Tersabet Daun Kedondong
Semula ini berawal dari omongan tetanggaku. Resiko tinggal di kampung memang begini. Tak ada batas privasi. Banyak mulut mengomentari dari yang perlu sampai tidak perlu.
"Anakmu sudah setahun, kok belum ada tanda-tanda bisa jalan?" begitu tanya tetangga di ujung gang.Â
Rasanya aku ingin punya motor atau mobil, jadi tak perlu jalan melewati rumah tetangga dan dihentikan dengan banyak pertanyaan kepo. Namun, apadaya tinggal di kampung ini pun aku masih mengontrak.
Aku tak pernah mengeluh hidup susah. Tapi aku mengeluh dengan rentetan komentar orang. Serba salah tinggal di kampung ini. Bergaul salah, tidak bergaul lebih salah.
"Nggak usah baper, Ma... Gitu saja kok! Kamu kan tahu masing-masing anak berbeda perkembangannya, " kata suamiku.Â
Aku menggaruk kepalaku. Apa aku memang baper dengan segala kelelahan mengurus anak-anak ini?
Tapi makin hari makin jadi baperku. Anakku jadi omongan ibu-ibu kampung. Alamak... bagaimana membuat mulut-mulut itu mingkem?
Dan tahukah, aku merasa semakin hari semakin banyak mulut-mulut bersuara. Sebagai ibu muda alias mahmud, aku sering terbawa emosi.
"Bawa ke dokter anak, gih! Nanti keburu telat, "
"Jangan, yang benar ke dokter spesialis tumbuh-kembang. Ada di rumah sakit di ujung jalan, "
"Nggak apa, dulu anakku juga 14 bulan baru jalan, "
"Coba deh dibawa ke tukang urut. Anakku bisa jalan setelah kubawa kesana, "
"Sepertinya ada masalah tulang, anakmu kurang kuat saat berdiri. Harusnya mau merambat!"
Suara-suara itu semakin menggangguku. Ingin kuambil lap dapur dan kemudian menyumpal mulut-mulut ibu-ibu itu. Benar-benar lambe turah! Tapi kuurungkan niatku.Â
"Santai saja. Kenapa kamu jadi baper?" kata suamiku.
"Hmmm.. benar juga, kenapa aku ikut ngegas? Bodo amat dengan omongan orang. So what gitu loh!"
Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Kini Rona sudah menginjak 14 bulan. Tiap hari aku memberinya stimulasi.Â
Aku tak pernah lelah mengajarinya untuk berusaha merambat dan berdiri. Dia sudah lancar merangkak, tapi tak pernah mencoba berdiri lama dan merambat.
Sabar sudah seperti aliran nafas yang kuhirup. Aku ingat Rino, kakak Rona, sudah bisa berjalan saat usia 11 bulan.
"Setiap anak spesial. Tak baik kau banding-bandingkan, " suara itu bergema di ruang hati. Akhirnya kuputuskan untuk kembali sabar. Entah sampai kapan.
***
Sore ini aku lelah luar biasa. Bukan cuma ragaku, tapi jiwa dan pikiranku. Aku ingin membawa Rona ke dokter, tapi apa daya bulan ini waktunya membayar kontrakan.
Seketika aku ingat salah satu omongan yang pernah kudengar. "Tukang urut!" Hatiku girang. Ide bagus. Sesuai bujet dan katanya banyak yang berhasil. Memang tak sekali. Katanya minimal tiga kali.
Aku bergegas mengambil gawaiku. Kutulis pesan pertanyaan untuk tetangga depanku, dimana tukang urut yang pernah dipakainya.
Dengan kekuatan jempol, esoknya ibu tukang urut sudah datang ke rumah. Suamiku sudah pergi ke tempat kerja.
Kupersilahkan ibu tukang urut yang seumuran ibu mertuaku. Orangnya terlihat baik dan ramah. Rona pun terlihat suka dan tidak rewel.
Rona nyaman dipijit ibu tukang urut tersebut. Dia meminta dipanggil Mak Suni. Tak terasa selama 30 menit, dia memijit Rona.
Setelah itu kulihat Mak Suni meraih tasnya yang besar. Lalu mengeluarkan daun yang masih bergagang. Sejenak dia diam dan komat-kamit.
Aku terkejut dengan apa yang dilakukan. Daun yang kemudian kuketahui adalah daun kedondong itu disabet-sabetkan ke kaki Rona. Rona diam saja.
"Sudah, Nak... cepat kuat kakinya ya?!" katanya.
***
"Halo, Ibu jam berapa sampai stasiun?" tanyaku ke ibu mertua lewat telpon
Sore ini beliau akan datang. Aku antusias sekali. Ibu mertuaku baik sekali. Beliau sayang sekali sama aku, mungkin karena suamiku adalah anak kesayangannya.
Bergegas kupersiapkan menjemput Ibu ke stasiun. Anak-anak sudah mandi. Aku segera memesan taxi online. Dua anakku juga semangat menjemput neneknya.
Dalam perjalanan menuju stasiun, aku tiba-tiba berpikir apakah ibu kecewa jika tahu Rona belum bisa berjalan. Hatiku galau.
Sampai di stasiun, ternyata Ibu sudah berdiri di area kedatangan. Aku sudah hafal tempat beliau menunggu karena sudah beberapa kali Ibu datang.
"Enek.. Nek..." kata Rona. Dia sudah terbiasa tersambung dengan panggilan video dengan Ibu. Aku senang mendengarnya. Ternyata Rona bagus verbalnya dan mampu mengenali neneknya.
Kupersilahkan ibu naik ke taxi. Aku yang mengangkat dua tas besar dan sopir taxi baik hati membantu mengangkat 4 karton besar. Itulah kebiasaan mertuaku jika datang, seolah membawa barang dagangan banyak.
Di dalam taxi, kami bercanda-ria. Ibu memang selalu menghidupkan suasana.
"Rona sudah pinter ngomong ya? Cucu nenek yang baik, " pujinya pada Rona.
"Bu, tapi Rona belum jalan..." ucapku pilu. Ibu terkejut.
"Oh, nggak papa.. nanti belajar sama nenek! Pasti bisa, belum waktunya aja ya, Nak?" katanya.Â
Ah, Ibu selalu membesarkan hatiku. Itulah Ibu mertuaku. Hatinya seperti malaikat yang lembut dan baik.
Sampai di rumah, Ibu lalu asyik bermain dengan Rona dan Rino. Aku pun jadi punya waktu memasak dan beberes.
"Rona, merangkaknya sudah cepat. Besok bisa jalan ya, Nak?" kudengar suara Ibu dari dapur.
Malamnya Ibu tidur lebih cepat. Begitu juga suami dan anak-anak. Aku senang mereka tidur pulas karena gembira hari ini.
Subuh aku terbangun. Rencana akan memasak pagi. Ketika keluar kamar kudengar suara lamat-lamat. Sepertimnya dari kamar Ibu di depan. Di rumah mungil ini semua bisa terjangkau dan terdengar.
Kudengar lantunan doa Salam Maria. "Pasti Ibu sedang berdoa Rosario!" Sungguh, aku beruntung punya Ibu mertua seperti beliau. Teladan imannya sungguh luar biasa!
Aku segera ke dapur untuk segera berakrobat sebagai koki gadungan. Kumasak sayur asem-asem buncis dan daging, telur dadar, dan sup wortel. Tak sampai 2 jam dapurku sudah kinclong lagi.
***
"Ayo-ayo berdiri, terus pegang kursinya, Nak!" Ibu Mertuaku memberi semangat Rona.
Rona tersenyum manis sekali. Tapi kulihat dia berhenti dan berpikir sebelum mencoba berdiri.
"Apa dia ada kelainan tulang ya, Bu? Anak-anak lain sudah jalan semua, " tanyaku.
"Enggak. Wong dia bisa merangkak kok. Kayaknya dia ini "agak malas" jadi butuh disemangati, "
"Aku kuatir, Bu..."
Rona sudah berdiri memegang kursi. Tiba-tiba Rona hampir jatuh. Ibu sigap ingin menangkap. Namun Rona justru mendorong kursi plastik itu dengan kedua tangannya. Kaki mungilnya melangkah maju.
Aku tercengang. "Ayo, dorong terus Rona... sambil jalan, Nak! " kata ibu mertuaku yang kini berada di belakang Rona.
"Ayo, adek... terus... terus... sini..." kata Rino kepada adiknya. Rino tak kalah semangat dari neneknya.
Aku tercekat tak percaya. "Ayo sayang... anak pinter!" aku pun ikut menyemangatinya.
Sungguh ada apa dengan semua ini? Rona dalam hitungan detik memperlihatkan kemajuan pesat.
Malamnya, Rona masih mencoba mendorong kursi kesana-sini. Ayahnya ikut senang. Kami berlima bertepuk-tangan jika Rona mampu menyelesaikan tantangan mendorong kursi dari ujung ke ujung.
Kegembiraan itu membawa kami tidur dengan pulas sepulas-pulasnya. Rona dan Rino tak rewel sedikit pun saat malam.
***
Aku bangun pagi dengan segar dan semangat. Kuputuskan untuk tidak memasak.
Hari ini aku pergi untuk misa harian pagi. Setelah itu aku membeli makanan untuk orang rumah.
Hari Jumat suamiku ke kantor lebih siang, biasanya hanya bertemu klien saja.
Sepulang dari gereja aku merasa damai. Tiba di rumah, kulihat ibu sedang menyiram bunga-bungaku yang tak seberapa itu.
"Katanya kamu misa pagi, kok nggak aja Ibu? " tanyanya.
"Iya, Bu... saya lupa kasih tahu semalam. Tadi pagi saya tak tega membangunkan Ibu. Ibu enak sekali tidurnya. Maaf ya, Bu?"
"Iya, hari ini Ibu kesiangan. Alarm jam 4 pagi pun sampai nggak kedengaran, "
Ibu tersenyum. Aku pun tersenyum. Aku sebenarnya malu pada Ibu. Sebenarnya aku tidak rajin mengikuti misa pagi.
Pagi ini aku misa pagi untuk sekalian mengaku dosa. Aku telah berdosa karena lebih percaya pada sabetan daun kedondong. Omongan orang sudah menggoyahkan imanku akan kuasa Allah.
"Saya berdosa. Saya berdosa. Saya sungguh berdosa..."Â
--- Tamat ---
* mingkem : menutup mulut
** lambe turah : mulut yang nganggur sehingga menggosip
*** Artikel ditulis untuk Kompasiana. Dilarang menyalin/menjiplak/menerbitkan ulang untuk tujuan apapun tanpa ijin penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H