Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Nak, Jangan Panggil Aku Ayah!

3 April 2016   16:31 Diperbarui: 25 Oktober 2017   07:23 793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia tak tahu pasti, apakah ibunya mendengar atau justru para warga yang emosi lantaran mendapati seorang pencuri yang memasuki kampung mereka. Amarahnya membuncah. Warga yang seringkali menjadi seperti anjing yang kelaparan tatkala memburu para pencuri, kini nampak begitu beringas. 

"Hai. Jangan Lari!" 

Sekawanan pemuda mencegatnya dari arah depan. Dengan membawa aneka benda ia memaksa Rida menghentikan langkahnya. 

Tak seberapa lama iapun tertangkap. Pukulan demi pukulan mendarat di kepalanya. Ia menagis dengan amat kerasnya, ia meminta tolong dan mengatakan bahwa ia bukanlah pencuri, ternyata tidak ada yang mau mendengar.

"Kecil-kecil sudah jadi pencuri, ya?" 

Bentak para pemuda itu sambil mengarahkan pukulannya tepat mengenai keningnya. Mereka tak peduli lagi meskipun Rida sudah memohon ampun. Ia pun terhuyung-huyung hendak roboh.

"Aku tidak mencuri, Bang. Aku hanya nemu di jalan."

Rida berusaha menjelaskannya. Namun tidak ada yang peduli meskipun wajahnya remuk. Entahlah apakah ia akan tetap hidup dalam serangan itu atau tidak mampu bertahan. Ia hanya pasrah ketika ibu yang dipanggilnya tidak juga hadir menolongnya. 

"Mana malingnya?

Pemilik pohon menghampiri, sembari melihat kondisi Rida yang sudah tidak bergerak lagi. 

Entahlah, apakah ia sudah mati atau pingsan. Dipegangnya denyut nadi, ternyata ia masih hidup. Ia serahkan kepada tokoh masyarakat di sana, yang kebetulan tengah melintas di depan kerumunan itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun