Mohon tunggu...
Salamun Ali Mafaz
Salamun Ali Mafaz Mohon Tunggu... -

Penulis, pencinta kuliner nusantara, penikmat film dan musik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indahnya Hidup Bertoleransi: Memaknai Kebebasan Beragama

24 April 2013   15:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:40 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari (w.528) dalam tafsirnya al-Kassyaf, menjelaskan ayat di atas lewat metode tafsir al-quran bil quran ; menafsirkan suatu ayat dengan ayat lainnya. Menurut mufassir yang terkenal karena keahliannya dalam balaghah dan sastra Arab itu, ayat la ikraha fi al-din merupakan konsekuensi dari ayat lain, yaitu: ”walau syaa a rabbuka laamana man fil ardhi kulluhum jami’an, afaanta tukrihu an-annasa khatta yakuunuu mu’minin” (kalau Tuhan menghendaki, maka akan berimanlah semua manusia yang ada di muka bumi. Apakah kalian hendak memaksa manusia agar mereka beriman) (Yunus : 99). Al- Zamakhsyari menegaskan bahwa persoalan keimanan adalah persoalan mendasar manusia, dan tidak boleh ada paksaan. Upaya pemaksaan untuk memilih atau beragama bertentangan dengan sunnah Allah yang terkandung dalam surat Yunus ayat 99 tadi,

Dengan mengetahui sabab al-nuzul tersebut, maka sudah sangat jelas bahwa pemaksaan dalam beragama tidak bisa dibenarka. Ibrahim al-Hafnawi menegaskan bahwa kebebasan beragama merupakan prinsip dasar ajaran Islam, sehingga tidak ditemukan satu ayatpun dalam al-Quran atau sebuah hadis yang bertentangan dengan prinsip dasar ajaran ini. Pendapat senada dikemukakan Rasyid Ridha. Karena keimanan merupakan pondasi agama yang esensinya adalah ketundukan diri, maka menurut Ridha ia tidak bisa dijalankan dengan paksaan. Sebab, persoalan keyakinan merupakan perkara pribadi (qadliyat syahsiyyat) dari setiap orang, sehingga tidak boleh ada paksaan. Jamal al-Banna menegaskan, Nabi hanya sekedar penyampai pesan. Dia tidak punya kewenangan untuk memaksa seseorang untuk mengikuti keyakinannya. Allah berfirman : “Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu adalah orang yang memberi peringatan, dan bukan orang yang berkuasa atas mereka”. (Q.S: Al-Ghasiyyah [88] : 21-22).

Pakar tafsir modern Dr. Abdullah Yusuf Ali di dalam bukunya The Meaning of the Holy Quran, menafsirkan bahwa pemaksaan (compulsion) tidak sesuai dengan agama, karena Pertama, agama berdasarkan pada keyakinan dan kehendak (faith and will) dan agama tidak akan ada gunanya (meaningless) apabila dijalankan dengan pikiran dan hati yang terpaksa. Kedua, kebenaran dan kesalahan telah begitu jelas ditunjukan melalui kasih sayang Tuhan sehingga tidak perlu ada keraguan. Dan Ketiga, perlindungan Tuhan berlangsung terus menerus dan kasih sayang Tuhan adalah memberi petunjuk (huddan) kepada manusia dari kegelapan (dhulm) kepada cahaya (nur) kebenaran.

Sedangkan, Dr Sayyid Tantawi, Grand Syekh Al-Azhar menegaskan, setiap agama ditegakkan atas prinsip kebebasan bukan paksaan. Menurutnya, agama dan pemaksaan, seperti dua kutub magnet yang saling bertolak belakang, tidak pernah bisa bertemu. Tentunya pemaksaan terhadap keimanan akan menimbulkan dampak yang tidak baik, terjadinya ketegangan antara pihak yang dipaksa dengan yang memaksa, munculnya sikap munafik (hiprokrasi) karena seseorang yang terpaksa pasti tidak akan ikhlas menjalankannya dan secara tersembunyi akan membenci agamanya. Beranjak dari sini, mari kita bumikan ayat la ikraha fi al-din sebagai ayat humanis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan secara universal dan dapat dijadikan kiblat utama dalam menegakan prinsip-prinsip kebebasan beragama.

Secara konstitusional, jaminan kebebasan beragama di Indonesia sangat jelas dan tegas seperti dinyatakan di dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 “Negara berdasar atas ketuhanan yang maha Esa” dan ayat 2 ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan keyakinannya masing-masing”. Pernyataan jaminan kebebasan beragama dalam UUD 1945 tersebut pada prinsipnya sejalan dengan isi Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM, pasal 18 menyatakan : ”Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.”

Selain itu juga Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila menyebutkan: ”Kebebasan beragama adalah salah satu hak yang paling asasi di antara hak-hak asasi manusia karena kebebasan beragama itu langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama ini bukan pemberian negara atau golongan.” dalam perkembangan berikutnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mendukung kebebasan beragama melalui TAP MPR Tahun 1998 No. XVII tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai hak asasi manusia sebagai tertera pada pasal 13: ”Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” ketentuan ini sejalan dengan rumusan yang terdapat dalam UUD 1945.

Kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia yang sangat mendasar, di dalam Islam kebebasan beragama dijamin mutlak bagi setiap manusia. Jaminan kebebasan beragama ini sangat penting bagi kehidupan manusia karena sebagai hak dan kebutuhan dasar manusia yang bisa memberikan rasa aman, tentram, dan damai. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kebebasan beragama dapat membawa kepada rasa saling menghormati diantara warga negara yang akan membawa kepada terciptanya sikap toleransi dan cinta kasih diantara mereka. Toleransi dan perasaan cinta kasih merupakan sesuatu yang paling dominan terciptanya kerjasama, saling gotong royong menuju perdamaian sebagaimana yang tercantum dalam cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.

Sejarah Islam mencatat teladan bagi paham kemajemukan dan kebebasan beragama, kebebasan beragama diterapkan dalam Konstitusi Madinah (Mitsaq Madinah) dalam ruang waktu ketika itu. Nabi Muhammad s.a.w. telah memberikan contoh dalam kehidupan yang pluralistik dimana antar pemeluk agama hidup berdampingan secara damai. Nabi mengakui eksistensi agama lain selain Islam, dan memberikan kebebasan kepada setiap pemeluk agama yang diyakininya. Tindakan Nabi bukan tanpa dasar, akan tetapi sebuah amanat yang diwahyukan Tuhan agar senantiasa diajarkan kepada seluruh manusia.

Diantara amanat Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w, yang berupa ayat-ayat al-Quran yang menyerukan kebebasan beragama diantaranya sebagai berikut:

”Untukku agamaku, dan untukmu agamamu” (Q.S Al-Kafirun: 6).

”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)” (Q.S. Al-Baqarah: 256).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun