Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pak, Aku Bosan Disebut Penghuni Kampung Penjahat

24 Juni 2024   19:52 Diperbarui: 25 Juni 2024   12:03 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah desa yang nampak asri dengan pemandangan persawahan yang dipenuhi tanaman padi yang mulai menguning. Dengan balutan hijaunya rerumputan di sisi-sisi rumah di sana. Sebuah pemandangan pedesaan yang sungguh membuat damai bagi penghuninya. 

Meskipun desa itu nampak damai-damai saja, ternyata menyimpan berjuta-juta masalah yang apabila dituliskan dalam sebuah diary rasa-rasanya tidak akan cukup satu buku mencatat persoalan di dalamnya. Seperti banyaknya pencurian, penggelapan kendaraan dan juga aksi kejahatan yang kadang dapat merenggut nyawa korbannya.

Dari sekian persoalan yang tengah penduduk desa alami, adalah betapa sulitnya mereka mencari penghasilan dan pekerjaan, lantaran desa mereka telah dianggap desa terlarang bagi kaum urban yang ingin menikmati pundi-pundi rezeki di kota. 

Semua itu berawal dari banyaknya kasus yang menimpa desanya. Dan ternyata ada dua sosok pemuda yang berasal dari desa itu yang turut merasakan betapa sulitnya mencari pekerjaan.

Tinggallah dua sosok pria yang tengah membawa map dengan penampilan yang keren. Sebut saja namanya Edi dan Edo. Edi dan Edo sama-sama menyelesaikan pendidikan di sebuah perguruan tinggi dengan jurusan manajemen. Keduanya adalah sama-sama mahasiswa berprestasi dan tercatat sebagai mahasiswa yang rajin, supel dan baik hati.

Sayangnya ketika rasa bahagia karena telah menamatkan pendidikan harus terhapus oleh rasa duka lantaran ijazahnya seperti tidak berguna lagi. Di mana-mana selalu mendapatkan penolakan dan selalu dicap dengan kata-kata yang kurang baik.

Monggo Mas, diunjuk benterane? (Silakan diminum mas minumannya) Ibu-ibu pedagang gorengan dan kopi mempersilakan Edi dan Edo menikmati kopi yang telah dipesan sambil tersenyum ramah.

"Injeh Bu." Ucap keduanya. Seketika itu tangan Edo meraih kopi panas itu dan menyeruputnya perlahan. Uap air masih mengepul.

Ia menarik napas dalam-dalam.

Bagaimana kabarmu, Ed? Apa kamu sudah diterima kerja? Katanya kamu sudah mendaftar di salah satu perusahaan di Jakarta? Sapa sekaligus tanya Edo sembari menikmati sepotong pisang goreng hangat di warung desanya itu.

Seketika itu Edi pun meletakkan kopi yang baru saja diseruputnya.

"Mbohlah. Nggak tahu. Kok begini amat nasib kita, ya? Setelah kuliah lima tahun dan mendapat predikat cumlaude ternyata tidak membuat golden tiket untuk kita ketika mendaftar kerja. Malah katanya orang-orang dari kampung kita ini tidak bisa lagi nyari kerja. Padahal kita nggak ngerti apa-apa ya?" Jawab Edi.

"Lah, kamu bagaimana? Apa sudah dapat kerja juga?" Tanya balik Edi.

"Kan kita selalu berdua kalau daftar. Dan lamaran kita selalu ditolak, dengan alasan yang sama. Katanya kampung kita sudah mendapatkan larangan kerja. Istilah kerennya di blacklist lah. Padahal kita nggak salah apa-apa. Gara-gara banyak maling dan rampok di tempat kita, kok kita kebawa-bawa ya? Kata Edo yang seketika menyampaikan keluhannya.

"Iya lho, Do. Sudah bertahun-tahun yang lalu, orang-orang dari kampung kita sudah sulit nyari pekerjaan di kota. Nggak tahu kalau di tempat lain. Apakah nasibnya sama ya?" Edi menambahkan.

Setelah itu, mereka kembali meminum kopi yang mulai hangat. Sedangkan tangan mereka kembali memungut tahu goreng tertata di piring yang ada di hadapan mereka.

Suasana masih sangat panas. Tepat pukul satu siang, mereka sengaja berteduh di warung itu untuk mengganjal perut yang mulai lapar sekaligus menikmati gorengan.

Entah mengapa mereka memesan kopi, padahal suasana begitu panas. Mungkin sengaja ingin cepat menghilangkan rasa hausnya dengan yang panas-panas. Sebab kalau memakai air dingin katanya rasa hausnya tidak lekas hilang.

"Tapi memang kampung kita ini bikin malu dan bikin kita jadi korban. Bayangkan saja, kita yang enggak tahu apa-apa justru jadi korban. Belum lagi teman-teman kita yang lain juga sulit dapat pekerjaan. Padahal mereka juga berprestasi kan?" Edo memegang dahinya pertanda bingung.

"Bener Juga Do, kita yang kuliah niatnya biar dapat ijazah untuk mencari pekerjaan yang baik, eh sekarang kena getahnya."

"Ya sudah yang sabar saja. Mungkin ini cobaan."Edi berusaha menenangkan temannya itu.

"Ya sabar sih sabar, kalau kita terus terusan diteror dengan panggilan kurang baik bagaimana kita bisa sabar? Kata Edi lagi.

"Bahkan saya ingat betul di perusahaan Korea, HRD nya bilang kalau kita gak bakalan dapat kerja karena dari kampung ini. Bukannya ini diskriminatif ya? Rasa-rasanya mau menyerah tapi mau menyerah malu dengan keluarga. Apalagi kita bukan tipe yang mau diam di rumah. Kita harus bekerja agar bisa untuk masa depan." Papar Edo.

Itulah percakapan ketika Edi dan Edo tengah dilanda dilema dan kesulitan. Karena pengaruh kampung yang viral karena kejahatannya, Edi dan Edo merasakan pahitnya mendapatkan diskriminasi. Semua imbas dari warga kampungnya yang memang tidak manusiawi. Maunya dapat duit gampang, punya kendaraan yang bagus tapi tidak mau mencari usaha yang halal. Giliran ada yang mau bekerja dengan serius malah dicap sebagai satu gerombolan penjahat.

Hari itu bukanlah hari yang paling menyedihkan bagi keduanya. Ketika mereka hendak menuju ke kota lagi demi mencari pekerjaan, kendaraan mereka dijambret di tengah-tengah perjalanan. Kendaraan yang diperoleh dari hasil menabung dari sisa beasiswa yang mereka dapatkan, justru kandas dan raib digondol begal. 

Mulanya suasana jalanan di desa itu biasa-biasa saja, tapi ketika melalui jalanan yang sepi dan di kanan kiri dipenuhi dengan pohon jati, dua motor berboncengan tiga tiba-tiba mengancam mereka dengan kata-kata ancaman.

Seketika itu para gerombolan penjahat itu menodongkan golok. Ada pula yang membawa celurit. Sepertinya mereka adalah sekelompok pemuda yang memang yang sudah biasa membegal di jalan sepi.

"Hei. Berhenti! Mau berhenti gak? Kalau gak mau berhenti tak tebas kamu! Bentak salah satu pelaku kejahatan dengan pandangan garang.

Karena ketakutan, keduanya tidak menjawab bentakan si perampok itu. Meskipun agak oleng, mereka tetap melanjutkan perjalanan dengan perasaan takut.

Para perampok itu tak lekas menyerah untuk memaksa Edi dan Edo menyerahkan kendaraannya. Dan seketika itu, keduanya tersungkur setelah motor itu ditendang oleh para pelaku. Ada segaris bekas luka karena sabetan celurit. Edo mengerang kesakitan. Sedangkan Edi, hanya memohon agar dia tidak disakiti dan membiarkan kendaraannya dibawa kabur pelaku.

"Edo, gimana keadaanmu? Kamu kena bacok ya?" Tanya Edi dengan nada yang agak terbata karena rasa takut yang mendera.

Ia pun meringis karena merasakan sakit akibat luka kaki dan tangannya karena terperosok di jalanan setelah motornya tersungkur.

"Ya Allah, kenapa ujianmu begini amat. Kami yang ingin hidup tenang kenapa dibuat susah begini?" Keluh Edo di dalam hati.

Setelah duduk beberapa saat, mereka pun menghela napas dalam-dalam dan berusaha bangkit untuk meninggalkan jalanan itu. Beberapa langkah kaki mereka lakukan, tiba-tiba ada kendaraan yang melaju di sisi di belakang mereka. Tiba-tiba berhenti dan menyapa.

"Kenek opo mas? (kena apa mas?)" Tanya si pemilik kendaraan.

"Kami baru jatuh, Pak. Motor kami dibawa kabur begal." Wajah sedih dan bingung nampak dari wajah keduanya.

"Ya Allah, untung sampean tidak apa-apa. Soalnya kemarin ada yang meninggal dunia karena terkena sabetan celurit para penjabat juga.

'Syukur alhamdulillah masih slamet, Pak." Kata Edi.

"Oya, kamu mau enggak ikut kami. Nanti saya antar sampai rumah." Pemilik kendaraan menawarkan diri.

"Serius Pak? Alhamdulillah kalau begitu." Wajah keduanya nampak sedikit senang. Bagaimana tidak senang, ketika mereka hendak pulang, perjalanan itu sejauh berkilo-kilo meter. Kalau tidak ada tumpangan mungkin mereka akan pingsan di jalanan.

Beberapa menit kemudian sampailah mereka di rumah Edo. Disambut oleh orang tuanya. Sedangkan Edi turun di rumahnya yang tak jauh dari rumah Edo.

Semua kisah mereka berdua diceritakannya pada masing-masing orang tuanya. Ada rasa sedih dan penyesalan telah membayangi kedua orang tua mereka. 

Mereka tidak bisa membayangkan seandainya anak-anaknya merasakan kekerasan yang lebih parah dari yang saat ini dirasakan. Orang tua pun hanya memberikan wejangan agar selalu bersabar. 

Seketika dalam kesedihan akibat anaknya kekerasan yang terjadi pada anaknya, ayah Edo tiba-tiba nyeletuk.

"Baru sekarang Bapak menyesal." Kata ayah Edo.

"Menyesal kenapa Pak?" Wajah Edo begitu penasaran dengan apa yang ada dalam pikiran ayahnya.

"Bapak menyesal, dulu ikut terlibat dalam perampokan. Dan salah satu korbannya juga meninggal karena ulah kami yang merampok di jalanan desa. Gak cuman itu, suatu ketika bapak merampok di salah satu toko emas di kampung sebelah. Pemilik toko juga tidak selamat." 

Rasa penyesalan begitu nampak dari raut wajah ayahnya Edo, ketika mengingat kembali kejadian lama yang telah menorehkan rasa penyesalan seumur hidupnya. Bahkan sampai usianya mulai sepuh, penyesalan itu tak juga raib dari dalam hatinya. 

"Jadi Bapak dulu juga penjahat? Bapak ngerampok? Bapak kok tego Pak! Lah terus uang untuk sekolahku dulu dari mana? Uang dari merampok juga? Edo berbicara dengan nada tinggi.

"Wes, Le. Jangan diingat-ingat lagi kisah masa lalu. Bapak sekarang sudah menyesal dan taubat. Walaupun taubatnya sudah terlambat ketika Bapak sudah menghilangkan nyawa korban bapak. Bapak menyesal."

Seketika air mata jatuh dari mata sang ayah. Ada raut penyesalan yang begitu dalam hinggap dalam hatinya. Mungkin saja jika ia bisa mengulang kisah lama, ia ingin menghapus semua tindak kejahatan dalam catatan hidupnya.

Saat ini, semua sudah terlambat, ketika kampung yang dia cintai ternyata menjadi sarang penjahat dan banyak orang yang menghujatnya. Bahkan pemuda kampung tersebut pun tidak bisa lagi bekerja di tempat lain, apalagi di ibukota.

Tak terasa, air mata Edo pun jatuh. Dia begitu terpukul ketika mengetahui kejahatan yang pernah dilakukan ayahnya itu. Ia tidak menyangka ayahnya yang dianggap penuh kesabaran ternyata telah meninggalkan kisah kelam dalam hidup mereka. Dan kini apa yang telah dilakukan ayahnya menimpa dirinya. Mungkinkah itu karma atas kejahatan orang tua?

Beberapa saat kemudian Edo berkata pada sang ayah. 

"Pak. Aku bosan dan aku lelah dipanggil anak rampok. Aku ingin bisa kerja seperti orang-orang lainnya. Aku ingin kerja dan mencari uang. Enggak mau jadi beban keluarga. Dan aku ingin bekerja dengan cara yang halal dan tidak menyakiti orang, Pak." Air mata Edo semakin deras jatuh dan membasahi pakaiannya.

Ayah Edo tak mampu lagi berkata-kata. Seketika ia hubungi seseorang. Tak lama kemudian terdengar suara sebuah sirene Polisi yang menuju rumahnya dengan membawa borgol dan pistol dalam genggaman. Edo terperanjat dan bingung dengan apa yang terjadi. Ayah Edo seketika diborgol dan hendak dimasukkan ke mobil.

"Ada apa pak? Kok pak polisi pada kesini?" Tanya Edo dengan wajah kalut.

"Bapak mau menyerahkan diri, dan bapak ikhlas jika harus dihukum. Walaupun dihukum mati sekalipun demi menghapus rasa bersalah pada orang-orang yang telah bapak sakiti." Jawab ayah Edo dengan pandangan nanar.

Semoga dengan bapak dihukum, rasa sakit orang-orang yang jadi korban dapat segera pudar dan Allah mengampuni dosa-dosa Bapak, Le. Bapak enggak bisa menyimpan rasa bersalah ini. Apalagi kamu anak bapak yang bapak sayang kini jadi korban. 

End.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun