Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Nak, Jangan Panggil Aku Ayah!

3 April 2016   16:31 Diperbarui: 25 Oktober 2017   07:23 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sembari berlari sang tokoh tak menyangka bahwa sosok yang menjadi bulan-bulanan itu hanyalah anak belasan tahun.

"Siapa yang menyuruh main hakim sendiri?

Semua tampak terdiam, tak mampu berbicara. Seolah-seolah melihat malaikat penolong yang berusaha melerai emosi mereka. Ia tak sanggup lagi berkata-kata dan memberikan alasan. Semua larut dalam emosi yang masih memuncak.

 "Lihat anak ini, ia sudah tidak bergerak lagi!" Kalian sudah membunuh anak yang tidak berdosa. Ia belum layak dihakimi. Ia masih bau kencur. Dan apakah ia benar-benar mencuri? Sambil memungut mangga yang sempat terlempar dari tangan Rida ketika bogem mentah menghujam tubuhnya. 

"Lihat mangga ini!

Semua mata menatap ke arah mangga, yang rupanya sudah tinggal setengah akibat gigitan sang kelelawar. Sebagian lagi bekas gigitan Rida.

"Sebagiannya sudah membusuk lantaran dimangsa kelelawar." Tahukah kalian, kalau anak ini hanya memungut sampah, sisa hewan itu! Kenapa kalian tidak melihat para pencuri uang rakyat di sana? Mereka tega mengambil hak-hak mereka yang miskin. Anak ini adalah akibat dari dosa para koruptor itu. Merekalah yang semestinya diadili di jalan raya, bukan malah diberikan fasilitas mewah seperti di istana."

Lihat!!! Lihat mata kalian!!!

Sang tokoh tampak emosi, ia berusaha meluapkan amarahnya kepada para pemuda itu. Ia tidak menyangka anak yang masih belia itu diadili seperti maling uang rakyat yang bermilyar-milyar. Dalam batinnya, kenapa anak tidak berdosa ini malah disiksa, dipukuli seperti tak punya harga diri. Sedangkan mereka yang sudah rakusnya mencuri uang rakyat begitu bebas melenggang di tempat-tempat yang mahal.

"Mereka dengan seenaknya menikmati kemewahan, padahal uang yang mereka nikmati adalah uang anak-anak seperti ini. Mereka menjadi pengemis lantaran uang negara yang semestinya untuk membiayai pendidikan mereka malah dikorupsi. Merekalah yang sepantasnya mati!"

Sang tokoh begitu nampak naik pitam, sedangkan para pemuda tidak bisa berkata-kata lagi. Semuanya nampak menyesal karena telah melakukan kesalahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun