Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU No.39/1999) dapat dikatakan merupakan undang-undang payung dari semua regulasi yang mengatur hak asasi manusia di Indonesia. Selain mengatur tentang berbagai macam hak dasar warga Negara, UU No.39/1999 juga menegaskan tentang kewajiban dan tanggung jawab pemerintah.
Hak Asasi Manusia tidak boleh dikurangi sedikit pun (non derogable). Hal ini dinyatakan tegas di dalam Deklarasi Universal PBB 1948 tentang hak asasi manusia (HAM). Selain merupakan hak asasi setiap manusia, juga telah menjadi hak sipil setiap warga Negara yang pemenuhannya menjadi kewajiban Negara, seperti tercantum dalam Konvenan Internasional mengenai Hak-hak Sipil Politik (UU No. 12 Tahun 2005).
UDHR dan ICCPR tidak secara khusus mengakui agama-agama asli dalam kaitannya dengan keyakinan atau budaya dominan, kedua konvenan itu bahkan tidak menyebutkan sama sekali. Pasal 18 hanya menyatakan hak atas setiap orang atas kebebasan pemikiran, keyakinan, dan agama melarang pengunaan kekerasan atau paksaan untuk merusak kebebasan orang lain untuk menganut suatu agama atau keyakinan pilihan mereka.
Pada tahun 1992 Majelis Umum PBB mengintruksikan Kelompok Kerja Penduduk Asli (Working Group on Indigenous Populations) untuk merancang Deklarasi tentang Hak-Hak Bangsa Asli untuk dipertimbangkan oleh Komisi HAM. Draf deklarasi yang sudah diadopsi oleh PBB pada tahun 2007 menjadi UN Declaration on the Rights of Indegenous Peoples, secara eksplisit mengakui agama-agama asli dan melebihi dokumen-dokumen PBB lainnya dalam mengakui hak-hak bangsa asli dan dalam melindungi agama-agama asli.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 PBB Pasal 18 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, hati nurani dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau keyakinan dengan cara mengajarkannya, mempraktekannya, melaksanakan ibadahnya dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mensyaratkan agar materi Perda memenuhi 10 asas, di antaranya asas kebangsaan, kenusantaraan, kebhinekaan, asas kepastian hukum, kesamaan hukum dan asas keadilan.
Menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan beragama berarti menjunjung tinggi pula martabat agama Islam sebagai agama yang toleran, makna kasih sayang Tuhan bisa terwujud tanpa harus diingkari dengan perbuatan-perbuatan radikal, aksi-aksi kekerasan, karena kelompok atau golongan yang melakukan tindakan yang demikian merupakan ciri dari para perusak bumi seperti apa yang telah diseru al-Quran dahharal fasaadi fil barri wal bahri. Maka label yang pantas bukanlah sebagai penegak ajaran agama melainkan perusak agama dan bumi (minal mufsidiin).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H