Mohon tunggu...
Salamun Ali Mafaz
Salamun Ali Mafaz Mohon Tunggu... -

Penulis, pencinta kuliner nusantara, penikmat film dan musik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indahnya Hidup Bertoleransi: Memaknai Kebebasan Beragama

24 April 2013   15:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:40 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketiga, hilangnya toleransi dapat juga dilihat dari sikap kelompok-kelompok agama terhadap adat dan kebudayaan asli masyarakat tertentu, terlebih terhadap masyarakat yang sudah tercampur dengan agama. Mereka sering disebut sebagai agama sinkretik, takhayul, dan telah keluar dari jalur agama yang benar atau bahkan dikatakan musyrik. Meskipun kenyatannya terjadi benturan yang tidak terlalu serius, tetapi sikap kelompok agama yang resmi cenderung tidak toleran, memusuhi, bahkan main hakim sendiri.

Maka dengan hilangnya toleransi dalam masyarakat agama dan adat tentu saja dapat mengancam bangunan perdamaian (peace building) yang ditunjukan dalam bentuk konflik atau aksi kekerasan, konflik memang sudah menjadi kenyataan hidup yang tidak terhindarkan. Ketika tujuan masyarakat atau kelompok tidak sesuai maka konfliklah yang kerap kali terjadi, terutama faktor agama dan budaya (adat) seringkali dijadikan masalah utama meledaknya konflik yang berakhir pada jatuhnya korban jiwa.

Melihat fakta kekerasan ini para pendidik agama dan penggerak dakwah sosial keagamaan merasa heran. Mengapa program transmisi dan konservasi nilai keagamaan yang begitu mulia dan berharga diberbagai tradisi keagamaan berubah menjadi intoleransi dan konfrontasi. Bukankah era modern dikalim sebagai era paling berkeadaban (civilized) dalam catatan sejarah peradaban umat manusia.

Dalam konteks inilah, inisiatif atau prakarsa para pemuka agama dalam mengupayakan perdamaian dalam berbagai bentuk kegiatan sampai penyelesaian konflik dapat teratasi, karena bagaimanapun juga para pemuka agama inilah yang mempunyai kharisma serta pengaruh dalam penyelesaian konflik. Paling tidak ketika terjadinya sebuah konflik unsur-unsur yang menjadi bagian adalah pemerintah, pelaku ekonomi, wartawan, tokoh agama serta masyarakat, wakil-wakil etnik dan ras, intelektual, cendekiawan, profesional, serta para ahli dibidangnya masing-masing.

Memang sangat sulit membedakan watak, sikap masing-masing manusia supaya mengikuti satu jalur menuju toleransi. Ahli psikolog seperti Louis Thurstone (1928), Rensist Likert (1932), dan Charlest Osgood, mendefinisikan sikap manusia adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap terhadap sesuatu objek merupakan perasaan menerima atau memihak (favorable) maupun menolak atau tidak memihak (unfavorable) terhadap sesuatu objek itu. Sikap dalam hal ini sebagai motivasi dan kecenderungan terhadap sesuatu baik positif maupun negatif. Untuk itu, La Pierre mendefinisikan sikap sebagai suatu pola prilaku, tendensi, atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial. Atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimulasi sosial yang telah terkondisikan.

Sikap merupakan proses tendensi/kecenderungan untuk berbuat sesuatu objek, seperti contoh kecenderungan seseorang terhadap perdamaian antarpemeluk agama. Objek sikap adalah perdamaian, pada tataran kognitif orang tahu bahwa perdamaian itu sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, jika merasa gembira atau sedih apabila ada perdamaian, maka itulah bentuk sikap pada ranag efektif terhadap objek perdamaian. Akan tetapi jika merasa senang terhadap perdamaian lalu terdorong untuk mewujudkan perdamaian, maka sikap itu berada pada ranah konatif. Dengan kata lain apabila seseorang memiliki sikap yang positif terrhadap perdamaian, maka ia akan siap dan berusaha membantu, memperhatikan, dan mewujudkan perdamaian itu. Tetapi jika yang dimiliki sikap negatif, maka ia akan menjauhi perdamaian dan membenci akan terwujudnya perdamaian itu.

Selayaknya bagi kita, dengan adanya perbedaan-perbedaan pada masing-masing individu pemeluk agama untuk selalu mewujudkan semaksimal mungkin kokohnya bangun toleransi, tanpa sikap toleransi mustahil akan tercipta rasa tentram, aman, damai dalam berinteraksi sosial terlebih hubungan antar agama. Maka beranjak dari sini, toleransi beragama merupakan harga mati dalam beragama yang harus dibayar mahal.

Kebebasan Beragama

Istilah kebebasan beragama (freedom of religion/faith/belief, liberte de conscience, al-huriyyah al-diniyah) menjadi problem yang sangat penting, pada tahun 1789 ketika Revolusi Perancis meletus, yang berlatar belakang perang antar agama, ras, kasta, serta tindakan diskriminasi penguasa. Maka beberapa tokoh seperti Jean Jacques Rosseau, Monthesque, Voltaire, Lafayette, serta para tokoh yang ikut terlibat memperjuangkan demokrasi begitu mencita-citakan sekali adanya kebebasan (liberte), persamaan (egalite) dan persaudaraan (faternite) karena merujuk kepada pandangan filosofis bahwa ”manusai terlahir dan tetap bebas serta setara hak-haknya” (Men are born and remain free and equal in rights).

Problem kebebasan beragama menjadi lebih krusial sejak awal abad ke-20 ketika minoritas-minoritas keagamaan baru muncul di negara-negara maju di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia, serta semua negara di dunia akibat migrasi, melonjaknya angka kelahiran, konversi, revolusi besar-besaran. Kini kebebasan beragama bukanlah problem unik satu negara saja, bahkan di negara-negara demokratis-sekuler seperti Amerika Serikat dan Perancis. Di negara-negara yang memiliki jumlah penduduk muslim yang sangat signifikan, bahkan mayoritas seperti di Indonesia, problem kebebasan beragama juga menjadi isu seru (actual issue) hingga sekarang.

Kemerdekaan manusia adalah asas keberagamaan yang sejati. Pemaksaan dan keterpaksaan untuk beragama melahirkan kepalsuan dan ketidaksejatian (superfical atau psedo-religiosity). Pemaksaan yang dilakukan seseorang, kelompok, atau negara terhadap setiap individu atau kelompok untuk beragama dengan cara-cara tertentu yang tidak sesuai dengan pikiran dan hati nuraninya sendiri akan menimbulkan kekacuan dan ketidaklanggengan dalam beragama. Begitupula larangan kepada orang lain untuk pindah agama, keluar dari satu agama dan masuk kepada agama lain, justru akan berakibat buruk terhadap orang tersebut dan masyarakat pada umumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun