Sembari berlari sang tokoh tak menyangka bahwa sosok yang menjadi bulan-bulanan itu hanyalah anak belasan tahun.
"Siapa yang menyuruh main hakim sendiri?
Semua tampak terdiam, tak mampu berbicara. Seolah-seolah melihat malaikat penolong yang berusaha melerai emosi mereka. Ia tak sanggup lagi berkata-kata dan memberikan alasan. Semua larut dalam emosi yang masih memuncak.
 "Lihat anak ini, ia sudah tidak bergerak lagi!" Kalian sudah membunuh anak yang tidak berdosa. Ia belum layak dihakimi. Ia masih bau kencur. Dan apakah ia benar-benar mencuri? Sambil memungut mangga yang sempat terlempar dari tangan Rida ketika bogem mentah menghujam tubuhnya.Â
"Lihat mangga ini!
Semua mata menatap ke arah mangga, yang rupanya sudah tinggal setengah akibat gigitan sang kelelawar. Sebagian lagi bekas gigitan Rida.
"Sebagiannya sudah membusuk lantaran dimangsa kelelawar." Tahukah kalian, kalau anak ini hanya memungut sampah, sisa hewan itu! Kenapa kalian tidak melihat para pencuri uang rakyat di sana? Mereka tega mengambil hak-hak mereka yang miskin. Anak ini adalah akibat dari dosa para koruptor itu. Merekalah yang semestinya diadili di jalan raya, bukan malah diberikan fasilitas mewah seperti di istana."
Lihat!!! Lihat mata kalian!!!
Sang tokoh tampak emosi, ia berusaha meluapkan amarahnya kepada para pemuda itu. Ia tidak menyangka anak yang masih belia itu diadili seperti maling uang rakyat yang bermilyar-milyar. Dalam batinnya, kenapa anak tidak berdosa ini malah disiksa, dipukuli seperti tak punya harga diri. Sedangkan mereka yang sudah rakusnya mencuri uang rakyat begitu bebas melenggang di tempat-tempat yang mahal.
"Mereka dengan seenaknya menikmati kemewahan, padahal uang yang mereka nikmati adalah uang anak-anak seperti ini. Mereka menjadi pengemis lantaran uang negara yang semestinya untuk membiayai pendidikan mereka malah dikorupsi. Merekalah yang sepantasnya mati!"
Sang tokoh begitu nampak naik pitam, sedangkan para pemuda tidak bisa berkata-kata lagi. Semuanya nampak menyesal karena telah melakukan kesalahan.