Mohon tunggu...
Salamun Ali Mafaz
Salamun Ali Mafaz Mohon Tunggu... -

Penulis, pencinta kuliner nusantara, penikmat film dan musik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indahnya Hidup Bertoleransi: Memaknai Kebebasan Beragama

24 April 2013   15:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:40 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam bukunya The Monotheists: Jews, Christians, and Muslims in Conflict and Competion F.E. Peters menyimpulkan bahwa dalam sejarahnya, kaum monoteis merupakan yang paling sulit bersikap toleran dalam beragama. Kaum monoteis terlahir sebagai fanatik, sebuah sikap yang mereka pelajari dari pencipta menurut mereka, Tuhan pencemburu (a jealous God) yang tidak membiarkan pesaing dan menuntut kesetiaan (fidelity) para pengikutnya. Tidak heran ketika memungkinkan kaum Yahudi, Nasrani, Muslim memperlihatkan zero tolerance terhadap kaum qoyim, ethne, pagani, atau kafir yang harus menerima konsep satu Tuhan atau kalu tidak mati, jadi budak, atau warga kelas dua. Tetapi itu dulu, sekarang di zaman modern Peters berpendapat, ada hukum bersama yang harus ditaati semua. Kebebasan beragama telah diakui sebagai hak asasi manusia baik oleh Yahudi, Kristen, maupun Islam, dalam penerapan dan pemahaman yang berbeda-beda. Kaum monoteis ini kemudian harus mengakui keberagamaan Nabi Ibrahim sebagai titik temu.

“Tidak ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata kebenaran dan kesesatan. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, sesunguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tak akan putus. Allah Maha Mendengar dan Mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 256).

Dari sudut gramatika bahasa Arab tampak bahwa kata “la” dalam ayat di atas termasuk “la linafyi al-jinsi”, dengan demikian berarti menafikan seluruh jenis paksaan dalam soal agama. Ayat ini juga dikemukakan dengan lafzh ‘am. Dalalat lafzh ‘am menurut ushul fikih Hanafiyah, adalah qath’i sehingga tidak mungkin ditakhsish apalagi dinaskh dengan dalil yang zhanni. Ayat ini merupakan teks fondasi atau dasar penyikapan Islam terhadap jaminan kebebasan beragama.

Abu muslim dan al-Qaffal berpendapat, ayat ini hendak menegaskan bahwa keberimanan didasarkan atas suatu pilihan sadar dan bukan atas suatu tekanan. Menurut Muhammad Nawawi al-Jawi, ayat ini berarti pemaksaan untuk masuk dalam suatu agama tidak dibenarkan.

Jawdat Sa’id dalam bukunya La Ikraha fi al-Din: Dirasah wa Abhats fiy al-Fikr al-Islam menyebut la ikraha fi ad din, qad tabayyana al-rusyd min al-ghayy sebagai ayat kabirat jiddan (ayat universal). Apalagi, menurut Jawdat Sa’id, ayat itu dinyatakan persis setelah ayat kursi yang dianggap sebagai salah satu ayat paling utama. Jika ayat kursi mengandung ajaran penyucian Allah, maka ayat la ikraha fi ad din mengandung penghormatan kepada manusia, yang salah satunya adalah menjamin hak kebebasan beragama.

Dalam menafsirkan ayat ini, bahwa yang dimaskud dengan pemaksaan (al-ikrah) adalah al-ghayy dan ini adalah jalan salah (al-thariq al-khathi). Sedang yang dimaksud dengan tanpa paksaan (alla ikrah) adalah al-rusyd dan ini adalah jalan benar (al-thariq al-shalih). Pengertian ayat ini adalah “tidak ada paksaan dalam, sungguh sudah jelas perbedaan antara tanpa paksaan dan pemaksaan.”

Perihal ayat tersebut, Pertama, ayat ini memberi jaminan agar seseorang tidak dipaksa orang lain tentang suatu hal, termasuk dalam beragama. Kedua, ayat ini bisa dipahami sebagai kalimat perintah (kalam insya’i) dan sebagai kalimat informatif (kalam ikhbari). Sebagai kalimat perintah, ia menyuruh kepada orang lain agar tidak memaksakan agama kepada orang lain. Sebagai kalam ikhbari, ayat ini memberitahukan bahwa seseorang yang dipaksa masuk pada suatu agama sementara hatinya menolak, maka orang itu tidak bisa dikatakan telah memeluk agam itu. Ini karena agama ada di dalam kemantapan hati bukan hanya dengan ucapan. Ketiga, tidak ada paksaan dalam beragama sama halnya tidak ada paksaan soal cinta, cinta tidak bisa datang dengan paksaan. Dengan demikian tidak ada agama dengan paksaan sebagaimana tidak ada paksaan dalam cinta. Keempat, ayat ini melarang membunuh orang lain yang pindah agama, karena ayat ini turun untuk melarang pemaksaan soal agama. Kelima, orang yang tidak menerima gagasan kebebasan beragama adalah orang yang tidak percaya dengan agama yang dianutnya. Agamanya tidak akan berkembang pesat sekiranya tidak dijalankan dengan paksaan, dengan alasan itu, mereka melakukan pemaksaan bahkan kekerasan agar orang lain masuk ke dalam agama yang dipeluk dirinya.

Para ulama tafsir menyebutkan beberapa sebab yang melatar belakangi turunnya ayat tersebut. Al-Qurthubi menjelaskan riwayat yang menceritakan sebab turunnya ayat ini. Pertama, Sulaiman Ibnu Musa menyatakan, ayat ini dinaskh dengan ayat lain yang membolehkan umat Islam membunuh umat agama lain, ia menambahkan Nabi Muhammad telah memaksa dan memerangi orang-orang yang tinggal di Arab untuk memeluk Islam. Ibnu Katsir mengutip pandangan sekelompok ulama yang menyatakan bahwa ayat tersebut sudah dinaskh dengan ayat perang (ayat al-qital). Menurutnya, seluruh umat manusia wajib diseru untuk masuk agama Islam. Sekiranya mereka tidak mau masuk Islam dan tidak mau membayar retribusi (jizyat), mereka wajib diperangi. Ibnu Katsir sendiri berpendirian, ayat tersebut merupakan perintah agar umat Islam tidak memaksa oarang lain masuk Islam. Sementara Thabathaba’i berpendapat, ayat ini tidak mungkin dinaskh tanpa menaskh illat hukumnya. Illat hukum itu tertera secara eksplisit dalam kalimat berikutnya yang menyatakan, antara al-rusyd (kebenaran) dan al-ghayy (kesesatan) sudah jelas.

Kedua, ayat tersebut tidak dinaskh. Tapi, ia turun secara khusus kepada Ahli Kitab, mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam selama masih membayar retribusi (jizyat). Pendapat ini dikemukakan al-Sya’bi, Qatadah, al-Hasan, dan al-Dhahhak. Para ulama tersebut memperkuat argumennya dengan riwayat Zaid ibn Aslam dari bapaknya. Ia Mendengar Umar ibn Khattab berbincang dengan perempuan tua yang beragam Kristen. “Masuk Islamlah wahai perempuan tua, niscaya engkau akan selamat, karena Allah mengutus Muhammad dengan membawa kebenaran. Lalu perempuan tua itu berkata, saya sudah tua renta dan sebentar lagi kematian akan menjemputku, Umar berkata, wahai Allah, saya bersaksi atas perempuan ini, kemudian Umar membaca ayat tadi.

Sementara pendapat lain menyatakan bahwa sebab turun ayat tersebut. Pertama, diriwayatkan Abu Dawud, al-Nasa’i, Ibnu Hibban, Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas. Alkisah, ada seorang perempuan tidak mempunyai anak. Ia berjanji pada dirinya bahwa sekiranya ia bisa mempunyai anak, maka anaknya akan dijadikan seorang Yahudi. Ia tidak akan membiarkan anaknya memeluk agama selain Yahudi. Dengan latar itu, maka ayat ini turun sebagai bentuk penolakan terhadap adanya pemaksaan dalam agama.

Kedua, suatu hari, kota Madinah kedatangan rombongan pedagang dari Syam. Mereka adalah saudagar-saudagar yang biasa memasok barang dagang ke Makkah dan Madinah. Para sudagar itu beragama Kristen. Sambil berdagang, mereka melakukan tugas misionari (dakwah) kepada penduduk di kawasan Jazirah Arab. Kedua anak Abu al-Husen (seorang sahabat Nabi dari kota Madinah, golongan Anshar yang taat beragama) yang bekerja sebagai pedagang minyak kerap membeli minyak dan kebutuhan lainnya dari para pedagang itu. Seperti biasanya, para pedagang itu mengkampanyekan agama mereka kepada para pedagang di Madinah, termasuk kedua anak Abu al-Husein. Karena khawatir tidak mendapat pasokan barang-barang dari para saudagar itu, maka kedua anak Abu al-Husein tersebut memutuskan diri masuk Kristen. Mereka dibaptis oleh para saudagar sebelum mereka kembali ke Syam. Mendengar kedua anaknya masuk Kristen, Abu al-Husein sangat terpukul, kemudian ia mendatangi Nabi dan mengadukan peristiwa yang terjadi padanya. Akibat peristiwa demikian maka turunlah wahyu pada Nabi yang berupa ayat ”La ikraha fi al-din” (tidak ada paksaan dalam beragama) (Al-Baqarah : 256).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun