Na, seorang perempuan muda. Istri dari suami yang baik dan ibu dari 2 orang anak. Ibu rumah tangga yang optimis dan dinamis. Hanya saja sering galau menghadapi kehidupan. Serial Na adalah perjalanan hatinya yang penuh warna. Kadang gembira-ria, kadang sedih, galau, konyol, dan namun selalu diakhiri dengan senyum.
***
Pagi-pagi Na jogging keliling cluster. Katanya udara pagi bagus untuk merangsang metabolisme tubuh dan membakar lemak. Sampai di putaran ketiga, Na mulai merasa lelah. Langkahnya mulai melambat. Di ujung jalan, dia bertemu oma-oma yang menyapanya terlebih dahulu.
"Pagi dek... wah rajin pagi-pagi sudah jogging ya?"
"Iya Oma... mumpung anak-anak masih tidur. Selamat pagi Oma.." sapa Na sembari mengulurkan tangan.
Mereka berjabat tangan. Setelah itu, terdengar Oma meminta bantuan Na mengangkat pot tanaman yang baru saja ditanami bibit cabe.
"Makasih ya, Nak..  begini ini, Ayu itu di rumah, tidak kerja tapi malas ngurus tanaman, " gumam Oma. Na mulai memundurkan langkahnya. Sepertinya tanda-tanda Oma akan  bercerita tentang bu Ayu.
"Mungkin nggak sempat, Oma. Ngurus anak juga ngabisin waktu. Apalagi anak bu Ayu laki-laki semua, Oma.. " Na menjawab dengan diplomatis. Tapi ekspresi Oma malah sebaliknya.
"Memang beda-beda ya. Kalau mantu Oma yang satunya rajin. Dia juga tidak kerja, tapi mengerti dengan kondisi suami. Jadi dia ikut menopang ekonomi keluarga. Bikin macam-macam kue. Kalau Ayu ini cuma ngurusin anak, kumpul-kumpul sama temannya. Ya, ibu-ibu jaman sekarang seperti itu ya? Suami kerja keras, dia yang hidup enak.." Jelas Oma panjang lebar dengan nada sedikit berbisik.
Rasanya Na mau kabur dan jogging lagi mendengar Oma bercerita. Duh, capek deh dengar curhatan seputar mertua-menantu ditambah masalah ibu bekerja atau ibu rumah tangga. Duet maut persoalan sepanjang masa yang selalu diputar dan diperdebatkan orang. Nggak bakal selesai menurut Na.
Na meminta ijin untuk mencuci tangannya di kran. Kesempatan bagus yang dimanfaatkan untuk "kabur" dari Oma. "Sepagi ini masa aku harus bergosip?" kata Na dalam hati.
"Dek, jangan pulang dulu! Sini, kemarin Oma bawa pisang tanduk enak dari kebun Oma di kampung. Tunggu ya?" suara Oma menahan langkah Na untuk berpamitan.
"Aduh, ini bisa disemprot mas Nono kalau jogging lama.. huhuhu..." Na merutuk dalam hati. Semoga setelah ini tidak ada lagi cerita dari Oma, harap Na cemas.
Na memang terlalu ramah dan selalu pekewuh dengan orang yang lebih tua. Terkadang dia senang bisa mendengar curhatan lansia yang kesepian. Asalkan positif dan memotivasi hidup dengan pengalaman-pengalamannya dulu. Kalau Oma, mertua bu Ayu ini sepertinya masih bugar tapi kok awal ceritanya sudah rada menjurus yang tidak positif.
Dengan tergopoh, Oma membawa satu sisir pisang tanduk. "Sebentar saya kasih kantong plastik, " katanya sambil membuka kantong berwarna merah.
"Duh, merepotkan Oma. Pisangnya kebanyakan, " kata Na ketika menerima kantong berwarna merah.
"Tidak kok, kemarin saya bawa banyak. Nanti digoreng atau dikukus sudah enak, "sahut Oma.
Na merasa sungkan. Oma kembali menyambung ceritanya. Katanya siang nanti mau berkunjung di rumah anaknya yang satunya. Sepertinya yang istrinya disanjung-sanjung tadi. Oma terus menyanjung menantu perempuan yang bernama Wen tersebut.
Na hanya manggut-manggut saja mendengar cerita Oma tentang Wen. Katanya Wen ini seorang ibu dan istri yang baik karena ikut membantu menopang ekonomi keluarga. Selain itu Wen pintar dalam mendidik anak, dia juga aktif dalam pelayanan. Meskipun baru pindah ke tempat sekarang, Wen lincah bergaul.
Anak Wen ada 2 orang. Katanya mereka penurut dan mengerti keadaan orang tua. Mereka tidak pernah makan yang mahal-mahal, hura-hura, dan plesir kemana-mana yang menghabiskan uang. Katanya Wen, mamanya, selalu memasak makanan sendiri. Singkat kata Wen dicitrakan Oma sebagai perempuan sederhana dan berhikmat.
Mendengar cerita tentang Wen, Na menjadi galau. "Lah, kalau aku dinilai seperti apa ya? " tanya Na dalam hati. Rasanya jauh dari Wen, perempuan berhikmat, begitu Oma menyebutnya.
"Sudah ya, Nak.. Oma mau bersiap-siap dulu!", pamit Oma kepada Na. Na merasa lega dan ikut pamit pulang. Duh, meskipun 15 menit kalau mendengar cerita seperti itu malas juga ya?
Na melangkah pulang ke rumahnya. Pikirannya melayang ke bu Ayu, tetangganya yang baik-baik saja selama ini. Malah Na kagum sama bu Ayu yang energik dan baik. Bu Ayu punya 2 anak laki-laki yang lebih energik lagi. Tiap hari ada saja les dan kegiatan mereka.
Bu Ayu selalu sibuk mengurus kedua buah hatinya. Rasanya tidak ada yang janggal. Memang Na tidak terlalu dekat juga dengan bu Ayu. Just feeling Na saja, bu Ayu orang baik.
"Hmmm... pasti masalah mertua dan menantu saja lah. Dimana-mana juga begitu, " batin Na. Na paham bahwa masalah mertua-menantu seringkali dibesar-besarkan. Kadang dari pihak mertuanya, kadang dari pihak menantunya. Tapi paling banyak karena "kompor" dari ipar atau sesama menantu. Pokoknya top-markotop sampai MELEDUGGGG!!!
Sampai di rumah, ternyata suami dan anak-anak Na sudah bangun. Mereka lagi asyik bermain di depan rumah.
"Mamaaaa..." teriak si bungsu yang berlari kemudian memeluk Na erat.
"Iya, ternyata anak Mama sudah bangun!" sambut Na hangat. Na sudah siap-siap saja terkena semprit pak Suami karena jogging agak lama.
"Mam, tadi dapat kabar duka. Kenalan jauh sih dari kampung Ibu meninggal. Rumahnya di kompleks yang sebelum rel kereta itu. Kita datang ya? " kata suami Na.
Na lega terbebas dari teguran suaminya. Sudah seharusnya dia selesai jogging sebelum anak-anak bangun. Na tersenyum dan mengiyakan ajakan suaminya kemudian lanjut bercengkerama dengan anak-anaknya.
***
"Kita ke kompleks apa ini, Pa? Ini kita dari belakang ya?" tanya Na kepada suaminya.
"Sepertinya begitu... tadi dibilangnya dekat Villa Bukit Mas. Kayaknya kita tidak ke kompleksnya. Tapi berdekatan saja. " sahut suami Na.
"Ohhh... " gumam Na yang sibuk mengawasi jalan. Mereka sedang menuju ke rumah duka kenalan dari kampung.
Di tikungan sebelah kompleks terdapat gapura masuk. Mobil berbelok kesana, kemudian parkir di areal kebun kosong sesuai arahan pemuda yang ada di depan gapura.
Rumah duka ternyata sudah ramai. Deretan kursi berwarna hijau tosca sudah terisi dengan para pelayat. Hanya saja jenazah belum juga tiba di rumah duka. Katanya masih di rumah sakit.
Na dan suaminya segera memilih kursi yang kosong. Keluarga yang berduka belum nampak, mungkin masih banyak urusan. Na dan suaminya saling menyapa dengan para sesepuh RT dan juga kerabat dari kampung. Beberapa dikenal oleh Na karena sering bertemu di acara gereja.
Tiba-tiba di sebelah Na duduk seorang ibu muda. Dia tak menyapa, Na pun juga sungkan untuk menyapa terlebih dahulu. Dari dalam rumah, keluar om Sar, seorang tetua dari kampung.
"Dek No... sini! Saya butuh bantuan ini, " kata om Sar setengah berteriak kepada suami Na.
Dengan sigap, suami Na berjalan mendekat ke om Sar. Ternyata om Sar butuh bantuan untuk mengecek keperluan jenazah dari yayasan. Na duduk tenang sementara suaminya berusaha melakukan bagiannya.
Mungkin Na terlihat sendirian, tak lama dari dalam keluar bu RT. Sepertinya bu RT sudah berkenalan dengan suaminya.
"Bu Nono, maaf jadi merepotkan. Kami butuh bantuan pak Nono untuk membereskan printhilan kecil. Ini jenazah masih tertahan di rumah sakit, " begitu kata bu RT sembari mengulurkan tangan.
Na beranjak dari kursi untuk menyambut uluran tangan bu RT. "Tidak apa, Bu... " jawab Na.
Bu RT pun suduk di samping Na. Ibu muda di sebelah Na tersenyum kepada Na dan bu RT. Na pun membalas senyumnya. Bu RT memulai percakapan basa-basi standar ibu-ibu. Seperti biasa menanyakan anak berapa, sama siapa sekarang, tinggal dimana dan seterusnya.
Semula percakapan berjalan wajar-wajar saja hingga tiba pada pertanyaan tinggal dimana. Bu RT agak kaget ketika mendengar jawaban Na.
"Oh jauh juga ya, Bu? Tinggal di Cemara Hills. Etapi dek Wen katanya punya saudara juga disana ya?" Bu RT memberi komentar atas jawaban Na.
Ibu Muda disamping Na terkesiap. "Iya, Bu... ipar saya tinggal disana. Tapi saya belum pernah kesana. "
"Loh, bukannya iparmu sudah beberapa kali kesini dek? Cemara Hills memang jauh tapi ya nggak jauh-jauh juga. Naik angkot juga ada kok, " timpal bu RT.
"Iya, Bu. Saya nggak enak saja kesana. Istri ipar saya kurang welcome sama saya, " sahut ibu muda bernama Wen. Bu RT cuma bilang "Ohh.." sedangkan Na jadi ingat cerita Oma, mertua bu Ayu.
"Saudaranya namanya siapa, mba? Bu Ayu bukan?" Na memberanikan diri bertanya.
"Iya betul, Bu. Mbak Ayu itu ipar saya. Suaminya itu kakak suami saya, " jawabnya. Na memutuskan untuk tidak banyak bertanya. Tak ada gunanya juga.
"Mbak, tadi pagi saya ketemu Oma, mertuanya ya? Bilangnya siang ini mau ke rumah adik suami bu Ayu. Berarti mau kesini ya?" basa-basi Na.
"Iya, betul. Tadi sudah telpon mau kesini. Oh.. ya sudah, Bu saya pamit dulu. Nanti saya kesini lagi kalau sudah datang jenazah dari rumah sakit, " pamit Wen kepada Na dan bu RT.
Selepas kepergian Wen, Na dan bu RT mengobrol hal ringan saja. Tak elok juga di rumah duka malah ngerumpi. Tapi namanya ibu-ibu, selalu saja ada hal seru untuk dibicarakan.
Dari ujung kanan depan, berjalan seorang perempuan paruh baya menuju ke arah Na dan bu RT. Sepertinya ingin duduk di sebelah Na.
"Mari Bu, silahkan..." dengan sopan Na mempersilakan ibu yang belakangan dikenal sebagai bu Las. Dari raut wajahnya bu Las tampak sebagai sosok yang energik dan positif.
"Bu RT, itu Wen kasihan ya, anaknya kecanduan game online. Duh saya nggak paham mainan anak sekarang. Tapi katanya boros uang loh, " bu Las memulai pembicaraan.
"Oh, semoga masih bisa diatasi. Sekolah bisa nggak fokus kalau kecanduan main game gitu " sahut bu RT.
"Lha kalau ini parah bu, wong sampai ambil duit bapaknya. Ngumpet-ngumpet tapi ketahuan juga. Berarti sudah benar-benar nyandu. HP kalau paket habis ngamuk. Makanya ibunya bolak-balik beli paket data."
Na hanya jadi pendengar yang baik. Tapi lama-lama Na merasa kok cerita bu Las sama Oma tadi pagi seperti langit dan bumi ya? Aneh. Mertua menyanjung setinggi langit, tapi tetangga bercerita sebaliknya.
"Tenang Na... jangan mudah menilai orang..." suara hati Na mulai berbicara. Na memutuskan untuk berbicara seperlunya. Tapi sepertinya Wen ini seolah "terkenal" di kampung ini. Banyak cerita mengalir baik dari bu Las maupun bu RT.
Semua berbanding terbalik dengan cerita mertuanya tadi pagi. Rumah tangga Wen yang bermasalah, Wen yang tiap hari main handphone dan sosial media, anak-anaknya yang lebih suka jajan, sampai hal tidak penting seperti dandanan Wen yang meniru selebgram.
"Masa ya di kampung yang panas begini, kalau pergi pakai blazer kayak Raisa. Terus sandal blink-blink kayak penyanyi Syahrini. Belum lagi bandana ala Fendi-nya itu. Dandanan orang liburan gitu lah..." cerita bu Las berapi-api.
"Saya nggak iri atau nyinyir, cuma nggak lazim loh bu Na... lha Syahrini pakai bandana lagi di Bora-Bora yang banyak angin. Kalau disini ya aneh, apalagi cuma ke Indomaret. Iya kan?" Bu Las masih betah bercerita. Na tersenyum-senyum. Bu RT menahan tawanya. Mungkin jika bukan di rumah duka, ketiga perempuan itu tertawa ngakak sejadi-jadinya.
Na langsung teringat tadi Wen duduk di sebelahnya mengenakan sandal berpita lebar, tas ala-ala korea yang sedang hits, dan baju entahlah apa namanya, Na tak pernah tahu baju seperti itu.
Jam sudah menunjukkan pukul 2 lebih, pihak keluarga mengumumkan bahwa pemakaman akan dilaksanakan besok siang. Terjadi penundaan karena masih menunggu anak almarhum yang sedang berdinas di luar kota.
Akhirnya para pelayat banyak yang memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Na bangkit dari tempat duduknya, suaminya sudah memberi kode untuk pulang. Senyum dan jabat tangan memisahkan Na, bu RT, dan bu Las.
Di jalan menuju kebun kosong tempat parkir mobil, Na menggandeng suaminya. Mereka berjalan tergesa supaya bisa secepatnya sampai rumah. Kasihan bibi menunggu lama karena menjaga anak-anak.
"Dekkk... loh kok ketemu lagi?" Suara seorang perempuan mengagetkan Na. Ternyata suara Oma. Di sebelahnya ada Wen dan kedua anaknya.
"Iya Oma, habis melayat cuma ini saya mau pulang karena pemakamannya besok siang, " sahut Na.
"Oh gituuu.. ini Dek, kenalkan mantu Oma yang tadi pagi saya ceritakan. Wen, ini cucu saya, An sama En... " Oma mengenalkan Wen dan kedua anaknya. Wah ternyata benar, kata Na dalam hati. Na tersenyum menyapa ketiganya.
"Dek Na kalau mau lanjut monggo, suaminya sudah nunggu itu. Saya mau 2 hari disini. Kangen sama cucu-cucu saya ini. Mereka manis sekali dek... nggak pernah minta aneh-aneh kayak anaknya Ayu!"
"Mereka ini anak-anak yang takut akan Tuhan. Tidak pernah main IPad, main game, cuma nonton TV sama main bareng anak kampung"
"Iya kan dek Na, anak kalau dikasih IPad itu susah diajak komunikasi. Harganya juga mahal, " Oma masih lanjut bercerita. Na hanya mengangguk. Wen tersenyum dipuji mertuanya. Entahlah Na enggan menilai.
"Sudah ya dek, Oma jalan dulu..." pamit Oma menyudahi ceritanya. Na langsung merasa lega. Rasanya sungguh tak enak, bagaimanapun bu Ayu bukan orang jahat dan selalu sopan dengan mertua. Mengapa selalu dibandingkan dengan Wen? Na tak habis pikir. Kok sepertinya tidak nyambung sama sekali.
Dihempaskan pikiran negatif mengenai urusan orang. Na sudah duduk di samping suaminya. Mobil melaju menuju Cemara Hills, istana keluarganya.
***
Esok harinya Na belanja bulanan di supermarket dekat rumah. Biasanya suami dan anak-anak main di playground sebelah.
"Wah borong nih bu Na?" Sapa seseorang mengagetkan Na yang tengah memilih sayuran.
"Walah.. bu Ayu ternyata. Cuma belanja kecil kok Bu. Sayurannya kayaknya segar-segar ini.. Ohya, terimakasih Bu kapan hari Oma kasih saya pisang tanduk. Anak-anak senang makan padahal cuma saya kukus. Manis!" Sahut Na.
Laiknya ibu-ibu jika bertemu, mereka terlibat dalam obrolan panjang sembari memilih belanjaan. Bu Ayu yang biasanya irit bicara, hari ini sedikit banyak bercerita.
"Kemarin ketemu Oma sama Wen juga ya Bu waktu melayat? " tanya bu Ayu kepada Na.
"Iya Bu. Ketemu kedua anaknya juga kok. "
"Oh... bu Na lihat nggak anak-anak Wen? Saya tuh sebenarnya nggak ada apa-apa sama Wen. Tapi kok dia kesana-sini cerita yang nggak-nggak tentang saya" kata bu Ayu menahan emosi.
"Ujian hidup ya, Bu... sesama menantu harusnya saling membantu. Kalau Wen ini, duh malah bikin buntu. Tukang ngadu sama mertua. Dirinya dibaik-baikin, saya dijelek-jelekin, Bu... " cerita bu Ayu.
"Sabar ya, Bu... ternyata begitu ya? Menantu kudu "pencitraan" ke mertua, tapi ya jangan gitu juga kali ya?" timpal Na. Na paham kemana muara pembicaraan mereka.
"Ya nggak apa pencitraan biar dikenal baik sama mertua. Tapi caranya itu loh, kenapa mesti dengan menjelekkan orang lain. Nggak tepatnya disitu, bu Na.. saya itu tiap kali disindir terus sama mertua. Ada saja pokoknya yang jadi masalah, " ucap bu Ayu sedih.
"Oh gituuu... banyak sabar ya bu Ayu ? Orang kalau aslinya baik mau bagaimana juga nanti terlihat baik kok. Jangan kuatir, Bu... kebenaran akan menemukan jalannya. Begitu kata orang hehe "
"Ah iya Bu... kadang sedih saja, Bu. Kayak gini saya belanja di supermarket dibilang bergaya hidup mewah. Ajak makan anak-anak di restoran katanya mengajarkan anak boros dan tidak mau susah. Serba salah.."
Tiba-tiba aktivitas Na dan bu Ayu terhenti. Ada teriakan dan tangisan anak yang meraung-raung dari depan supermarket. Si anak tantrum berat ingin main di pusat games sebelah. Semua orang melihat ke arah ibu dan anak itu. Posisi mereka bisa terlihat dari semua penjuru.
"PLAAAKKKK..." tamparan tangan sang ibu mendarat di pipi anaknya.
Na terkaget-kaget melihat pemandangan tersebut dari kaca supermarket. Beberapa orang saling berpandangan.
"Ayo pulang... Â NAKAAALL KAMU YAAA.." seru sang ibu dengan menyeret kerah baju anak yang tetap tak bergeming. Na mengucek matanya. Sepertinya mengenal sang ibu.
"Itu WENNN..." seru Na dan bu Ayu hampir bersamaan. Keduanya saling bertatapan tak percaya.
Cikarang, Juli 2019
Catatan : Hanya cerita rekaan semata. Kesamaan nama tokoh dan cerita hanya kebetulan. Tak ada unsur kesengajaan.
Baca juga :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H