh, dalam fiqih orang yang disebut baligh adalah yang berumur minimal 15 tahun bagi laki-laki dan bagi perempuan adalah setelah haid. Oleh sebab itu transaksi yang dilakukan oleh anak-anak adalah tidak sah hukumnya karena mereka belum baligh atau belum bisa membedakan mana yang baik dan buruk bagi mereka.

Dan dijelaskan juga dalam buku ini barang yang sah dalam jual beli harus memenuhi syarat-syarat  transaksi dalam islam, yaitu sebagai berikut: (1) suci, yaitu barang yang tidak mengandung atau digolongkan dalam barang yang haram dan najis, namun najis disini yaitu najis seperti minuman alkohol dan bangkai. (2) barang tersebut ada manfaatnya, maksudnya barang yang dijual belikan seperti barang yang dapat dikonsumsi seperti ue, beras, ikan, buah-buahan dsb. Dan  juga barang yang dapat dinikmati seperti lukisan, kaligrafi, dan sebagainya dan barang yang dapat dinikmati suaranya seperti televisi, radio, kaset dsb. Dengan demikian barang yang ada manfaatnya adalah barang tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan syariat islam. (3) barang yang dijualbelikan adalah barang kepunyaan yang melakukan akad, maksudnya adalah barang tersebut adalah dari pemilik yang sah, tidak barang curian. (3) barang yang dijualbelikan adalah barang yang dapat diserahkan, maksudnya adalah barang tersebut bebas dari penggadaian atau diwakafkan atau juga dalam keadaan disewa. (4) barang yang dijuabelikan barang yang jelas sifatnya, maksudnya adlaah diketahui banyaknya, beratnya, kualitasnya dan sebagainya, karena jika dalam keraguan barang tersebut tidak sah dan akad dianggap sebagai penipuan. (5) barang yang dijualbelikan tidak boleh barang yang dita'wilkan, maksudnya adalah tidak boleh dikaitkan atau digantungan akan sesuatu, seperti: barang ini akan saya jual apabila saudara saya meninggal dunia.

Dalam melakukan jual beli haruslah adanya akad yaitu lafadz ijab qabul dari perkataan kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli. Disebutkan dalam buku ini haruslah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, yaitu sebagai berikut: (1) tidak ada yang memisahkan antara penjual dan pembeli maksudnya adalah setelah penjual menyatakan ijabnya pembeli haruslah menjawab ijab tersebut. (2) dalam ijab tidak boleh diselangi kata kata lain, (3) harus ada kesesuain dalam melaksanakan ijab qabul, maksudnya ijab qabul harus barang A bukan barang B, (4) ijab dan qabul harus jelas dan legkap, maksudnya adalah tidak meniimbulkan kesalahpahaman diantarabpenjual dan pembeli, dan (5) ijab dan qabul harus dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Jual beli yang dilarang adalah jual beli yang dilakukan oleh: (1) orang gila, karena dianggap tidak berakal, (2) anak kecil, karena bekum memenuhi sharat baligh, (3) orang buta, karena mereka tidak dapat melihat barang tersebut sehingga tidak tahu barang tersebut dalam keadaan baik atau buruk, (4) fudhul, karena jika tidak seizin pemiliknya dianggap sebagai barang curian, (5) terhalang oleh sesuatu (sakit, bodoh, atau boros), karena orang tesebut dianggap tidak cakap melakukan jual beli, (6) malja', maksudnya adalah tidak dalam bahaya, karena dipandang oleh para ulama jual beli yang tidak umum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun