Mohon tunggu...
Salamun Ali Mafaz
Salamun Ali Mafaz Mohon Tunggu... -

Penulis, pencinta kuliner nusantara, penikmat film dan musik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indahnya Hidup Bertoleransi: Memaknai Kebebasan Beragama

24 April 2013   15:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:40 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indahnya Hidup Bertoleransi: Memaknai Kebebasan Beragama

Oleh : Salamun Ali Mafaz

Bermodal Toleransi

Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, kekayaan beragama ini dilembagakan dalam bentuk doktrin Pancasila. Di mana negara mengakui dan menjunjung tinggi semua agama dan kepercayaan yang dianut masing-masing pemeluk (meski pada akhirnya dibatasi hanya lima agama), dan menempatkan agama-agama tersebut sejajar di hadapan negara. Oleh sebab itu, di negara kita posisi agama setara, tidak ada yang tinggi dan rendah di hadapan yang lain. meskipun kenyataannya agama Islam dianut mayoritas penduduk di Indonesia, namun bukan berarti Islam menjadi agama yang berada pada posisi yang paling tinggi. Tak ada agama yang punya hak mengklaim dirinya lebih tinggi dari pada Tuhan, karena Tuhan merupakan yang tertinggi dan berada pada posisi yang tinggi dari semua agama dan kepercayaan yang ada. Untuk itu pemerintah membentuk sebuah Departemen Agama yang bertugas mengkordinir kehidupan beragama, tanpa harus mencampuri urusan masing-masing agama.

Walaupun demikian, rasanya sulit sekali mewujudkan sikap dan prilaku yang toleran dalam realitas yang sebenarnya. Dalam sebuah kehidupan yang plural seringkali terjadi benturan (clash) kepentingan, yang sering bermuara pada terjadinya konflik kepenting. Maka tidak mengherankan sejak tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998 eskalasi kekerasan, pertikaian, dan benturan antar kelompok masyarakat meningkat. Baik benturan yang berlatar belakang etnis, agama, maupun kepentingan politik. Melihat realita dilapangan seperti ini, berupa peristiwa yang berujung pada aksi anarki dan tindak kekerasan yang kerap kali dilakukan oleh antar kelompok masyarakat berarti semakin menyadarkan kita betapa lemahnya integritas sosial masyarakat kita. Sehingga sikap dan prilaku toleran yang mestinya dijadikan pedoman hidup masyarakat Indonesia seakan sirna.

Dalam hal ini ada beberapa kasus besar dalam konflik hubungan antaragama yang pernah terjadi di negara kita. Pertama, kasus Piagam Jakarta, dimana beberapa wilayah di Indonesia Timur mengancam akan melepaskan diri dari Republik Indonesia yang baru saja merdeka. Kedua, peristiwa G30S PKI, di mana terjadi pembantaian antar sesama warga sipil yang melibatkan sentimen dan simbolisme agama. Ketiga, pergolakan pasca tumbangnya rezim Orde Baru di mana beberapa daerah seperti GAM di Aceh, RMS di Maluku, dan OPM di Papua kembali menghadirkan di muka umum isu separatisme dengan melibatkan sentimen dan isu agama, belum lagi pergolakan yang terjadi seperti di penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah (di Parung, Lombok, Kuningan, Majalengka, dll), penyerangan atau penutupan gereja (di Tangerang, Jakarta, Lombok, dll), serta tragedi berdarah yang terjadi di Ambon, Poso, dan lain-lain, yang mengakibatkan ratusan nyawa tak berdosa melayang begitu saja, yang pemicu utamanya kurangnya kerukunan hidup, toleransi sesama, antar umat beragama, serta kelompok-kelompok agama terhadap adat dan kebudayaan masyarakat asli (indigenous people) terutama masyarakat adat yang terpinggirkan.

Maka dengan melihat beberapa kasus di atas, maka selayaknyalah bagi kita sebagai pemeluk agama agar selalu menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, karena bagaimanapun juga toleransi beragama merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, dan kelompok memiliki potensi yang besar terjadinya konflik sosial, baik yang dilatarbelakangi oleh persoalan agama maupun persoalan budaya dan etnik. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia.

Kekerasan atas nama agama dan budaya merupakan fenomena sosial yang sering terjadi di Indonesia, karena mungkin masyarakat Indonesia sedang mencari jati diri seputar hubungan-hubungan sosial antar individu di dalam masyarakat, baik sesama agama tetapi berbeda paham, maupun berbeda agama dan kebudayaan. Maka ketika hubungan-hubungan itu tidak berjalan baik, maka yang terjadi adalah kekerasan demi kekerasan dengan dalih menegakkan agama yang benar atau paham agama yang dianggap benar.

Toleransi telah digantikan oleh aksi kekerasan demi memperjuangkan kebenaran yang diyakini, meskipun kebenaran yang relatif itulah yang dianggap sebagai perjuangan membela agama atau paham yang benar. Padahal kita semua sadar bahwa tidak ada yang bisa ”mendeklarasikan” dirinya paling benar dan menganggap selainnya salah, kebenaran hanyalah hak periogratif Tuhan semata, kita semua sebagai manusia berpotensi besar melakukan salah dan dosa. Jadi haram menganggap diri kita, agama kita, keyakinan serta kepercayaan kita yang paling benar.

Indikasi menghilangnya toleransi beragama ini dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, hilangnya sikap-sikap toleran sesama pemeluk agama. Misalnya dikalangan umat Islam sendiri tidak terjadi hubungan dialogis dan harmonis, justru yang paling menonjol adanya kecenderungan memaksakan kebenaran agama maupun keyakinan yang dianggap sesuai dengan ”shalafus sholih”, bahkan sangat disayangkan dengan cara-cara kekerasan. Oleh karenanya dengan terciptanya situasi seperti ini, maka bermunculanlah aliran-aliran baru di dalam Islam itu sendiri, mungkin saja sebagai imbas atas ketidaksesuaian dengan adanya sikap apriori seperti itu.

Kedua, hilangnya toleransi di kalangan antarumat beragama. Hal ini dapat dilihat dari bebrapa kasus konflik antaragama seperti yang terjadi di Ambon dan Poso, penutupan gereja-gereja di bebrapa daerah denga dalih bahwa gereja-gereja yang ditutup itu adalah ilegal, dalam konteks lain misalnya sulitnya pendirian masjid-masjid di daerah yang mayoritas non-muslim. Sikap-sikap seperti inilah yang menghancurkan bangunan toleransi di dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Persoalan yang ”ruwed” yang sejak dulu hingga sekarang diantara umat Islam dan Kristen selalu terjadi konflik antaragama di Indonesia maupun di belahan dunia yang melibatkan dua komunitas agama ini.

Ketiga, hilangnya toleransi dapat juga dilihat dari sikap kelompok-kelompok agama terhadap adat dan kebudayaan asli masyarakat tertentu, terlebih terhadap masyarakat yang sudah tercampur dengan agama. Mereka sering disebut sebagai agama sinkretik, takhayul, dan telah keluar dari jalur agama yang benar atau bahkan dikatakan musyrik. Meskipun kenyatannya terjadi benturan yang tidak terlalu serius, tetapi sikap kelompok agama yang resmi cenderung tidak toleran, memusuhi, bahkan main hakim sendiri.

Maka dengan hilangnya toleransi dalam masyarakat agama dan adat tentu saja dapat mengancam bangunan perdamaian (peace building) yang ditunjukan dalam bentuk konflik atau aksi kekerasan, konflik memang sudah menjadi kenyataan hidup yang tidak terhindarkan. Ketika tujuan masyarakat atau kelompok tidak sesuai maka konfliklah yang kerap kali terjadi, terutama faktor agama dan budaya (adat) seringkali dijadikan masalah utama meledaknya konflik yang berakhir pada jatuhnya korban jiwa.

Melihat fakta kekerasan ini para pendidik agama dan penggerak dakwah sosial keagamaan merasa heran. Mengapa program transmisi dan konservasi nilai keagamaan yang begitu mulia dan berharga diberbagai tradisi keagamaan berubah menjadi intoleransi dan konfrontasi. Bukankah era modern dikalim sebagai era paling berkeadaban (civilized) dalam catatan sejarah peradaban umat manusia.

Dalam konteks inilah, inisiatif atau prakarsa para pemuka agama dalam mengupayakan perdamaian dalam berbagai bentuk kegiatan sampai penyelesaian konflik dapat teratasi, karena bagaimanapun juga para pemuka agama inilah yang mempunyai kharisma serta pengaruh dalam penyelesaian konflik. Paling tidak ketika terjadinya sebuah konflik unsur-unsur yang menjadi bagian adalah pemerintah, pelaku ekonomi, wartawan, tokoh agama serta masyarakat, wakil-wakil etnik dan ras, intelektual, cendekiawan, profesional, serta para ahli dibidangnya masing-masing.

Memang sangat sulit membedakan watak, sikap masing-masing manusia supaya mengikuti satu jalur menuju toleransi. Ahli psikolog seperti Louis Thurstone (1928), Rensist Likert (1932), dan Charlest Osgood, mendefinisikan sikap manusia adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap terhadap sesuatu objek merupakan perasaan menerima atau memihak (favorable) maupun menolak atau tidak memihak (unfavorable) terhadap sesuatu objek itu. Sikap dalam hal ini sebagai motivasi dan kecenderungan terhadap sesuatu baik positif maupun negatif. Untuk itu, La Pierre mendefinisikan sikap sebagai suatu pola prilaku, tendensi, atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial. Atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimulasi sosial yang telah terkondisikan.

Sikap merupakan proses tendensi/kecenderungan untuk berbuat sesuatu objek, seperti contoh kecenderungan seseorang terhadap perdamaian antarpemeluk agama. Objek sikap adalah perdamaian, pada tataran kognitif orang tahu bahwa perdamaian itu sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, jika merasa gembira atau sedih apabila ada perdamaian, maka itulah bentuk sikap pada ranag efektif terhadap objek perdamaian. Akan tetapi jika merasa senang terhadap perdamaian lalu terdorong untuk mewujudkan perdamaian, maka sikap itu berada pada ranah konatif. Dengan kata lain apabila seseorang memiliki sikap yang positif terrhadap perdamaian, maka ia akan siap dan berusaha membantu, memperhatikan, dan mewujudkan perdamaian itu. Tetapi jika yang dimiliki sikap negatif, maka ia akan menjauhi perdamaian dan membenci akan terwujudnya perdamaian itu.

Selayaknya bagi kita, dengan adanya perbedaan-perbedaan pada masing-masing individu pemeluk agama untuk selalu mewujudkan semaksimal mungkin kokohnya bangun toleransi, tanpa sikap toleransi mustahil akan tercipta rasa tentram, aman, damai dalam berinteraksi sosial terlebih hubungan antar agama. Maka beranjak dari sini, toleransi beragama merupakan harga mati dalam beragama yang harus dibayar mahal.

Kebebasan Beragama

Istilah kebebasan beragama (freedom of religion/faith/belief, liberte de conscience, al-huriyyah al-diniyah) menjadi problem yang sangat penting, pada tahun 1789 ketika Revolusi Perancis meletus, yang berlatar belakang perang antar agama, ras, kasta, serta tindakan diskriminasi penguasa. Maka beberapa tokoh seperti Jean Jacques Rosseau, Monthesque, Voltaire, Lafayette, serta para tokoh yang ikut terlibat memperjuangkan demokrasi begitu mencita-citakan sekali adanya kebebasan (liberte), persamaan (egalite) dan persaudaraan (faternite) karena merujuk kepada pandangan filosofis bahwa ”manusai terlahir dan tetap bebas serta setara hak-haknya” (Men are born and remain free and equal in rights).

Problem kebebasan beragama menjadi lebih krusial sejak awal abad ke-20 ketika minoritas-minoritas keagamaan baru muncul di negara-negara maju di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia, serta semua negara di dunia akibat migrasi, melonjaknya angka kelahiran, konversi, revolusi besar-besaran. Kini kebebasan beragama bukanlah problem unik satu negara saja, bahkan di negara-negara demokratis-sekuler seperti Amerika Serikat dan Perancis. Di negara-negara yang memiliki jumlah penduduk muslim yang sangat signifikan, bahkan mayoritas seperti di Indonesia, problem kebebasan beragama juga menjadi isu seru (actual issue) hingga sekarang.

Kemerdekaan manusia adalah asas keberagamaan yang sejati. Pemaksaan dan keterpaksaan untuk beragama melahirkan kepalsuan dan ketidaksejatian (superfical atau psedo-religiosity). Pemaksaan yang dilakukan seseorang, kelompok, atau negara terhadap setiap individu atau kelompok untuk beragama dengan cara-cara tertentu yang tidak sesuai dengan pikiran dan hati nuraninya sendiri akan menimbulkan kekacuan dan ketidaklanggengan dalam beragama. Begitupula larangan kepada orang lain untuk pindah agama, keluar dari satu agama dan masuk kepada agama lain, justru akan berakibat buruk terhadap orang tersebut dan masyarakat pada umumnya.

Dalam bukunya The Monotheists: Jews, Christians, and Muslims in Conflict and Competion F.E. Peters menyimpulkan bahwa dalam sejarahnya, kaum monoteis merupakan yang paling sulit bersikap toleran dalam beragama. Kaum monoteis terlahir sebagai fanatik, sebuah sikap yang mereka pelajari dari pencipta menurut mereka, Tuhan pencemburu (a jealous God) yang tidak membiarkan pesaing dan menuntut kesetiaan (fidelity) para pengikutnya. Tidak heran ketika memungkinkan kaum Yahudi, Nasrani, Muslim memperlihatkan zero tolerance terhadap kaum qoyim, ethne, pagani, atau kafir yang harus menerima konsep satu Tuhan atau kalu tidak mati, jadi budak, atau warga kelas dua. Tetapi itu dulu, sekarang di zaman modern Peters berpendapat, ada hukum bersama yang harus ditaati semua. Kebebasan beragama telah diakui sebagai hak asasi manusia baik oleh Yahudi, Kristen, maupun Islam, dalam penerapan dan pemahaman yang berbeda-beda. Kaum monoteis ini kemudian harus mengakui keberagamaan Nabi Ibrahim sebagai titik temu.

“Tidak ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata kebenaran dan kesesatan. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, sesunguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tak akan putus. Allah Maha Mendengar dan Mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 256).

Dari sudut gramatika bahasa Arab tampak bahwa kata “la” dalam ayat di atas termasuk “la linafyi al-jinsi”, dengan demikian berarti menafikan seluruh jenis paksaan dalam soal agama. Ayat ini juga dikemukakan dengan lafzh ‘am. Dalalat lafzh ‘am menurut ushul fikih Hanafiyah, adalah qath’i sehingga tidak mungkin ditakhsish apalagi dinaskh dengan dalil yang zhanni. Ayat ini merupakan teks fondasi atau dasar penyikapan Islam terhadap jaminan kebebasan beragama.

Abu muslim dan al-Qaffal berpendapat, ayat ini hendak menegaskan bahwa keberimanan didasarkan atas suatu pilihan sadar dan bukan atas suatu tekanan. Menurut Muhammad Nawawi al-Jawi, ayat ini berarti pemaksaan untuk masuk dalam suatu agama tidak dibenarkan.

Jawdat Sa’id dalam bukunya La Ikraha fi al-Din: Dirasah wa Abhats fiy al-Fikr al-Islam menyebut la ikraha fi ad din, qad tabayyana al-rusyd min al-ghayy sebagai ayat kabirat jiddan (ayat universal). Apalagi, menurut Jawdat Sa’id, ayat itu dinyatakan persis setelah ayat kursi yang dianggap sebagai salah satu ayat paling utama. Jika ayat kursi mengandung ajaran penyucian Allah, maka ayat la ikraha fi ad din mengandung penghormatan kepada manusia, yang salah satunya adalah menjamin hak kebebasan beragama.

Dalam menafsirkan ayat ini, bahwa yang dimaskud dengan pemaksaan (al-ikrah) adalah al-ghayy dan ini adalah jalan salah (al-thariq al-khathi). Sedang yang dimaksud dengan tanpa paksaan (alla ikrah) adalah al-rusyd dan ini adalah jalan benar (al-thariq al-shalih). Pengertian ayat ini adalah “tidak ada paksaan dalam, sungguh sudah jelas perbedaan antara tanpa paksaan dan pemaksaan.”

Perihal ayat tersebut, Pertama, ayat ini memberi jaminan agar seseorang tidak dipaksa orang lain tentang suatu hal, termasuk dalam beragama. Kedua, ayat ini bisa dipahami sebagai kalimat perintah (kalam insya’i) dan sebagai kalimat informatif (kalam ikhbari). Sebagai kalimat perintah, ia menyuruh kepada orang lain agar tidak memaksakan agama kepada orang lain. Sebagai kalam ikhbari, ayat ini memberitahukan bahwa seseorang yang dipaksa masuk pada suatu agama sementara hatinya menolak, maka orang itu tidak bisa dikatakan telah memeluk agam itu. Ini karena agama ada di dalam kemantapan hati bukan hanya dengan ucapan. Ketiga, tidak ada paksaan dalam beragama sama halnya tidak ada paksaan soal cinta, cinta tidak bisa datang dengan paksaan. Dengan demikian tidak ada agama dengan paksaan sebagaimana tidak ada paksaan dalam cinta. Keempat, ayat ini melarang membunuh orang lain yang pindah agama, karena ayat ini turun untuk melarang pemaksaan soal agama. Kelima, orang yang tidak menerima gagasan kebebasan beragama adalah orang yang tidak percaya dengan agama yang dianutnya. Agamanya tidak akan berkembang pesat sekiranya tidak dijalankan dengan paksaan, dengan alasan itu, mereka melakukan pemaksaan bahkan kekerasan agar orang lain masuk ke dalam agama yang dipeluk dirinya.

Para ulama tafsir menyebutkan beberapa sebab yang melatar belakangi turunnya ayat tersebut. Al-Qurthubi menjelaskan riwayat yang menceritakan sebab turunnya ayat ini. Pertama, Sulaiman Ibnu Musa menyatakan, ayat ini dinaskh dengan ayat lain yang membolehkan umat Islam membunuh umat agama lain, ia menambahkan Nabi Muhammad telah memaksa dan memerangi orang-orang yang tinggal di Arab untuk memeluk Islam. Ibnu Katsir mengutip pandangan sekelompok ulama yang menyatakan bahwa ayat tersebut sudah dinaskh dengan ayat perang (ayat al-qital). Menurutnya, seluruh umat manusia wajib diseru untuk masuk agama Islam. Sekiranya mereka tidak mau masuk Islam dan tidak mau membayar retribusi (jizyat), mereka wajib diperangi. Ibnu Katsir sendiri berpendirian, ayat tersebut merupakan perintah agar umat Islam tidak memaksa oarang lain masuk Islam. Sementara Thabathaba’i berpendapat, ayat ini tidak mungkin dinaskh tanpa menaskh illat hukumnya. Illat hukum itu tertera secara eksplisit dalam kalimat berikutnya yang menyatakan, antara al-rusyd (kebenaran) dan al-ghayy (kesesatan) sudah jelas.

Kedua, ayat tersebut tidak dinaskh. Tapi, ia turun secara khusus kepada Ahli Kitab, mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam selama masih membayar retribusi (jizyat). Pendapat ini dikemukakan al-Sya’bi, Qatadah, al-Hasan, dan al-Dhahhak. Para ulama tersebut memperkuat argumennya dengan riwayat Zaid ibn Aslam dari bapaknya. Ia Mendengar Umar ibn Khattab berbincang dengan perempuan tua yang beragam Kristen. “Masuk Islamlah wahai perempuan tua, niscaya engkau akan selamat, karena Allah mengutus Muhammad dengan membawa kebenaran. Lalu perempuan tua itu berkata, saya sudah tua renta dan sebentar lagi kematian akan menjemputku, Umar berkata, wahai Allah, saya bersaksi atas perempuan ini, kemudian Umar membaca ayat tadi.

Sementara pendapat lain menyatakan bahwa sebab turun ayat tersebut. Pertama, diriwayatkan Abu Dawud, al-Nasa’i, Ibnu Hibban, Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas. Alkisah, ada seorang perempuan tidak mempunyai anak. Ia berjanji pada dirinya bahwa sekiranya ia bisa mempunyai anak, maka anaknya akan dijadikan seorang Yahudi. Ia tidak akan membiarkan anaknya memeluk agama selain Yahudi. Dengan latar itu, maka ayat ini turun sebagai bentuk penolakan terhadap adanya pemaksaan dalam agama.

Kedua, suatu hari, kota Madinah kedatangan rombongan pedagang dari Syam. Mereka adalah saudagar-saudagar yang biasa memasok barang dagang ke Makkah dan Madinah. Para sudagar itu beragama Kristen. Sambil berdagang, mereka melakukan tugas misionari (dakwah) kepada penduduk di kawasan Jazirah Arab. Kedua anak Abu al-Husen (seorang sahabat Nabi dari kota Madinah, golongan Anshar yang taat beragama) yang bekerja sebagai pedagang minyak kerap membeli minyak dan kebutuhan lainnya dari para pedagang itu. Seperti biasanya, para pedagang itu mengkampanyekan agama mereka kepada para pedagang di Madinah, termasuk kedua anak Abu al-Husein. Karena khawatir tidak mendapat pasokan barang-barang dari para saudagar itu, maka kedua anak Abu al-Husein tersebut memutuskan diri masuk Kristen. Mereka dibaptis oleh para saudagar sebelum mereka kembali ke Syam. Mendengar kedua anaknya masuk Kristen, Abu al-Husein sangat terpukul, kemudian ia mendatangi Nabi dan mengadukan peristiwa yang terjadi padanya. Akibat peristiwa demikian maka turunlah wahyu pada Nabi yang berupa ayat ”La ikraha fi al-din” (tidak ada paksaan dalam beragama) (Al-Baqarah : 256).

Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari (w.528) dalam tafsirnya al-Kassyaf, menjelaskan ayat di atas lewat metode tafsir al-quran bil quran ; menafsirkan suatu ayat dengan ayat lainnya. Menurut mufassir yang terkenal karena keahliannya dalam balaghah dan sastra Arab itu, ayat la ikraha fi al-din merupakan konsekuensi dari ayat lain, yaitu: ”walau syaa a rabbuka laamana man fil ardhi kulluhum jami’an, afaanta tukrihu an-annasa khatta yakuunuu mu’minin” (kalau Tuhan menghendaki, maka akan berimanlah semua manusia yang ada di muka bumi. Apakah kalian hendak memaksa manusia agar mereka beriman) (Yunus : 99). Al- Zamakhsyari menegaskan bahwa persoalan keimanan adalah persoalan mendasar manusia, dan tidak boleh ada paksaan. Upaya pemaksaan untuk memilih atau beragama bertentangan dengan sunnah Allah yang terkandung dalam surat Yunus ayat 99 tadi,

Dengan mengetahui sabab al-nuzul tersebut, maka sudah sangat jelas bahwa pemaksaan dalam beragama tidak bisa dibenarka. Ibrahim al-Hafnawi menegaskan bahwa kebebasan beragama merupakan prinsip dasar ajaran Islam, sehingga tidak ditemukan satu ayatpun dalam al-Quran atau sebuah hadis yang bertentangan dengan prinsip dasar ajaran ini. Pendapat senada dikemukakan Rasyid Ridha. Karena keimanan merupakan pondasi agama yang esensinya adalah ketundukan diri, maka menurut Ridha ia tidak bisa dijalankan dengan paksaan. Sebab, persoalan keyakinan merupakan perkara pribadi (qadliyat syahsiyyat) dari setiap orang, sehingga tidak boleh ada paksaan. Jamal al-Banna menegaskan, Nabi hanya sekedar penyampai pesan. Dia tidak punya kewenangan untuk memaksa seseorang untuk mengikuti keyakinannya. Allah berfirman : “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu adalah orang yang memberi peringatan, dan bukan orang yang berkuasa atas mereka”. (Q.S: Al-Ghasiyyah [88] : 21-22).

Pakar tafsir modern Dr. Abdullah Yusuf Ali di dalam bukunya The Meaning of the Holy Quran, menafsirkan bahwa pemaksaan (compulsion) tidak sesuai dengan agama, karena Pertama, agama berdasarkan pada keyakinan dan kehendak (faith and will) dan agama tidak akan ada gunanya (meaningless) apabila dijalankan dengan pikiran dan hati yang terpaksa. Kedua, kebenaran dan kesalahan telah begitu jelas ditunjukan melalui kasih sayang Tuhan sehingga tidak perlu ada keraguan. Dan Ketiga, perlindungan Tuhan berlangsung terus menerus dan kasih sayang Tuhan adalah memberi petunjuk (huddan) kepada manusia dari kegelapan (dhulm) kepada cahaya (nur) kebenaran.

Sedangkan, Dr Sayyid Tantawi, Grand Syekh Al-Azhar menegaskan, setiap agama ditegakkan atas prinsip kebebasan bukan paksaan. Menurutnya, agama dan pemaksaan, seperti dua kutub magnet yang saling bertolak belakang, tidak pernah bisa bertemu. Tentunya pemaksaan terhadap keimanan akan menimbulkan dampak yang tidak baik, terjadinya ketegangan antara pihak yang dipaksa dengan yang memaksa, munculnya sikap munafik (hiprokrasi) karena seseorang yang terpaksa pasti tidak akan ikhlas menjalankannya dan secara tersembunyi akan membenci agamanya. Beranjak dari sini, mari kita bumikan ayat la ikraha fi al-din sebagai ayat humanis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan secara universal dan dapat dijadikan kiblat utama dalam menegakan prinsip-prinsip kebebasan beragama.

Secara konstitusional, jaminan kebebasan beragama di Indonesia sangat jelas dan tegas seperti dinyatakan di dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 “Negara berdasar atas ketuhanan yang maha Esa” dan ayat 2 ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan keyakinannya masing-masing”. Pernyataan jaminan kebebasan beragama dalam UUD 1945 tersebut pada prinsipnya sejalan dengan isi Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM, pasal 18 menyatakan : ”Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”

Selain itu juga Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila menyebutkan: ”Kebebasan beragama adalah salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia karena kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama ini bukan pemberian negara atau golongan.” dalam perkembangan berikutnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui TAP MPR Tahun 1998 No. XVII tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai hak asasi manusia sebagai tertera pada pasal 13: ”Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” ketentuan ini sejalan dengan rumusan yang terdapat dalam UUD 1945.

Kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang sangat mendasar, di dalam Islam kebebasan beragama dijamin mutlak bagi setiap manusia. Jaminan kebebasan beragama ini sangat penting bagi kehidupan manusia karena sebagai hak dan kebutuhan dasar manusia yang bisa memberikan rasa aman, tentram, dan damai. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kebebasan beragama dapat membawa kepada rasa saling menghormati diantara warga negara yang akan membawa kepada terciptanya sikap toleransi dan cinta kasih diantara mereka. Toleransi dan perasaan cinta kasih merupakan sesuatu yang paling dominan terciptanya kerjasama, saling gotong royong menuju perdamaian sebagaimana yang tercantum dalam cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.

Sejarah Islam mencatat teladan bagi paham kemajemukan dan kebebasan beragama, kebebasan beragama diterapkan dalam Konstitusi Madinah (Mitsaq Madinah) dalam ruang waktu ketika itu. Nabi Muhammad s.a.w. telah memberikan contoh dalam kehidupan yang pluralistik dimana antar pemeluk agama hidup berdampingan secara damai. Nabi mengakui eksistensi agama lain selain Islam, dan memberikan kebebasan kepada setiap pemeluk agama yang diyakininya. Tindakan Nabi bukan tanpa dasar, akan tetapi sebuah amanat yang diwahyukan Tuhan agar senantiasa diajarkan kepada seluruh manusia.

Diantara amanat Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w, yang berupa ayat-ayat al-Quran yang menyerukan kebebasan beragama diantaranya sebagai berikut:

”Untukku agamaku, dan untukmu agamamu” (Q.S Al-Kafirun: 6).

”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)” (Q.S. Al-Baqarah: 256).

”Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang dimuka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (Muhammad) hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriamn semuanya” (Q.S. Yunus: 99).

”Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia uamat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”(Q.S. Hud: 118).

Pengakuan kebebasan beragama bukan hanya terdapat pada beberapa ayat saja, akan tetapi merupakan sebuah fakta yang realistis baik melalui ketentuan wahyu maupun ketetapan Piagam Madinah yang merupakan pertama dalam sejarah kemanusiaan. Dengan fakta ini dapat dibuktikan betapa naifnya klaim yang mengatakan kebebasan beragama itu konsep Barat yang sengaja disusupkan ke Indonesia untuk mengikis akidah umat Islam. Piagam Madinah juga menjelaskan banyak interaksi antarpemeluk agama di kota Madinah, baik berkaitan soal keamanan, pertahanan, masalah belanja peperangan, dan bidang kehidupan sosial. Seperti pada pasal 37 menjelaskan bahwa: ”Orang-orang Muslim dan orang-orang Yahudi perlu bekerjasama dan saling menolong dalam menghadapi pihak musuh”.

Berikutnya pasal 44 berbunyi: ”Semua warga harus saling bahu-membahu dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan terhadap Yastrib.” lalu pada pasal 24 dinyatakan bahwa: ”Kedua pihak Muslim dan Yahudi bekerjasama dalam menanggung biaya apabila mereka melakukan perang bersama”. Dan terakhir pasal 38 menyebutkan: ”Seseorang tidak dipandang berdosa karena dosa sekutunya, dan orang teraniaya akan mendapat pembelaan.”

Bisa disimpulkan bahwa tujuan utama dari Piagam Madinah adalah membina persatuan dan kesatuan di kalangan penduduk yang berlainan agama serta menghindari terjadinya peperangan sehingga keamanan dan ketentraman dapat diwujudkan.

Namun sangat disesalkan mengapa contoh baik (uswah hasanah) dalam wujud kebebasan beragama yang telah di contohkan Nabi pada masanya tidak mampu dijabarkan dalam realitas kehidupan umat Islam, termasuk umat Islam di Indonesia dewasa ini. Bahkan kebebasan beragama yang telah dicontohkan Nabi pada abad ke-7 terasa asing dalam komunitas umat Islam sekarang ini. Padahal kebebasan beragama adalah sebuah amanat Tuhan pada Nabi, yang kemudian diamanatkan kepada seluruh umatnya. Jadi apakah kita mau berkhianat terhadap amanat ini dengan memfatwakan larangan kebebasan beragama?.

Menghargai HAM

Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia memproklamasikan bahwa semua umat manusia dilahirkan dengan kebebasan dan kesederajatan dalam martabat dan hak-haknya serta bahwa semua orang berhak akan semua hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi tersebut tanpa perbedaan apapun juga, Khususnya ras, warna kulit atau pun asal usul kebangsaan.

Konvenan Internasional Tenatang Hak-Hak Sipil Dan Politik (1966) Pasal 26 menyatakan, semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apa pun. Dalam hal ini hukum harus melarang setiap diskriminasi apa pun, dan menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang dari diskriminasi atas dasar apa pun seprti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.

Selanjutnya Pasal 27 menyatakan, di Negara-negara yang memiliki kelompok minoritas berdasarkan suku bangsa, agama atau bahasa, orang-orang yang tergolong dalam kelompok minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya untuk bersama-sama anggota kelompoknya yang lain, menikmati budaya mereka sendiri untuk menjalankan dan mengamalkan agamanya sendiri atau menggunakan bahasa mereka sendiri. Meskipun kelompok mayoritas menganggap sesat kelompok minoritas, maka Negara wajib melindungi dan memberikan jaminan hidup atas kelompok minoritas tersebut.

Konvensi Kerangka Untuk Perlindungan Minoritas Nasional (1995) Pasal 7 menyatakan, Pihak-pihak akan menjamin rasa hormat untuk setiap orang yang termasuk dalam minoritas bangsa untuk kebebasan berkumpul damai, kebebasan sosial, kebebasan ekspresi, dan kebebasan pemikiran, hati, nurani, dan agama. Kemudian Pasal 8 menyatakan, Pihak-pihak berusaha mengakui bahwa setiap orang yang termasuk dalam minoritas suatu bangsa memiliki hak untuk memanifestasikan agama atau keyakinannya dan membangun lembaga-lembaga, organisasi, dan asosiasi keagamaan. Oleh karena itu, sebuah kesalahan besar jika Negara ikut andil dalam menyesatkan bahkan mengkriminalkan dan tentunya melanggar atas hukum internasional.

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No.39/1999) dapat dikatakan merupakan undang-undang payung dari semua regulasi yang mengatur hak asasi manusia di Indonesia. Selain mengatur tentang berbagai macam hak dasar warga Negara, UU No.39/1999 juga menegaskan tentang kewajiban dan tanggung jawab pemerintah.

Hak Asasi Manusia tidak boleh dikurangi sedikit pun (non derogable). Hal ini dinyatakan tegas di dalam Deklarasi Universal PBB 1948 tentang hak asasi manusia (HAM). Selain merupakan hak asasi setiap manusia, juga telah menjadi hak sipil setiap warga Negara yang pemenuhannya menjadi kewajiban Negara, seperti tercantum dalam Konvenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil Politik (UU No. 12 Tahun 2005).

UDHR dan ICCPR tidak secara khusus mengakui agama-agama asli dalam kaitannya dengan keyakinan atau budaya dominan, kedua konvenan itu bahkan tidak menyebutkan sama sekali. Pasal 18 hanya menyatakan hak atas setiap orang atas kebebasan pemikiran, keyakinan, dan agama melarang pengunaan kekerasan atau paksaan untuk merusak kebebasan orang lain untuk menganut suatu agama atau keyakinan pilihan mereka.

Pada tahun 1992 Majelis Umum PBB mengintruksikan Kelompok Kerja Penduduk Asli (Working Group on Indigenous Populations) untuk merancang Deklarasi tentang Hak-Hak Bangsa Asli untuk dipertimbangkan oleh Komisi HAM. Draf deklarasi yang sudah diadopsi oleh PBB pada tahun 2007 menjadi UN Declaration on the Rights of Indegenous Peoples, secara eksplisit mengakui agama-agama asli dan melebihi dokumen-dokumen PBB lainnya dalam mengakui hak-hak bangsa asli dan dalam melindungi agama-agama asli.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 PBB Pasal 18 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau keyakinan dengan cara mengajarkannya, mempraktekannya, melaksanakan ibadahnya dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mensyaratkan agar materi Perda memenuhi 10 asas, di antaranya asas kebangsaan, kenusantaraan, kebhinekaan, asas kepastian hukum, kesamaan hukum dan asas keadilan.

Menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan beragama berarti menjunjung tinggi pula martabat agama Islam sebagai agama yang toleran, makna kasih sayang Tuhan bisa terwujud tanpa harus diingkari dengan perbuatan-perbuatan radikal, aksi-aksi kekerasan, karena kelompok atau golongan yang melakukan tindakan yang demikian merupakan ciri dari para perusak bumi seperti apa yang telah diseru al-Quran dahharal fasaadi fil barri wal bahri. Maka label yang pantas bukanlah sebagai penegak ajaran agama melainkan perusak agama dan bumi (minal mufsidiin).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun