Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Nak, Jangan Panggil Aku Ayah!

3 April 2016   16:31 Diperbarui: 25 Oktober 2017   07:23 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sepuluh tahun lamanya Rida hidup bersama ibu. Semenjak kehilangan ayah yang telah menikah lagi dengan wanita lain, kini kondisinya sungguh tidak layak disebut sebagai seorang anak. 

Ayahnya jauh meninggalkan keduanya dalam keadaan sengsara. Hidup dalam ketidak pastian. 

Ibu yang semestinya bisa mendidiknya bersama sang ayah pun harus pontang-panting membanting tulang, menyusuri jalan-jalan terjal dengan aneka cacian dan hujatan. Nasibnya malang benar. 

Melihat ibunya membuat hatiku terlara-lara. Apalagi menatap anak satu-satunya yang juga sangat memprihatinkan.

Pakaian yang dikenakan terlihat kumal, di sana-sini ada tambalan dan robekan. Sudah begitu, pakaiannya sepertinya tidak selayaknya ia yang mengenakan. Sudah buruk karena dimakan usia, ukurannya pun seperti tidak presisi dengan tubuhnya yang kurus kering. Ini efek dari terlalu parahnya kekurusan dirinya. 

Awalnya beratnya kira-kira 20 kg untuk ukuran anak taman kanak-kanak, tapi semenjak sang ayah meninggalkannya, berat tubuhnya melorot jauh tinggal 10 kg saja. 

Kini, setelah sepuluh tahun tak bersua dengan ayah yang dicintainya, tubuhnya semakin tidak karu-karuan. Terlihat dekil dan kulitnya menggelambir. Menggelambir bukan karena kegemukan, tapi karena saking kurusnya.

Kurus lantaran tak mesti sehari dua kali menikmati makanan. Kadang sehari tak mendapatkan makanan apapun. Belum lagi ibukota merupakan tanah kelahiran yang tak lagi layak untuk dirinya. Tempat ini tak pantas ditinggali oleh keluarga miskin seperti mereka.

Pernah suatu ketika Rida menemukan mangga di pinggir jalan, sepertinya mangga itu terjatuh dari pohonnya yang tampak sudah mulai matang. 

Dengan hembusan angin yang lumayan kencang, mangga itu bisa saja rontok dengan sendirinya. Tak perlulah di lempar untuk bisa jatuh, atau caraku kala itu yang harus melubangi pohon untuk kemudian diberikan terasi. Tak perlu menunggu lama, pohon itupun akan meranggas daunnya rontok beserta buahnya. Lama-lama mati.

"Ingin ku ambil mangga itu lantaran lapar yang melilit tubuhku. Perut yang biasanya bisa diisi dengan aneka makanan mewah, kini seperti tertusuk-tusuk duri hingga tak mampu lagi ku tahan."

Harapnya setelah melihat mangga kuning itu menggelinding di depannya.

Ia berusaha meraihnya namun tak berani karena takut dikira mencuri. Hatinya kecut, wajahnya pucat, menahan lapar yang amat sangat. Belum lagi panas siang itu sangat menusuk. Selayaknya matahari itu tepat di atas kepala. Keringat mengucur, hati berdebar-debar. Rasa was-was masih saja menyelimuti dadanya. Entah harus menggunakan mantra apa ia bisa melepaskan rasa lapar dan takut itu.

Tiba-tiba, keberaniannya muncul, meskipun sesekali ia masih takut untuk melakukannya, ia ingat pesan sang ibu "jangan pernah ambil apapun yang bukan milikmu, Nak!." Pesan itu masih terngiang di telinganya. Tapi apalah daya rasa laparnya sudah tidak bisa ditahan lagi.

Dengan amat hati-hati ia memungut mangga itu, sambil melihat ke kanan-kiri, siapa tahu ada yang memergokinya. Ia pungut buah itu dan dengan lahapnya ia mengunyahnya. Tanpa berpikir panjang, meskipun di sela-sela dedaunan yang rimbun, seorang pria bertubuh besar meneriakinya maling.

"Maling... maling ... maling!"

Rida berlari kencang seperti kancil yang tengah diburu sang petani karena mencuri mentimun. 

Setelah mendengar teriakan keras itu, sekerumunan warga kompleks mengejarnya. Semula ia bisa melarikan diri, meski akhirnya ia pun terpojok. 

Dalam rasa ketakutan dan napas yang terengah-engah ia memanggil-manggil ibunya.

"Ibu... tolong aku, bu!" 

Dalam batin ia berharap ibunya datang membantu. Berusaha menjelaskan duduk persoalannya. Hanya ibunya yang saat ini bisa membantu. 

Sesekali ia berdoa, "Ya Allah, tolonglah aku! 

Ia tak tahu pasti, apakah ibunya mendengar atau justru para warga yang emosi lantaran mendapati seorang pencuri yang memasuki kampung mereka. Amarahnya membuncah. Warga yang seringkali menjadi seperti anjing yang kelaparan tatkala memburu para pencuri, kini nampak begitu beringas. 

"Hai. Jangan Lari!" 

Sekawanan pemuda mencegatnya dari arah depan. Dengan membawa aneka benda ia memaksa Rida menghentikan langkahnya. 

Tak seberapa lama iapun tertangkap. Pukulan demi pukulan mendarat di kepalanya. Ia menagis dengan amat kerasnya, ia meminta tolong dan mengatakan bahwa ia bukanlah pencuri, ternyata tidak ada yang mau mendengar.

"Kecil-kecil sudah jadi pencuri, ya?" 

Bentak para pemuda itu sambil mengarahkan pukulannya tepat mengenai keningnya. Mereka tak peduli lagi meskipun Rida sudah memohon ampun. Ia pun terhuyung-huyung hendak roboh.

"Aku tidak mencuri, Bang. Aku hanya nemu di jalan."

Rida berusaha menjelaskannya. Namun tidak ada yang peduli meskipun wajahnya remuk. Entahlah apakah ia akan tetap hidup dalam serangan itu atau tidak mampu bertahan. Ia hanya pasrah ketika ibu yang dipanggilnya tidak juga hadir menolongnya. 

"Mana malingnya?

Pemilik pohon menghampiri, sembari melihat kondisi Rida yang sudah tidak bergerak lagi. 

Entahlah, apakah ia sudah mati atau pingsan. Dipegangnya denyut nadi, ternyata ia masih hidup. Ia serahkan kepada tokoh masyarakat di sana, yang kebetulan tengah melintas di depan kerumunan itu. 

Sembari berlari sang tokoh tak menyangka bahwa sosok yang menjadi bulan-bulanan itu hanyalah anak belasan tahun.

"Siapa yang menyuruh main hakim sendiri?

Semua tampak terdiam, tak mampu berbicara. Seolah-seolah melihat malaikat penolong yang berusaha melerai emosi mereka. Ia tak sanggup lagi berkata-kata dan memberikan alasan. Semua larut dalam emosi yang masih memuncak.

 "Lihat anak ini, ia sudah tidak bergerak lagi!" Kalian sudah membunuh anak yang tidak berdosa. Ia belum layak dihakimi. Ia masih bau kencur. Dan apakah ia benar-benar mencuri? Sambil memungut mangga yang sempat terlempar dari tangan Rida ketika bogem mentah menghujam tubuhnya. 

"Lihat mangga ini!

Semua mata menatap ke arah mangga, yang rupanya sudah tinggal setengah akibat gigitan sang kelelawar. Sebagian lagi bekas gigitan Rida.

"Sebagiannya sudah membusuk lantaran dimangsa kelelawar." Tahukah kalian, kalau anak ini hanya memungut sampah, sisa hewan itu! Kenapa kalian tidak melihat para pencuri uang rakyat di sana? Mereka tega mengambil hak-hak mereka yang miskin. Anak ini adalah akibat dari dosa para koruptor itu. Merekalah yang semestinya diadili di jalan raya, bukan malah diberikan fasilitas mewah seperti di istana."

Lihat!!! Lihat mata kalian!!!

Sang tokoh tampak emosi, ia berusaha meluapkan amarahnya kepada para pemuda itu. Ia tidak menyangka anak yang masih belia itu diadili seperti maling uang rakyat yang bermilyar-milyar. Dalam batinnya, kenapa anak tidak berdosa ini malah disiksa, dipukuli seperti tak punya harga diri. Sedangkan mereka yang sudah rakusnya mencuri uang rakyat begitu bebas melenggang di tempat-tempat yang mahal.

"Mereka dengan seenaknya menikmati kemewahan, padahal uang yang mereka nikmati adalah uang anak-anak seperti ini. Mereka menjadi pengemis lantaran uang negara yang semestinya untuk membiayai pendidikan mereka malah dikorupsi. Merekalah yang sepantasnya mati!"

Sang tokoh begitu nampak naik pitam, sedangkan para pemuda tidak bisa berkata-kata lagi. Semuanya nampak menyesal karena telah melakukan kesalahan.

Tiba-tiba seorang ibu tampak menghampiri. Seorang ibu yang juga nampak kumuh, pakaian kumal dan nampak wajahnya terlihat muram durja. Ia mencari-cari anaknya yang tak juga kembali. Ia bertanya-tanya, siapakah yang telah terbujur lemah di tengah-tengah pemuda itu.

"Rida!"

"Anakku!"

Suara sang ibu memecah keramaian itu. Ia nampak mengenali sosok yang kini terbujur lemah. Wajah-wajah di sana ternampak dalam kepanikan dan ketakutan. Wajah mereka pucat dan mulut mereka seperti terkunci.

"Apa yang terjadi dengan anakku? 

Ia menangis menangis sejadi-jadinya setelah ia sadar bahwa sosok terbujur lemah dengan deraian darah dari mulutnya itu adalah anaknya. 

"Bapak. Apa yang terjadi dengan anakku?"

Sang ibu bertanya pada pemilik pohon yang ternyata adalah mantan suaminya yang kini sudah beristri lagi. Mereka sudah berpisah tepat ketika Rida masih duduk di Taman kanak-kanak. 

"Ini siapa?" Pemilik pohon nampak bertanya-tanya.

"Ini anakku, anak Bapak juga. Apa yang terjadi?"

"Anakku?"

"Iya, dia Rida, yang dulu Bapak tinggalkan dengan wanita lain." 

Pemilik pohon tak menyangka, seorang anak yang mengambil mangga miliknya ternyata adalah anaknya sendiri. Ia menyadari telah terjadi kesalahan. Kini sang anak telah terbujur lemah karena menjadi korban pemukulan para pemuda itu.

"Kenapa Rida dipukuli sampai begini? Apakah kalian ini buta? Apakah bapaknya tega membunuh anaknya sendiri?"

"Anakku!"

"Kenapa kamu tidak pernah memberi tahu?

"Bapak yang tidak mau tahu! Bapak tega membiarkan aku dan anak Bapak  ini jadi gelandangan. Kau biarkan kebahagiaan kami terebut wanita jalang itu. Bapak lupa, bahwa Engkau adalah ayahnya yang seharusnya menjaga dan mendidiknya hingga dewasa. Kenapa Bapak ini, kenapa kini Bapak sudah berubah!"

Semua tampak menyesal, tak tertinggal pemilik pohon yang ternyata ayah Rida sendiri. Ia tidak menyangka bahwa yang dipukuli hingga babak belur adalah darah dagingnya. Anak yang begitu menderita itu adalah anak satu satunya yang ia tinggalkan karena mencintai wanita lain. 

Matanya tampak nanar, rasa menyesal tertumpah bersama bubarnya para pemuda. Sang ibu tampak menangis pilu. Di sela itu, suara gelegar petir memecah suasana, hujan sebentar lagi jatuh.

Sang pemilik pohon berjalan gontai, ia nampak masih menyesal, tangis pilu tak lagi menolong kepergian anaknya untuk selama-lamanya. "Aku benar-benar bukan sosok ayah yang baik. Aku benar-benar bukan ayahmu!"

Gambar

Metro Lampung, 3/4/2016  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun